Dimuat di Harian Bhirawa edisi Jumat, 10 Juli 2020
Judul : Nebula
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 2020
Tebal : 376 Halaman
ISBN : 978602063936
Bagi pembaca
yang mengikuti keseluruhan serinya, apa yang terjadi di novel sebelumnya, Selena, adalah mula dari serentetan
kejadian penting dalam seri yang sudah berlangsung lima tahun ini. Kita
asumsikan, sampai sekarang pembaca sudah genap menamatkan seri kedelepan, Selena, dan mendapati bahwa novel itu
penting sebagai pelengkap bagian yang rompal dalam kisah antarklan ini. Begitupun
dengan Nebula, novel ini masih
bertalian erat dengan seri sebelumnya, dan menjadi puncak dari pengungkapan
masa lalu Raib, berikut tentang orang tua gadis itu. Namun, perannya tak hanya
itu saja, novel ternyata menjadi gerbang menuju petualangan ke klan berikutnya.
Tere Liye adalah
pengolah cerita yang piawai, tentu saja. Bila tidak, dengan jumlah seri yang
cukup banyak ini, kisah-kisah di dalamnya akan terasa melempem, sehambar
sinetron yang tendangannya tak mantap. Akan tetapi, kita sedang membicarakan
salah satu penulis terkemuka—setidaknya bila dilihat dari daftar bukunya yang hampir
selalu memuaskan pembaca, kita bisa mendakunya demikian—dan kualitas tulisannya
tidak sembarangan. Jadilah seri ini berjalan dengan kekhasannya masing-masing,
punya keseruan tersendiri, dan yang terpenting, kesederhanaan logika dalam
poin-poin cerita yang mudah dicerna. Bisa dibilang, Tere Liye mendeskripsikan
hal-ihwal antarklan dengan cara pandang yang tak rumit.
Atas opini
tersebut, kiranya pantas bahwa seri kesembilan ini, Nebula, mendapat ancungan jempol. Sebab, Tere Liye seolah tak
kehilangan pegangannya dalam mengatur jalan cerita supaya menghadirkan keseruan
yang tak kalah dengan seri-seri terdahulunya. Lihat saja, pada episode-episode
ketika Selena masih berkutat dengan
pendidikannya di Akademi Bayangan Tingkat Tinggi, Tere menjadikan itu bukan
sebagai serentetan keseharian mahasiswa yang membosankan. Dengan keahlian calon
seorang Pengintai yang mumpuni, Selena selangkah
demi selangkah menyingkap misteri perkamen kuno yang memuat sebuah puisi. Pembaca
terus dicekoki rasa ingin tahu, apakah Selena berhasil memecahkan arti dari puisi
itu?
Lalu tensi
cerita pun hadir dalam hubungan persahabatan antara Selena, Mata, dan Tazk. Di
tengah ambisi mencari Cawan Keabadian dan keinginan berpetualangan di klan
lain, ketiga orang ini senyatanya adalah anak muda yang belum lagi sepenuhnya dewasa, bahkan boleh
dibilang masih remaja. Hal ini membuat perasaan labil dengan egoisme tinggi
masih menguasai mereka, khususnya Selena. Dalam silang rasa suka, egoisme ini
kelak menemukan waktunya untuk eksis menguasai kepala Selena. Dan itu tercermin
dalam satu peristiwa penting di klan Nebula. Gadis berambut keriting itu
termakan egoismenya sendiri, hingga mengabaikan nilai-nilai persahabatan yang
menyatukan ketiganya selama ini.
Itulah mengapa, tatkala
episode novel kembali ke bagian masa
sekarang—di basemen rumah Ali, tempat trio petarung itu berkumpul, Miss
Selena berulangkali meminta maaf kepada Raib. Sebab guru Matematika itu, selama
ini menyimpan rahasia besar yang kuat-kuat ditutupinya. Dan pengisahan novel
ini, adalah kesempatan terakhir baginya untuk bisa menjelaskan kejadian-kejadian
penting itu. Adalah penyingkapan misteri klan yang selalu berpindah porosnya,
berubah-ubah, tempat makhluk mengerikan tersegel; klan Nebula, pun mengenai
pewaris murni dari para pemilik kekuatan; putri Klan Bulan, pula tentang klan
yang peradabannya bahkan sudah amat maju 40.000 tahun lalu; Klan Aldebaran.
Novel ini pula
menjadi awal dari konflik melawan musuh paling kuat yang selama ini ada. Adalah
seseorang yang membuat Miss Selena terpenjara dan merasa perlu mengabarkan ketiga
sahabat karib itu, adalah seseorang keturuan Klan Aldebaran yang berkekuatan
tinggi, adalah ancaman paling nyata bagi para pemilik kekuatan di klan manapun
dalam konstelasi paralel ini. Petualangan antarklan ini belum selesai, tentu saja.
Bahkan, sepertinya satu buku lagi tak cukup untuk meneruskannya.
Terlepas dari
betapa pentingnya keberadaan novel ini. Seperti seri sebelumnya, di dalam novel
masih ada hal yang sungguh disayangkan ada. Sebab lagi-lagi, Tere memasukkan
epilog tanpa prolog di dalam novel. Apa ini merupakan salah satu selingkungan
penerbit? Entahlah, tetapi yang pasti, hal yang barangkali dianggap sepele ini
cukup menggangu, membuat dahi mengernyit heran.
Tak soal itu
saja. Bagian yang kiranya layak dipertanyakan adalah episode bonus setelah
bagian epilog. Tak seperti di seri Komet
Minor yang turut menyertakan bagian serupa, tetapi bisa dinilai wajar dan
mendapatkan tempat yang nyambung dengan episode-episode sebelumnya, episode
bonus di novel ini tampak salah tempat. Bahkan seperti yang saya rasakan,
bagian ini merusak mood yang sepanjang
isi novel kadung enak dinikmati. Baiklah, barangkali Tere ingin
memanis-maniskan hubungan Raib dan Ali, tetapi hal ini justru terasa hambar,
alih-alih membuat pembaca menyungginkan senyum.
Terang saja,
atas keberadaan satu episode yang amat tak perlu ada ini, saya tidak jadi
menobatkannya sebagai seri yang lebih baik ketimbang seri sebelumnya. Padahal,
bila episode bonus ini tak ada, pembaca kiranya cukup puas dengan akhir cerita.
Bahkan mendaku seri ini lebih seru. Bukan justru merasa sebal sebab mood-nya dirusak. Begitu.
0 comments:
Post a Comment