Wednesday, January 22, 2020

Catatan Bagi Karya yang Lebih Pantas Berakhir di Tong Sampah




Buku tersebut, saya kira, tak lebih seperti keripik singkong yang digoreng buru-buru, diangkat lekas-lekas,  kemudian dibungkus dengan plastik bening, dan dijual bersanding dengan camilan lebih mewah dan meriah lainnya.

Saya tak tahu, harus menampatkan catatan ini sebagai apa bagi buku saya itu—Gadis Penjual Air Mata. Barangkali, catatan ini bakal seperti kata pengantar atau hal lain. Pun mungkin, ia ada sebagai wujud pemakluman. Bisa jadi juga hanya sekadar catatan dari sebuah karya. Namun, yang pasti, catatan ini dibuat untuk membicarakan karya saya itu. Ia dibuat sebab saya berkeyakinan, saya harus membuatnya, sekalipun keberadaannya sungguh tak penting. Terlebih lagi, saya memaksudkannya serupa oase di tengah-tengah gurun kering sarat pertanyaan. Ia, saya harapkan, dapat menjadi pelepas dahaga atas pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut di kepala para pembaca buku ini. Sekaligus, sebagai informasi tambahan bagi siapa pun yang penasaran akan buku saya itu.
           
Saya ingin sedikit bercerita. Buku itu, kalian tahu, adalah buah kerja keras saya selama setahun di tahun 2019. Yah, kendati setahun di sini bukan berarti saya mengerjakannya terus-terusan. Tidak, bukan begitu. Namun, yang saya maksud adalah, cerita-cerita yang terhimpun di dalamnya saya tulis dalam kurun waktu itu. Pendek kata, satu cerita paling tidak saya tulis dalam satu bulan. Meskipun tidak bisa dipukul rata demikian pula.
           
Sebelumnya, tidak pernah sekali pun saya merencanakannya untuk mengumpulkan menjadi satu buku. Sebab cerita-cerita di dalamnya, awalnya tak saya niatkan demikian. Saya membuat sekadar sebagai bentuk rasa gelisah atas hal-hal di sekitar saya. Meski saya juga tak menampik, kalau beberapa cerita dalamnya saya niatkan untuk termuat di media, yang tentu saja berakhir dengan kegagalan. Begitulah. Hingga di bulan Agustus di tahun itu, saya seperti memperoleh ilham untuk mempersatukan mereka di tempat yang sama, setelah ide tentang cerita utama—Gadis Penjual Air Mata—mencuat dari kepala saya. Kala itu adalah saat-saat saya menanti pengumuman beasiswa Bidikmisi saya, sehingga waktu luang cukup tergelar lumayan panjang. Di kala itulah, saya mesti menyelesaikan cerita utama itu, yang akhirnya selesai menembus 3000 kata lebih. Ia menjadi cerpen terpanjang yang pernah saya buat.
           
Seusai cerita itu selesai ditulis, saya membuat satu-dua cerita lagi, supaya jumlahnya genap sepuluh cerita. Dan seolah kesempatan baik benar-benar menggelimang di sekitar saya, di media sosial kala itu, saya mendapati satu informasi tentang terbit gratis yang diadakan oleh satu penerbit indie, yang maaf sekali, demi nama baik mereka saya tak menyebutnya di sini. Kesempatan itu tak bisa dilewatkan serta-merta, sebab dengan perasaan membuncah, saya mengirimkan naskah final tersebut kepada mereka. Beberapa hari kemudian saya dibuat berdebar menunggu pengumuman diterima atau tidaknya naskah saya. Seleksi jelas diberlakukan, dan oleh karenanya saya tak cukup yakin, naskah cerita itu layak untuk diterbitkan. Akan tetapi, pada akhirnya hal itu hanyalah ketakutan saya semata. Sebab mereka menerima naskah saya dan bersedia menerbitkannya secara gratis, yang sebenarnya sebuah pelayanan yang jarang diberikan penerbit indie secara cuma-cuma. Saya teramat senang, tentu saja. Saya, kalian tahu, langsung membayangkan proses penerbitan yang bakal berlangsung seru. Saya akan berkonsultasi dengan seorang editor sabar, naskah saya di-layout dengan apik sedemikian rupa, hingga ditanyai manakah kover yang sesuai dengan isi buku saya.
           
Namun sial sungguh tak teralakkan, nyatanya saya tak mendapat semua yang dibayangkan tadi. Naskah saya terbit tak sampai dua Minggu setelah pemberitahuan naskah itu bakal diterbitkan. Saya dibuat sedikit kecewa. Ini sungguh tak menyenangkan. Yah, kendatipun saya juga turut bahagia, sebab akhirnya saya memiliki buku solo saya sendiri. Atas fakta tersebut, saya mencoba melupakan kekecewaan itu. Saya mencoba tetap bahagia atas terbitnya buku saya. Teman-teman memberi selamat, itu makin menguatkan saya. Hingga, saya gencar mempromosikan buku tersebut. Ia, sebagaimana yang kalian tahu, adalah buah karya penulis tak dikenal dan diterbitkan oleh penerbit indie, sehingga jelas, keterlibatan sang penulis dalam penjualan amat wajib hukumnya demi mendongkrak terjualnya buku tersebut. Begitulah, saya melakukannya di semua akun sosial media saya. Saya membicarakanya di obrolan-obrolan bersama teman. Bahkan, saya mempromosikan ketika awal-awal kuliah dulu. Saya bilang sudah menerbitkan buku, kendati oleh penerbit indie. Sebagian dari mereka tentu saja kagum dan kaget. Sungguh, di mata awam, menerbitkan buku masih menjadi pencapaian yang luar biasa.
           
Akan tetapi, tidak dengan diri saya. Saat itu saya tak puas sama sekali. Tersebab harapan yang membayang di kepala saya banyak yang tak sesuai realita. Buku tersebut, saya kira, tak lebih seperti keripik singkong yang digoreng buru-buru, diangkat lekas-lekas,  kemudian dibungkus dengan plastik bening, dan dijual bersanding dengan camilan lebih mewah dan meriah lainnya. Atas hal tersebut, ditambah tak ada satu pun buku saya yang laku, sekejap itulah saya melupakannya. Beberapa saat saya tak menganggap buku itu ada. Saya tenggelam dalam kesibukan awal sebagai mahasiswa. Saya menjalani hari tanpa pikiran, “Apakah hari ini ada sebuah buku yang terjual?”

Sampai di suatu kesempatan, datang sebuah panggilan untuk menengok nasib buku tersebut. Dan hal itu membuat saya mengkaji ulang, “Hal apa yang mesti saya ubah, supaya ada yang membeli buku ini?”. Kemudian saya menyadari, barangkali saya harus mengubah kover buku tersebut. Sebab kover tersebut terlampau biasa saja. Saya pun tak menyukainya sama sekali. Akhirnya, saya mencari tukang buat kover buku yang dapat memenuhi kehendak saya. Tersebab buku saya amat kental nuansa surealis dan absurd, saya menginginkan, kelak kover itu dapat merepresentasikan isi buku tersebut sesuai keinginan saya. Dan setelah tanya sana-sini, saya menemukan orang katanya dapat memenuhi harapan saya. Saya mengontaknya segara. Kami bersepakat. Lalu jadilah kover yang sungguh memuaskan saya setelah revisi berulangkali. Kover tersebut cantik dan menawan sekali. Saya menyukainya.
           
Segera saja, saya mengontak penerbit buku itu untuk mengabari bahwa hendak mengganti kover buku saya. Mereka menyanggupinya. Silakan saja kirim kover tersebut, balas mereka. Saya sekali lagi, senang. Di hari yang sama saya mengirimkan kover tersebut. Setelahnya saya menunggu dengan buncahan perasaan bahagia tak terkira. Angin segar sebentar lagi bakal berembus, pikir saya kala itu.
           
Akan tetapi, lagi-lagi saya dikecewakan. Mereka, kalian tahu, menolak kover tersebut dengan alasan tidak sesuai dengan standar estetika mereka. Tubuh saya lemas seketika kala membaca balasan tersebut. Amarah menggelegak di dalam diri saya. Saat itu yang terpikirkan oleh saya adalah, mendatangi meja redaksi mereka, menggebrak meja, dan berujar, “Anjing!” di muka pemimpin redaksi. Yang segera saya sesali, sebab saat itu saya tengah berada di lingkugan kampus, dan pikiran itu mustahil buat direalisasikan.
           
Mencoba baik-baik saja, saya mencoba bernegosiasi dengan mereka. Sedikit mendesak supaya mereka mengganti kover buku saya. Saya melakukannya dengan keteguhan permohonan murid yang meminta nilai tambahan kepada gurunya. Namun, mereka tetap kukuh dengan pendirian tersebut. Dan buku saya tidak bisa diganti kovernya. Saya menyerah. Kecewa, tentu saja, tetapi mencoba melupakannya dengan memikirkan hal lain.


Di beberapa hari kemudian, saya memutar otak mencari jalan keluar. Saya ingin tetap menerbitkan naskah tersebut. Sebab biaya kover yang dikeluarkan, bagi saya bukan nominal yang kecil. Saya bisa rugi besar bila tetap abai akan nasib buku itu. Atas kesadaran tersebut, gagasan gila meloncat dari kepala saya: “Kenapa saya tidak menerbitkanya secara independen saja?” Setelah dipikir berkali-kali, itu bukan gagasan yang buruk pula. Saya menghitung kesempatan baik bila gagasan tersebut diwujudkan. Dan ajaib, saya menemukan hal itu tidak buruk sama sekali. Begini, sebelumnya naskah itu saya yakin tak mereka editori, sebab mereka menerbitkannya dalam hitungan hari. Kemudian, buku tersebut mereka jual kelewat mahal, dan royalti yang saya dapat kelewat mengenaskan. Setelah dipikir-pikir, saya rugi menerbitkan buku bersama mereka! Saya cuma diuntungkan dengan keberadaan ISBN di buku saya, yang yah memang saya tahu, untuk membubuhkan label tersebut memang membutuhkan biaya. Namun, tetap saja, saya dibuat rugi. Jadilah saya makin teguh pada pendirian buat menerbitkan buku itu secara mandiri. Tanpa penerbit dan ISBN.
           
Walhasil, saya menarik naskah tersebut. Saya men-layout dan mengeditorinya sendiri. Menambahkan dua buah cerpen di akhir, perubahan di sana-sini, dan menambahkan beberapa catatan. Benar, saya mengerjakan sendiri. Benar-benar sendiri. Sungguh tindakan arogan bagi seorang yang belum pantas disebut penulis ini. Yang tak saya lakukan sendiri cuma pembuatan kover dan menyetak buku tersebut. Sebab untuk mencetak buku, saya mencetaknya di satu percetakan di Yogyakarta, dengan biaya sendiri pula.
           
Begitu cetakannya usai, ketika itu saya cuma mencetaknya dalam 10 eks sampler buku. Sebagian besar segera sampai di tangan-tangan yang sebelumnya memang menginginkan buku saya dalam balutan baju baru. Satu per satu buku tersebut pun sampai di tangan beberapa kawan. Mereka tampak menyukainya. Baik isi cerita maupun kover buku saya. Namun, tidak dengan adik saya.
           
Ia, kalian tahu, langsung menodong saya dengan kesalahan fatal: Banyaknya typo di dalam buku saya. Dan setelah saya cek, kondisinya benar adanya. Sungguh, saya benar-benar kecolongan atas hal sesepele itu. Ia menjadi kafatalan yang tak semestinya terjadi. Saya amat menyangkannya. Betapa bodohnya diri saya. Seperti mengulang kesalahan yang hampir serupa, buku saya seperti keripik singkong yang digoreng buru-buru dengan potongan tak rapi dan taburan bumbu pedas yang asal-asalan, yang kendati ia kali ini bungkus dengan plastik yang lebih baik, ia bakal tetap tak sebanding dengan camilan mewah dan meriah lainnya yang jelas kualitas bahan dan komposisinya.
           

Share:

Saturday, January 18, 2020

Tempat Paling Sunyi: Palung dengan Ragam Kesunyian di Dalamnya



“Ia rela bersakit-sakit dan menelan air mata sendiri, tanpa memiliki kuasa untuk menunjukkan penderitaannya tersebut.”

Membaca Tempat Paling Sunyi ini, seperti menyelami perkara betapa manusia sesungguhnya tak ada apa-apanya bila berurusan dengan cinta. Cinta, dalam kaitan eratnya pada sebuah hubungan, acap menjadi muasal segala perkara pelik yang menyiksa. Cinta, setidaknya yang terdedah di buku ini, adalah jangkar yang membawamu ke palung yang sesaknya tak terperi. Ia mengantarkanmu pada muara keputus-asaan. Kekecewaan. Tindak kekejaman. Dan ruang berduri serta alasan terkuat untukmu berniat bunuh diri.
           
Perkara cinta  tersebut bukanlah sesuatu hal yang dilebih-lebihkan. Lewat Tempat Paling Sunyi, si penulis—Arafat Nur, hendak menunjukkan sedikit polemik dari banyak hal pelik di kehidupan manusia dalam menghadapi perkara cinta. Dituturkan sebagai cerita di dalam cerita—sekaligus penggabungan peran, sebab di bagian seperempat akhir terdapat bagian bertemunya si narator dengan tokoh-tokoh cerita—kisah ini dimulai atas sebuah keluarga, pasangan Mustafa dan Salma.

Pasangan tersebut tinggal di kota Lamlhok, sebuah daerah kecil di kota Aceh. Adalah Mustafa, lelaki yang selama delapan tahun berpindah dari tempat ke tempat. Sebab selepas tamat sekolah menengah atas, hidupnya bagai kelana sepi tak berujung. Ia lelaki yang cerdas sebenarnya, kendati nilai kelulusannya tak terlalu besar. Kecerdasan di sini mengacu pada pengetahuannya yang bisa dibilang cukup luas, juga keterkaitannya terhadap buku. Ia mencintai kasusastraan dan kegiatan menulis novel sering ia lakukan di sela waktu kerjanya, sebagai juru ketik di Lamlhok Computer. Kelak, novel pulalah yang juga memicu derai penderitaannya.

Pertemuannya dengan Salma terjadi tanpa sengaja. Mereka bertemu di sebuah kedai bilangan Hagu di suatu siang pada tahun 1994. Komunikasi keduanya bermula ketika Mustafa tahu-tahu menanyakan pendapat Salma mengenai novel. Dan kala Salma menjawab, “Novel adalah dunia yang tak pernah mati-mati!” Saat itu Mustafa yakin, ia telah bertemu gadis cerdas, anomali dari kebanyakan orang-orang di tempat itu yang masih dibilang kolot dan nol besar soal peduli atas karya sastra.
           
Dari pertemuan kecil tersebut, keduanya pun menjadi sering untuk bersua kembali. Hubungan Mustafa dan Salma kiat dekat. Terkhusus bagi Mustafa, Salma adalah gadis langka yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Sementara di mata Salma, Mustafa adalah bujang ideal sebab selain baik budinya, ia meyakini pekerjaan Mustafa yang akan mencukupi kehidupan rumah tangga mereka. Terlebih ibunya, Syarifah, pun setuju atas hubungan mereka. Kendati ia tahu fakta bahwa Mustafa sebatang kara—perkara profesi Mustafalah yang membuatnya yakin.

Akan tetapi, Mustafa salah. Nyatanya Salma adalah gadis bodoh yang kebetulan saja melontarkan perkataan cerdas. Gadis itu persis ibunya, mewarisi tabiat kolot dan dungu manusia pada zaman itu. Ialah mereka yang jauh dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan hanya peduli tentang kemewahan serta harga diri. Kelak ia begitu menyesali keputusannya menikahi gadis itu. Berangkat dari kedunguan istrinya, rumah tangga Mustafa kerap diguncang cekcok keras, kendati hanya bermula dari perkara remeh-temeh. Pun ada perkara lain, bahwa yang tak diketahui Salma dan ibunya, adalah pekerjaan Mustafa yang sebenarnya seorang juru ketik. Selama beberapa waktu, mereka meyakini Mustafa seorang pegawai pemerintah, sebab penampilan sehari-harinya ketika berangkat kerja adalah bercelana jins dan berkemeja rapi—penampilan para pegawai negeri di zaman itu yang jamak didapati. Atas prasangka demikian, Salma kerap meminta kehidupan yang lebih mewah. Memiliki banyak perabot. Memanjakan diri berbelanja. Dan sering pergi jalan-jalan. Namun, Mustafa jelas sukar mengabulkan tuntutan istrinya tersebut. Dari situlah acap menjadi pemicu pertengkaran mereka. Salma yang terbiasa hidup enak sebab ayahnya yang telah meninggal adalah seorang yang amat berkecukupan, sulit menerima kenyataan suaminya yang sesungguhnya miskin. Ditambah lagi, Salma sering menuding Mustafa dengan tudingan yang bukan-bukan. Semisal anggapannya bahwa Mustafa menggelapkan gajinya, sampai tuduhan bahwa suaminya itu memakai gajinya sebagai bekal buat main serong bersama perempuan lain.
           
Hubungan rumah tangga yang lebih banyak diisi dengan pertengkaran tersebut, membuat Mustafa merasa seperti masuk liang neraka. Atas kedunguan istrinya, ia kerap memaki perempuan itu dengan “Keledai”, umpatan yang malah acap ia ucapkan menjadi “Kedelai”. Sementara Syarifah, alih-alih diharapkan menjadi pihak penengah, ia justru selalu membela putrinya. Kendati dalam banyak persoalan, menunjukkan bahwa Salma-lah biang dari masalah di antara mereka. Sehingga telaklah penderitaan Mustafa di hadapan dua perempuan yang hanya mementingkan ego masing-masing itu.
           
Barangkali, Mustafa akan menderita selamanya, dan ia tak memiliki kesempatan baginya untuk menulis novel sebab sikap istrinya yang tak mendukung sama sekali,  kalau saja ia tak bertemu dengan seorang gadis jelita, Riana namanya. Gadis itu awalnya adalah pelanggan di tempatnya bekerja. Seorang anak kuliahan sekaligus guru sekolah dasar. Bertemu dengan Riana, bagi Mustafa seperti mimpi yang terulang manakala dahulu ia kali pertama bertemu Salma. Ia terpukau. Perasaannya luluh. Dan kelak jatuh penuh dalam pelukan gadis itu. Yang lantas, perkara ini menjadi pemicu paling hebat dari pertengkarannya bersama Salma.
           
Salma yang selalu berprasangka buruk. Salma yang mudah terpancing. Salma yang bermulut runcing. Dan Salma-salma bertabiat buruk lainnya mengisi kepala Mustafa. Yang kemudian menjadikan dirinya benar-benar meninggalkan perempuan itu. Ia menjalin hubungan bersama Riana. Pergi berbulan-bulan lamanya. Mengabaikan istrinya. Demi perasaan hatinya yang ingin terbebas, tetapi sebenarnya menuju hulu derita lainnya.

***

Begitulah kisah buku ini menggulirkan prahara sebuah keluarga di masa-masak pelik negeri, di masa ketika pemberontak merajalela, pembunuhan di mana-mana, dan kabar kematian banyak orang yang kelewat biasa didengar. Sebenarnya, novel ini adalah gubahan si narator atas catatan-catatan Mustafa dan penuturan teman dekat lelaki itu atas kisah malang hidupnya dalam membina keluarga. Pendek kata, novel ini adalah penulisan ulang dari novel yang ditulis oleh Mustafa dengan judul yang sama. Persinggungan si narator dengan kehidupan Mustafa bukan pula disengaja. Awalnya si narator hanya berkunjung di kota Lamlhok, ia mampir di salah satu kedai, kemudian bertemu salah seorang teman Mustafa, dan mendengar perihal lelaki yang gemar menulis novel itu. Dari situ, timbul rasa penasaran atas kehidupan Mustafa, yang juga turut menyeret si narator dalam polemik kisah di buku ini. Ia masuk ke dalam cerita. Menelusuri jejak novel yang ditulis Mustafa sekaligus mengantarkanya kepada si jelita itu, Riana. Kelak keduanya menjalin hubungan rumit di samping kisah Mustafa dan Salma.
           
Pertanyaannya kemudian, di mana Tempat Paling Sunyi itu? Awalnya, judul itu dipakai untuk novel buah karya Mustafa, novel yang merepresentasikan kehidupannya. Tempat Paling Sunyi, dalam hidup Mustafa adalah keadaannya yang sering teralienasi dalam rumah tangganya sendiri. Di sini terlihat praktik yang bertendensi matriarki mengemuka dalam rumah tangga Mustafa. Dominasi istrinya, Salma, menjadi kentara dan menuntut Mustafa untuk lebih sering mengalah. Jauh sebelum adanya pertengkaran sengit, Mustafa kedapatan memilih mengalah ketika berdebat dengan istrinya. Dominasi ini pun kian diperkuat dengan figur mertua Mustafa. Keterlibatan Syarifah dalam persoalan keluarganya, semakin menegaskan kedudukan lelaki itu yang tak memiliki pegangan apa-apa. Di samping itu, sunyi di sini adalah penderitaan Mustafa dalam upayanya membina keluarga yang ia rasa gagal. Ia menginginkan perceraian, tetapi juga sukar ia realisasikan tersebab kondisinya sungguh tak memungkinkan. Gengsi masih menguasai sebagian diri Mustafa. Ia mengerti, dengan menceraikan Salma, sama saja sebagai bentuk legitimasi atas ketidakberdayaannya membina keluarga. Hal tersebut ia takutkan menebalkan citra buruk atas dirinya. Masyarakat akan menganggapnya sebagai lelaki yang gagal. Dan bukan tidak mungkin, menjalin keluarga baru adalah satu dari ketidakmungkinan dalam hidupnya.
           
Tempat Paling Sunyi pula dimiliki ketiga tokoh utama lainnya, yakni Riana, Salma, dan si narator. Dalam hidup Riana, hal tersebut direpresentasikan lewat satu bagian hidupnya ketika menjalin hubungan bersama Mustafa. Adalah di kala ia mesti merelakan Mustafa pulang ke pelukan Salma, sementara ia tak bisa mencegah secara langsung tindakan tersebut. Tempat Paling Sunyi bagi Riana ialah bentuk cintanya pada lelaki itu. Ia rela bersakit-sakit dan menelan air mata sendiri, tanpa memiliki kuasa untuk menunjukkan penderitaannya tersebut.

Sementara itu, di kehidupan Salma, Tempat Paling Sunyi ialah tatkala ia hidup sendiri tanpa Mustafa di sisinya dalam jangka waktu yang tak sebentar. Ia menjalani kehidupan seorang diri selepas kepergian suaminya di suatu masa. Hal demikian kiranya menjadi sisi terberat hidupnya. Sebab ia mesti menelan pil pahit atas ketidakmampuan dirinya mencegah Mustafa pergi. Dan fakta bahwa di suatu masa, hidup bersamanya bagi seorang Mustafa, adalah palung neraka yang menerakan derita tak terperi.
           
Benar adanya tiap orang memiliki Tempat Paling Sunyi-nya masing-masing, begitulah yang diyakini si narator kita. Serupa dengan tiga tokoh sebelumnya, si narator ini pula terjerat dalam jaring laba-laba berisi kesunyian dan sakit hati. Adalah di satu masa, tatkala persinggungannya semakin dalam dengan salah satu tokoh kita, Riana, kenyataan menempatkanya dalam ruang berduri itu.

***
Benar, membaca buku ini seperti tamasya dalam mengikuti Tempat Paling Sunyi tokoh-tokohnya. Ada pembenturan seberagam watak manusia di dalamnya. Kesalahpahaman. Perkara kecil yang dibesar-besarkan. Betapa cinta meluluhlantakkan segalanya. Dan rekaman kecil dari sebuah kisah di masa-masa sulit sebuah negeri—ingat, latar kisah ini di masa pemberontakkan GAM. Di samping itu, novel ini pula tak lepas dari manisnya sebuah cinta. Sebab di samping pendedahan perkara yang pedih, terdapat juga sisi manis yang membuat bibir menyungging senyum. Betapapun hal tersebut acap tertutupi, tapi tak dinyana, hal demikian tak membuat kita jengah atas melulunya persoalan pelik yang disodorkan. Ia hadir serupa tone cerita untuk memancing pembaca berpikir, “Beginilah hidup, tak seluruhnya kita berhadapan dengan penderitaan.”

Novel ini menjadi penting untuk dibaca. Sebab selain hal-hal yang sudah terjelaskan sebelumnya, di dalam kisah ini pula seseorang bisa belajar sedikit mengenai hakikat membina keluarga. Novel ini hadir seperti sentilan atas realita di masyarakat dalam membina keluarga, atas perkara-perkara yang sebetulnya tak usah diperkarakan, pentingnya nilai kepercayaan, sikap menarik ego, dan betapa hidup berkeluarga harus dimulai dari pengenalan satu sama lain yang intens, yang clear, sehingga bila di kemudian hari terdapat kesalahpahaman, ia bisa diperbaiki sebab sebuah pasangan sudah mengenal dengan baik, kemudian tahu bagaimana untuk mendamaikannya.

Namun demikian, seperti halnya buku-buku lain yang tak sempurna, novel ini memiliki kelemahan di bagian narasi yang di beberapa tempat diulang-ulang. Sungguh perulangan yang tak diperlukan. Ia menjadikan cerita yang kurang padat. Terdapat pula salah ketik di beberapa kalimat, yang kendati sepele, hal tersebut tentu menganggu.

Dan di atas itu semua, menyelesaikan novel ini turut membangkitkan satu pertanyaan di dalam benak. Sesungguhnya, tiap orang memiliki Tempat Paling Sunyi-nya sendiri, bukan?


Tentang Buku:


Judul               : Tempat Paling Sunyi
Penulis             : Arafat Nur
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
ISBN               : 978602031742
Tebal               : 327 Halaman
Share:

Saturday, January 11, 2020

Kaum Marjinal di Novel Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman



Judul               : Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman
Penulis            : A. Mustafa
Penerbit           : Shira Media
Tebal               : 358 Halaman
Tahun Terbit   : Cetakan pertama, 2019

Dibuka dengan narasi apik perihal Mbok Wilis di pertengahan tahun 1994 yang gerah hendak menemui nabi, kisah pun seketika berpindah ke masa dan bagian hidup Mbok Wilis yang didedah bagian per bagian, maju-mundur bersanding dengan epos mahabharata dan hikayat babi, pun menyandingkan seksualitas yang kental dengan teologi agama yang melimpah, maka tak berlebihan bila kau terpukau dengan buku ini.

Dalam jalinan alur maju-mundur, terdapat dua tokoh utama, yakni Rara Wilis atau Mbok Wilis dan Pak Wo atau Suko Djatmoko. Kisah keduanya dituturkan secara bergantian, dengan sesekali berbagi tempat dengan cerita wayang mahabharata dan hikayat babi. Rara Wilis adalah seorang waria yang melacurkan diri, ia cukup memiliki nama besar di daerah  Semarang, dan dikenal sebagai pengurus Peguyuban Waria Tri Lomba Juang (PAWATRI), sebuah organisasi waria dan LGBT pertama di kota tersebut. Dalam pekerjaannya sebagai PSK, atau yang dikenal dengan Nyebong, ia memiliki reputasi teratas di antara seberagam PKS serupa dirinya. Ia disegani, sekaligus tak disukai, sebab ia acap lebih laku dan memiliki pelanggan setia berkantong tebal. Hal tersebut membuat hidupnya terbilang makmur, sehingga tak mengherankan, ia memiliki banyak peliharaan atau berondong yang dikenal dengan kucing, serta banyak pacar yang bahkan mempunyai jadwal kencannya masing-masing. Hal demikian barangkali membuat hidupnya bakal sejahtera, kalau ia tidak  bersinggungan dengan hal paling berbahaya: Cinta. Adalah cinta pula yang mengantarkan dan memantapkan hatinya menjadi PSK. Tak berbilang sedikit bagi Rara Wilis bersinggungan dengan cinta, tapi sialnya, selalu saja berujung nestapa baginya. Hingga pada akhirnya, cinta dianggapnya racun yang tak baik baginya, dan ia bertekad untuk tidak sama sekali melibatkan perasaaan tersebut di dalam hidupnya.

Dalam panggung lain, tergelar kisah Pak Wo, seorang penjual jamu keliling yang juga seorang jamaah Ahmadiyah. Ia seorang Ahmadiyah yang taat, ia tak beristri dan beranak, sehingga banyak waktunya ia habis berjualan, khususnya di daerah masjid Nusrat Jahan. Ia memiliki pelanggan setia di sana, mubalig masjid tersebut beserta istrinya. Menjadi penjual jamu jelas membuat hidupnya tak selalu tercukupi, terlebih lagi pamor jamu yang kian merosot, dan ditambah, sentimen masyarakat sekitar atas dirinya yang seorang Ahmadiyah. Ia dianggap sesat, penyebar dan pengikut aliran ngawur, sehingga banyak yang tak menyukainya, bahkan ingin sekali mengusir Pak Wo dari desa tersebut. Namun, ia terlampau teguh hatinya, kendati mendapat perlakuan demikian, ia tetap pada jalannya dan tak gentar mensyiarkan perihal kabar tentang akhir zaman beserta seluk-beluk lain soal Ahmadiyah kepada siapa pun yang ingin tahu lebih jauh.

Kendati berlatar tahun sembilan puluh ke bawah, ada banyak hal yang didedah dalam buku ini dan masih relevan dengan masa kini. Dari kisah keduanya, dapat ditarik satu benang merah utama, yakni kaum atau mereka yang sampai saat ini dimarginalkan dari masyarakat. Perihal LGBT terkhusus waria dan gay serta pengikut Ahmadiyah, acap ditemukan dipandang dengan stigma negatif. Mereka dilihat sebagai orang-orang yang tak sehat, terganggu jiwanya, dan teralienisi dalam lingkup masyarakat. Keberadaan mereka dianggap racun yang dapat memberi imbas buruk terhadap lingkungan sekitar, dibenci dan dihujati, bahkan tak jarang disuruh angkat kaki.

Atas hal tersebut, novel ini di banyak bagian mengandung maksud perlawanan dan berusaha menunjukkan poin-poin yang justru meletakkan masalah paling utama adalah pandangan masyarakat sekitar. Dalam kasus Pak Wo, masyarakat terkadung percaya oleh siaran kabar yang menyatakan lelaki tersebut pengikut aliran sesat dan mesti dijauhi, yang malah memperlihatkan sebagai kegiatan dengan pretensi tertentu; sesuatu yang tak berdasar dan hanya berpegang pada hal/ihwal “katanya”. Relevansinya, masyarakat seperti itu, dewasa ini masih tersebar di banyak tempat. Mereka telanjur meyakini apa yang dianut Pak Wo sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai agama. Mereka pun selalu bersilat lidah menolak manakala diajak atau ditawarkan untuk ber-tabbayun. Sentimen tersebut kian menguat, ketika anggota keluarga sendiri yang menggecarkannya. Adalah kakak Pak Wo sendiri yang menyatakan dirinya memusuhi Ahmadiyah. Ia bahkan tak melihat sesuatu yang lebih mulia, yakni orang tau mereka yang menerima Pak Wo apa adanya, bahkan si ibu yang pada akhirnya turut menjadi Ahmadiyah.

Sementara itu, usaha yang bertendensi serupa tetapi berdasar dan berlatar belakang tak sama, ditunjukkan oleh Rara Wilis. Dalam tahun-tahun hidupnya sebagai waria sekaligus PSK, pula pengurus organisasi, dan sosok yang dipandang pemimpin oleh teman-teman seprofesinya, ia tak hanya mengabdikan dirinya pada nikmat bersetubuh dan gelimang uang. Berkendara organisasi tersebut, Rara Wilis mengadakan usaha untuk masuk dan berdamai dengan masyarakat. Lewat pagelaran hiburan dan lomba-lomba di tiap tanggal Kemerdekaan, ia bersama teman-temannya membaurkan diri. Acara tersebut tentu mendapat sambutan, masyarakat sekitar terundang, dan larut dalam kecerian acara. Namun, usahanya tak melulu membuahkan hasil, sebab ada malam yang hampir merenggut nyawa Rara Wilis; ia dijebak oleh segerombolan pemuda yang hendak membunuhnya atas dalih ia sundal-celaka-penghuni-neraka.

Esensi novel ini tak hanya menyentil kondisi masyarakat dalam memandang kaum atau kelompok yang kadung distigmakan negatif. Lebih dari itu, nilai teologi agama yang berkelindan di tubuh Ahamdiyah, turut didedah, dengan menunjukkan bahwa epos mahabharata sesungguhnya menceritakan banyak bagian dalam agama Islam; perihal nabi-nabinya, akhir zaman, dan kedatangan Isa Al-masih dan Imam Mahdi. Sisi ketuhanannya pula, ialah pertemuan kedua tokoh di halaman menuju akhir kisah, bahwa mukjizat coba diperlihatkan wujudnya lewat perubahan-perubahan tokoh-tokohnya; perihal jati diri Pak Wo dan sejarah hidup Rara Wilis dari bayi hingga berakhir menjadi waria yang menjajakan tubuhnya.

Dan soal hikayat babi, ia adalah alegori dari kehidupan Rara Wilis. Sebermula dari kubangan lumpur yang membuat nyaman si babi, kedatangan hewan lain, munculnya pemangsa dan berbuah dimangsanya si babi, kembalinya si babi dari perut pemangsa, menjadi bulan-bulanan babi lain, hingga sekaratnya si babi dan memunculkan sosok serupa manusia dari dalam dirinya, adalah transformasi dan representasi kehidupan waria tersebut.
           
Sebagai Bildungroman, kisah Rara Wilis bukan sekadar cerita pencarian jati diri belaka, lewat tokoh Harris yang juga tokoh sentral, ada pergulatan banyak watak manusia dibentur-benturkan satu sama lain. Dalam jalinan hubungan tersebut, terdapat hal-hal yang sekilas membuat jatuh, tetapi tak jarang menjadi pemicu satu perubahan atau keajaiban tak terduga. Rara Wilis bermula dari kisah nyata, ia masih hidup, dengan jati diri terbaik yang berhasil ia jemput. Dan tak serupa novel autobiografi pada umumnya, Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman mempunyai sisi lain yang langka, keunikannya tersendiri, semesta Rara Wilis yang berhasil di ranah fiksional, maka sulit kiranya meragukan keputusan yang menyatakan novel ini menjadi juara kedua Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2018. Bermuatan cerita yang tak bisa dianggap main-main, pengkrajinan merajut cerita yang membetahkan, penguasaan bahasa yang baik, dan teknik bercerita rileks serta berporsi pas, adalah beberapa poin novel ini yang tak bisa dianggap sebelah mata.  

Share: