Friday, March 20, 2020

Perempuan Bersampur Merah: Mengingat Luka Negeri Lewat Kacamata Seorang Gadis

Gambar oleh Gramedia.com


Judul               : Perempuan Bersampur Merah
Penulis             : Intan Andaru
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Pertama, Januari 2019
Halaman          : 216 Hal
ISBN               : 9786020621951

Wajah Banyuwangi di tahun 1998 jelas murung serupa kota yang menangis. Kala itu adalah masa ketika ratusan orang dibunuh secara sistematis dengan satu dugaan yang melatarbelanginya—Mereka dukun santet. Dan dukun santet, dengan beragam stigma yang menyertainya, menjadi alasan ratusan orang meninggal tanpa sebab pasti dan siapa dalang utamanya. Kasus ini setidaknya belum menemukan titik terang sebagaimana diharapkan tiap orang. Ia menjadi satu dari serentetan daftar luka negeri yang belum terkuak.

Dua puluh tahun berlalu, gema kasus ini menyeruak dan dijadikan bahan bakar utama dalam novel Perempuan Bersampur Merah ini. Novel pun menjadi satu dari sedikit bacaan yang menyinggung peristiwa di Banyuwangi, dan itu artinya, menjadi daftar penting bagi mereka yang suntuk menengok buku sejarah. Sebab bila di lihat dari segi kontruksi cerita, novel ini bergerak dengan tenang dan ringan. Dengan memakai sudut pandang orang pertama, yakni tokoh utama, gadis bernama Sari, cerita bergulir dari narasi yang bertendensi feminim yang tidak njelimet.

Soal kisahnya sendiri, karya kesekian dari Intan Andaru ini mengisahkan kehidupan keluarga Sari. Seorang gadis di sebuah desa di Banyuwangi, yang memiliki ayah dengan kemampuan magis—seorang yang di masyarakat disebut dukun Suwuk (penyembuh). Si ayah, sejujurnya adalah lelaki biasa di desa, ia bertani dan kerap mencari kodok bersama anaknya di malam hari untuk dijual. Namun, ayah Sari memiliki kemampuan tertentu, ia kerap dimintai tolong dalam hal mengusir makhluk halus yang mengganggu seorang anak atau orang, dan ia selalu dapat menanganinya. Ini memembuat ayah Sari sebagai orang yang dihargai di masyarakatnya. Ia dipandang sebagai orang yang mampu, terlebih lagi sikapnya yang mudah mengulurkan tangan. Namun, di suatu masa, petaka datang mengetuk rumah kediaman Sari. Petaka itu mewujud rombongan warga yang berniat menggeruduk rumah mereka. Kemudian, terjadilah malam berdarah itu.

Sebagai bacaan yang ringan, novel ini tidak hanya bergerak dari soal kasus pembantaian itu. Akan tetapi, sisi utama lainnya adalah kisah romansa antara Sari, Ahmad, dan Rama. Mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku sekolah dasar. Di antara mereka pula terjalin kisah cinta yang cukup rumit. Kelindan kisah ketiganya bercampur dengan penguakkan kasus tersebut. Sebab bertahun-tahun selepas kejadian nahas itu, seiring usia mereka bertambah, ketiganya tetap dalam satu misi: Memecahkan misteri siapa dalangnya—pembantaian di desa tempat Sari tinggal, kendati lambat laun mereka melakukannya dengan cara dan alasan masing-masing. Dalam pertumbuhan mereka, di satu persimpangan, ketika di bangku SMA sempat terdapat pergesekkan yang merenggangkan hubungan mereka. Hal tersebut antara lain sikap orang tua Rama yang begitu protektif dalam mengawasi pergaulan anaknya. Ia ingin Rama mengenyam pendidikan tinggi, sehingga sebisa mungkin menjaga waktu belajarnya supaya tidak diinterupsi orang lain, bahkan oleh sahabat Rama sendiri.

Sementara itu, Sari dan Ahmad yang masih dalam penelitian kasus mereka atas korban yang diduga disantet, masih meneruskan penyelidikannya. Hingga mendamparkan Sari di sanggar tari Mak Gebyok, pemilik sanggar yang mengajari Sari tari Gandrung. Sejak itu ia belajar tari Gandrung sembari menjalankan misinya bersama Ahmad. Namun, di penghujung masa SMA, sesuatu terjadi di antara mereka. Rincian harapan, rahasia, dan keteguhan hati masing-masing mengantarkan pada garis takdir yang tak pernah disangka. Proses pendewasaan mereka pada akhirnya menemukan titik yang terang, kendati hal demikian tak berlaku atas ihwal pembunuhan tersebut.

Novel ini memang bukan novel yang dalam, bila kita menyandingkannya dengan Laut Bercerita­-nya Leila S. Chudori atau Amba-nya Laksmi Pamuntjak yang bertendensi serupa—luka negeri. Setidaknya ada beberapa bagian, yang efek terhadap tema cerita kurang diperlukan. Bagian ini lebih seperti fragmen dari kehidupan Sari. Barangkali, si penulis sengaja membubuhkannya, sebab hal tersebut dimaksudkan sebagai penguat kontruksi konflik kisah cintanya dengan Ahmad dan Rama. Tapi sialnya, bab tersebut acap terbaca sia-sia, dan dinilai tak perlu.

Kendati begitu, novel ini boleh kita apresiasi dalam penggarapan informasi dan perangkaiannya sebagai sebuah cerita. Unsur kekeluargaan menjadi fokus lain yang mencoba ditunjukkan, hal demikian terlihat antara lain dalam penjabaran akibat dari sebuah pembantaian. Adalah ketika keluarga yang ditinggalkan mesti menanggung malu dan distigmakan tak baik. Apalagi, bagi gadis seperti Sari. Di zaman itu, pasca tragedi malam berdarah yang masih kerap menghantuinya bertahun-tahun kemudian, kehidupan gadis itu seolah dibebani batu segunung. Kesedihan menjadi temannya selama beberapa waktu. Namun untungnya, ia memiliki sahabat yang teramat peduli. Ahmad, lelaki itu, senantiasa mengobarkan motivasi demi bangkitnya lagi semangat hidup Sari. Gayung pun bersambut, Sari perlahan merangkak keluar dari keterpurukkan. Tahun-tahun kemudian adalah masa Sari menata diri dari luka dan memikirkan masa depan.

Di sela kelindan konflik antara kasus dukun santet dan asmara Sari, novel ini pula merepresentasikan wajah masyarakat pada umumnya. Ini dibuktikan ketika awal mula pembantaian tersebut, radiogram dari pemerintah yang menginformasikan nama-nama yang diduga sebagai pelaku ilmu supranatural dan dimaksudkan untuk dilindungi, justru salah ditangkap maknanya oleh masyarakat. Orang-orang kadung terbujuk desas-desus bahwa mereka yang diduga dukun—terutama dukun santet— mesti dimusnahkan, kian menggila dan brutal dalam membabat habis orang yang bisa saja tak tahu apa-apa, yakni mereka yang cuma tahu membantu wanita bersalin atau menangani ketempelan. Jelas masalah ini mengindikasikan bahwa mereka adalah masyarakat yang serte-merta menyerap informasi yang beredar tanpa ber-tabbayun terlebih dahulu.

Ihwal lain ialah betapa stigma perempuan yang tak lagi sekolah, acap dipandang sebagai mereka yang siap melangkah ke jenjang rumah tangga. Dalam hal ini, Sari mengalaminya sendiri, ia terus saja didesak oleh ibunya perihal kapan ia menikah. Sebab di zaman itu, menjadi tak lazim manakala perempuan usia duapuluhan masih saja melajang.  

Demikianlah, gambaran masyarakat di novel ini setidaknya masih relevan dengan kondisi hari ini. Beberapa bagiannya hadir seperti sentilan masyarakat yang mewujud sebagai pengingat; hal tersebut aneh, tak masuk akal, atau sungguh tak perlu. Membaca novel ini, kendati tidak bisa dipastikan bakal terpuaskan secara isi, tetapi bila sudah tiba di akhir cerita tak bisa dipungkiri ia dianggap berhenti di saat yang tepat. Momen yang pas. Dan hal tersebut terasa cukup. Ada banyak hal yang mungkin harus digali dari luar.

Share:

Saturday, March 7, 2020