Gambar oleh Gramedia.com |
Judul : Perempuan Bersampur Merah
Penulis : Intan Andaru
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Januari 2019
Halaman : 216 Hal
ISBN : 9786020621951
Wajah Banyuwangi
di tahun 1998 jelas murung serupa kota yang menangis. Kala itu adalah masa
ketika ratusan orang dibunuh secara sistematis dengan satu dugaan yang
melatarbelanginya—Mereka dukun santet. Dan dukun santet, dengan beragam stigma
yang menyertainya, menjadi alasan ratusan orang meninggal tanpa sebab pasti dan
siapa dalang utamanya. Kasus ini setidaknya belum menemukan titik terang
sebagaimana diharapkan tiap orang. Ia menjadi satu dari serentetan daftar luka
negeri yang belum terkuak.
Dua puluh tahun
berlalu, gema kasus ini menyeruak dan dijadikan bahan bakar utama dalam novel Perempuan Bersampur Merah ini. Novel pun
menjadi satu dari sedikit bacaan yang menyinggung peristiwa di Banyuwangi, dan
itu artinya, menjadi daftar penting bagi mereka yang suntuk menengok buku
sejarah. Sebab bila di lihat dari segi kontruksi cerita, novel ini bergerak
dengan tenang dan ringan. Dengan memakai sudut pandang orang pertama, yakni
tokoh utama, gadis bernama Sari, cerita bergulir dari narasi yang bertendensi
feminim yang tidak njelimet.
Soal kisahnya
sendiri, karya kesekian dari Intan Andaru ini mengisahkan kehidupan keluarga
Sari. Seorang gadis di sebuah desa di Banyuwangi, yang memiliki ayah dengan
kemampuan magis—seorang yang di masyarakat disebut dukun Suwuk (penyembuh). Si ayah, sejujurnya adalah lelaki biasa di desa,
ia bertani dan kerap mencari kodok bersama anaknya di malam hari untuk dijual.
Namun, ayah Sari memiliki kemampuan tertentu, ia kerap dimintai tolong dalam
hal mengusir makhluk halus yang mengganggu seorang anak atau orang, dan ia selalu
dapat menanganinya. Ini memembuat ayah Sari sebagai orang yang dihargai di masyarakatnya.
Ia dipandang sebagai orang yang mampu, terlebih lagi sikapnya yang mudah
mengulurkan tangan. Namun, di suatu masa, petaka datang mengetuk rumah kediaman
Sari. Petaka itu mewujud rombongan warga yang berniat menggeruduk rumah mereka.
Kemudian, terjadilah malam berdarah itu.
Sebagai bacaan
yang ringan, novel ini tidak hanya bergerak dari soal kasus pembantaian itu.
Akan tetapi, sisi utama lainnya adalah kisah romansa antara Sari, Ahmad, dan
Rama. Mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku sekolah dasar. Di antara
mereka pula terjalin kisah cinta yang cukup rumit. Kelindan kisah ketiganya
bercampur dengan penguakkan kasus tersebut. Sebab bertahun-tahun selepas
kejadian nahas itu, seiring usia mereka bertambah, ketiganya tetap dalam satu
misi: Memecahkan misteri siapa dalangnya—pembantaian di desa tempat Sari
tinggal, kendati lambat laun mereka melakukannya dengan cara dan alasan
masing-masing. Dalam pertumbuhan mereka, di satu persimpangan, ketika di bangku
SMA sempat terdapat pergesekkan yang merenggangkan hubungan mereka. Hal
tersebut antara lain sikap orang tua Rama yang begitu protektif dalam mengawasi
pergaulan anaknya. Ia ingin Rama mengenyam pendidikan tinggi, sehingga sebisa
mungkin menjaga waktu belajarnya supaya tidak diinterupsi orang lain, bahkan
oleh sahabat Rama sendiri.
Sementara itu,
Sari dan Ahmad yang masih dalam penelitian kasus mereka atas korban yang diduga
disantet, masih meneruskan penyelidikannya. Hingga mendamparkan Sari di sanggar
tari Mak Gebyok, pemilik sanggar yang mengajari Sari tari Gandrung. Sejak itu
ia belajar tari Gandrung sembari menjalankan misinya bersama Ahmad. Namun, di
penghujung masa SMA, sesuatu terjadi di antara mereka. Rincian harapan,
rahasia, dan keteguhan hati masing-masing mengantarkan pada garis takdir yang
tak pernah disangka. Proses pendewasaan mereka pada akhirnya menemukan titik
yang terang, kendati hal demikian tak berlaku atas ihwal pembunuhan tersebut.
Novel ini memang
bukan novel yang dalam, bila kita menyandingkannya dengan Laut Bercerita-nya Leila S. Chudori atau Amba-nya Laksmi Pamuntjak yang bertendensi serupa—luka negeri.
Setidaknya ada beberapa bagian, yang efek terhadap tema cerita kurang
diperlukan. Bagian ini lebih seperti fragmen dari kehidupan Sari. Barangkali,
si penulis sengaja membubuhkannya, sebab hal tersebut dimaksudkan sebagai
penguat kontruksi konflik kisah cintanya dengan Ahmad dan Rama. Tapi sialnya,
bab tersebut acap terbaca sia-sia, dan dinilai tak perlu.
Kendati begitu,
novel ini boleh kita apresiasi dalam penggarapan informasi dan perangkaiannya
sebagai sebuah cerita. Unsur kekeluargaan menjadi fokus lain yang mencoba
ditunjukkan, hal demikian terlihat antara lain dalam penjabaran akibat dari
sebuah pembantaian. Adalah ketika keluarga yang ditinggalkan mesti menanggung
malu dan distigmakan tak baik. Apalagi, bagi gadis seperti Sari. Di zaman itu,
pasca tragedi malam berdarah yang masih kerap menghantuinya bertahun-tahun
kemudian, kehidupan gadis itu seolah dibebani batu segunung. Kesedihan menjadi
temannya selama beberapa waktu. Namun untungnya, ia memiliki sahabat yang
teramat peduli. Ahmad, lelaki itu, senantiasa mengobarkan motivasi demi
bangkitnya lagi semangat hidup Sari. Gayung pun bersambut, Sari perlahan
merangkak keluar dari keterpurukkan. Tahun-tahun kemudian adalah masa Sari
menata diri dari luka dan memikirkan masa depan.
Di sela kelindan
konflik antara kasus dukun santet dan asmara Sari, novel ini pula
merepresentasikan wajah masyarakat pada umumnya. Ini dibuktikan ketika awal
mula pembantaian tersebut, radiogram dari pemerintah yang menginformasikan
nama-nama yang diduga sebagai pelaku ilmu supranatural dan dimaksudkan untuk
dilindungi, justru salah ditangkap maknanya oleh masyarakat. Orang-orang kadung
terbujuk desas-desus bahwa mereka yang diduga dukun—terutama dukun santet—
mesti dimusnahkan, kian menggila dan brutal dalam membabat habis orang yang
bisa saja tak tahu apa-apa, yakni mereka yang cuma tahu membantu wanita
bersalin atau menangani ketempelan.
Jelas masalah ini mengindikasikan bahwa mereka adalah masyarakat yang serte-merta
menyerap informasi yang beredar tanpa ber-tabbayun
terlebih dahulu.
Ihwal lain ialah
betapa stigma perempuan yang tak lagi sekolah, acap dipandang sebagai mereka
yang siap melangkah ke jenjang rumah tangga. Dalam hal ini, Sari mengalaminya
sendiri, ia terus saja didesak oleh ibunya perihal kapan ia menikah. Sebab di
zaman itu, menjadi tak lazim manakala perempuan usia duapuluhan masih saja
melajang.
Demikianlah, gambaran
masyarakat di novel ini setidaknya masih relevan dengan kondisi hari ini.
Beberapa bagiannya hadir seperti sentilan masyarakat yang mewujud sebagai
pengingat; hal tersebut aneh, tak masuk akal, atau sungguh tak perlu. Membaca
novel ini, kendati tidak bisa dipastikan bakal terpuaskan secara isi, tetapi
bila sudah tiba di akhir cerita tak bisa dipungkiri ia dianggap berhenti di
saat yang tepat. Momen yang pas. Dan hal tersebut terasa cukup. Ada banyak hal
yang mungkin harus digali dari luar.