Thursday, August 23, 2018

Cerpen - Keramaian Ramadan untuk Lelaki kesepian


Keramaian Ramadan untuk Lelaki Kesepian

            Lelaki itu hanya termangu di beranda belakang rumahnya. Termangu di atas kursi bambu yang reyot termakan usia. Ia ada di sana sejak sore hari tadi. Duduk di sana sendirian,  berdiam diri sampai dirinya tak sadar bahwa senja sudah dipeluk petang, kemudian malam segera datang menabur kegelapan.
            Pandangan matanya kosong, menatap pelataran yang penuh kenangan di depannya.
            Dalam pikirannya, ia tak ingin beranjak pergi dari tempat itu. Ia ingin di sana hingga semua benar-benar usai. Sampai seberaneka rasa yang menyambangi dadanya sejak tadi itu meringankan himpitannya yang menyesakkan. Ia tahu, meski menyakitkan, rasa-rasa itu pasti akan datang, cepat atau lambat, ia seharusnya bisa menerimanya. Namun, yang membuatnya tak menyangka dan terasa berat adalah, rasa-rasa itu terlampau cepat datangnya sebelum ia memiliki kesiapan untuk menghadapinya. Dadanya dipenuhi oleh rasa-rasa itu hingga membuatnya sesak, rasa-rasa yang hadir ketika seseorang ditinggal pergi oleh orang terpenting dalam hidupnya.  
            Dalam keadaan yang teramat kacau: rambut yang kusut, wajah muram dengan mata sembab, dan tubuh yang lemas lunglai lantaran tanpa tenaga, ia membuka mulut setelah sekian lama mulut itu mengatup, “Dedi pu-pulang, Mak.” Hanya suara lirihnya yang meluncur, yang bahkan tak lebih jelas dari desau nyanyian malam. Pandangan matanya berubah nanar. Wajahnya makin tampak sendu. Ia beralih menengadahkan wajahnya ke angkasa, menatap langit bersih tanpa saputan awan dan penuh bintang-gimintang. Ia berharap, mengalihkan pandangan dari pelataran itu barangkali bisa mengurangi sesak di dadanya, membuat pikirannya tenang sejenak dari gejolak emosi yang hadir. Tetapi ia salah, ia lupa satu hal, bahwa segala yang ada di situ juga menyimpan kenangannya sendiri-sendiri, sekalipun itu sehamparan langit. Samar, satu suara lembut penuh perhatian itu terngiang, bukan di telinganya, melainkan jauh di kedalaman benaknya. “Lihatlah bintang di langit kala kau kesepian, Sayang... kau akan merasa lebih baik.” Itulah suara ibunya, suara yang menyeruak keluar dari benaknya. Di lain waktu, ia sangat mempercayai kebenaran kata-kata ibunya itu. Ia melakukannya hampir tiap kali ia merasa kesepian. Setiap kali ia merasa sendiri. Dan ia merasakan benar bahwa melihat bintang-gemintang memang membuatnya lebih baik, ia jadi merasa tenang. Tetapi kini, bagaimanapun ia melihatnya, itu tidak membuatnya lebih baik. Malah sebaliknya, ia semakin kesepian, ia sendirian. Kata-kata itu kian membuat dadanya sesak. Kesepiannya kali ini berbeda dari yang pernah dirasakannya di waktu silam. Kesepiannya sekarang benar-benar mengiris kalbunya. Lain dari pada yang lain.
            Barangkali, jika ia tak teringat nasihat untuk tidak mengakhiri hidupnya yang berharga, saat ini ia sudah terkapar menenggak racun serangga. Mati adalah pilihan termudah untuk melarikan diri dari rasa sakit dan kesengsaraan. Terlintas sesaat yang lalu ia ingin membunuh dirinya, karena rasa sakitnya benar-benar tak tertahankan. Rasa sakit itu menyiksanya. Terlebih lagi rasa sakit yang timbul dari satu rasa itu, rasa penyesalan. Sungguhkah, adakah yang lebih menyiksa dari rasa penyesalan? Penyesalan yang teramat dalam?
            Mendadak, satu pikiran terbit di dalam kepalanya ketika memandang satu rasi bintang yang perlahan tertutup awan yang mulai muncul, satu pikiran konyol terbesit, aku ingin langit menjatuhkan mesin waktu, mesin yang bisa membawaku di waktu sebulan yang lalu. Ia ingin mesin waktu itu tiba di depannya sekarang, ia ingin mengulang jalan kisahnya walau di datangkan di waktu sebulan yang lalu. Ia ingin mengubahnya agar tak terjadi penyesalan seperti yang tengah dirasakannya hari ini.
            Ia menunggu, matanya tak beranjak dan tetap memandangi langit yang mulai muram oleh awan, namun mesin itu tak kunjung tiba. Ia meringis, satu tangannya menyentuh dadanya. Sesak di dadanya kian menyesakan. Semakin menyiksanya. Ia sadar, bahwa mesin konyol itu tidak akan tiba, ia tidak bisa memutar waktu dan mengubahnya. Rasa sakitnya kali ini adalah ganjaran yang sepantasnya ia dapatkan karena kesalahannya sendiri. Semata-mata karen dirinya sendiri. Kemudian, di kepalanya sekarang, ia mulai berandai-andai, andaikan sebulan yang lalu ia segera pulang ke rumah, andai ia tak menjadi pria yang telah gila kerja hingga melupakan segala hal, andai... ia menuruti kemauan ibunya... untuk pulang dengan segera sebelum Ramadan tahun ini tiba. Terus-menerus, kata-kata ‘andai’ berputar-putar dalam pikirannya. Yang kian membuatnya tenggelam dalam kesedihan.
            Dari berandai-andai, kini ia menyalahkan diri sendiri. Ia menyalahkan dirinya di masa lalu. Keputusannya. Ia yang mengabaikan ucapan dan nasihat ibunya. Dan segala hal yang terjadi di masa silam. Ia menurunkan pandangannya, kembali memandangi pelataran belakang rumahnya itu. Pelataran yang masih dipenuhi tumbuhan singkong dan sayuran, dan serimbun kenangan yang dengan lebatnya tumbuh di sana. Seperti halnya tumbuhan singkong, kenangan itu pun melambai-lambai kala diembus angin malam. Tangkai-tangkainya bergoyang-goyang, kemudian meluruhkan daun-daunnya dengan perlahan. Daun-daun yang mengandung segala hal yang pernah terjadi di tempat itu. Hal-hal yang ia jalani bersama ibunya di masa lalu, saat-saat yang setelah ia pikirkan ulang jelaslah lebih membahagiakan dari hidupnya beberapa tahun belakangan ini di tanah rantau. Dan kini, bersama meluruhnya daun-daun itu, serupa tetesan embun yang jatuh mencumbu batu lantas pecah, kenangan-kenangan itu pun jatuh dan kembali memutar adegan per adegannya. Dari peristiwa ke peristiwa. Seperti potongan sebuah film, fragmen-fragmen kejadian masa lalu pun berputar. Dahulu, di sanalah ia bersama ibunya merangkai waktu dengan kerja keras untuk menyambung hidup dari waktu ke waktu. Di pelataran itu, mereka menanam beraneka sayuran untuk kemudian dijual sebagai pemenuh nafkah keluarga. Berdua mereka bahu-membahu menggemburkan tanah, menaburkan benih, menyiraminya, serta menyianginya dari gulma yang mengganggu. Baginya, tempat itu tak hanya sekedar pelataran  untuk bercocok tanam, melainkan lebih dari itu. Tempat itu adalah saksi bisu dari pergulatan hidup dia dan ibunya dalam memperjuangkan hidup selain atap berdinding anyaman bambu yang sekarang menaunginya. Tak pelak, dadanya makin terasa sesak ketika menyaksikan kembali gambaran masa lalunya di tempat itu. Ia kembali teringat teriakan ibunya, yang dengan lembut memanggilnya suatu ketika. “Berhenti dulu, Nak. Istirahat dululah kau.” Bibirnya perlahan terangkat, membentuk senyuman tipis, suara ibunya serupa kehangatan senja, yang sedikit meredakan rasa sesak di dadanya. Ia menoleh ke belakang, terbayang ibunya yang berdiri di belakangnya, di ambang pintu. Memandang dirinya yang  berbanjir peluh di tengah pelataran dengan pandangan yang meneduhkan.
            “Sebentar lagi, Mak.” Mendengar suara itu, ia mengembalikan pandangannya, tatapannya sekali lagi memandang pelataran itu, menyaksikan dirinya di masa lalu yang bersikukuh dengan pekerjaannya. Di sana, ia melihat dirinya yang sedang bergelut dengan cangkul dan tanah di bawah terik matahari siang. Dirinya yang dengan semangat menggemburkan tanah.
            “Bebal sekali kau! Sudah istirahat dulu, Dedi!” Sekali lagi, pendangannya berpaling ke belakang, mendapati sosok ibunya yang berwajah kesal dengan segelas kopi di tengannya berjalan mendekati bangku bambu dan segera duduk tepat di sebelahnya. Ia melihatnya, memperhatikan tiap detail sesosok yang duduk di sebelahnya. Wajah itu, wajah yang tampak lelah namun meneduhkan, yang penuh sisa guratan jalan kehidupan, terlihat amat nyata di hadapannya. Tanpa ia sadari, satu tangannya terangkat untuk meraih wajah itu, untuk menyentuh pipi wanita itu. Pipi ibunya yang meranum kelembutan. Namun, telapak tangannya hanya mendapatkan kekosongan, ia tak merasakan apapun selain udara malam. Tangannya tak merasakan pipi lembut yang sering menjadi jalur air mata ibunya. Kemudian, tanpa ia sadari, satu butir bening menetes kembali dari dari pelupuk matanya yang masih sembab. Wajah itu amat nyata, meski ia tahu bahwa itu hanyalah fana.
            “Mak.” Ia melihat dirinya di masa lalu tengah berjalan ke arahnya. Lantas, mengambil sebuah bangku di dekat pintu dan meletakannya di tanah tepat di depannya. Ia berada di tengah mereka berdua, di antara dirinya di masa lalu dan bayangan ibunya. Adegan itu terus berjalan, sekarang ia menyaksikan dirinya di masa lalu yang perlahan meneguk kopi yang di bawakan ibunya tadi.
            “Aku mau minta restu, Mak.” Sesosok dirinya di masa lalu berkata pelan setelah meletakkan gelas itu di sampingnya. Memandang ibunya dengan wajah mengharap.
            Tentu ia amat ingat saat-saat siang itu, ia tak mungkin melupakannya. Ia mengingatnya sejelas mengingat berapa usianya tahun ini. Ketika itulah awal yang akan mengubah wajah kehidupan ia dan ibunya, awal yang memiliki akhir hari ini, malam ini.       “Aku ingin merantau ke kota,” ucap dirinya di masa lalu lagi. “Boleh?”
            Ia menoleh ke sebelahnya, ikut memandang sesosok ibunya. Ia melihatnya dengan jelas perubahan air muka ibunya. Ia mendapati wajah itu seketika terlipat, dan baru hari ini ia menyadari sesuatu, ia dapat memilihatnya sekarang, sangat jelas, bahwa ada kesedihan, ketidakrelaan, serta kekhawatiran yang tertoreh di wajah ibunya.
            Namun, wanita itu hanya tersenyum, tangannya terangkat meraih wajah lantas menyeka tanah yang menempel di pipi sesosok dirinya di masa lalu itu. “Mamak ke warung dulu, ya. Kau istirahat saja setelah ini.”
            Dan sesosok ibunya itu seketika berdiri. Berniat pergi dari halaman belakang rumah itu.
            “Dedi sudah besar, Mak.”
            Langkah ibunya terhenti sebelum meninggalkan ambang pintu. Ia menoleh ke arah anaknya.
            “Dedi, harus keluar, Mak.”
            “Tidak, Mamak tidak mengijinkan.” Dan ia mendengar kalimat itu lagi, untuk kali kedua. Kalimat yang sebenarnya hampir menghancurkan pondasi semangatnya kala itu.
            “Aku tidak akan jadi seperti Bapak,” dirinya di masa lalu menunduk, “yang meningalkan Mamak. Dedi pasti sering pulang nanti.” Saat itulah, ia kembali teringat sosok ayahnya, ayah yang tak pernah ia saksikan seperti apa wujudnya. Ayah yang dengan kejam meninggalkan ibunya. Kala itu, ia masih berumur dua tahun, ayahnya pamit kepada ibunya untuk merantau ke kota besar, untuk mengubah nasib keluarganya. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, ayahnya tak kembali. Pun tidak ada kabar tentang ke mana ayahnya itu. Ayahnya hilang seolah ditelan bumi.
            Siang itu, ia tak tahu apa yang sebenarnya memberatkan hati ibunya.
Bagi ibunya, suatu kali, ia pernah menduga bahwa saat-saat seperti ini pasti akan datang. Cepat atau lambat. Namun ia selalu merasa berat untuk menyiapkan diri untuk menerimanya, itu terlalu berat bagi seorang ibu seperti dirinya. Untuk kali kedua ia menghadapi situasi seperti itu, situasi ketika orang terpenting di dalam hidupnya pamit untuk pergi meninggalkannya. Ia pernah mengalaminya dulu oleh suaminya, dengan waktu dan tempat yang sama. Dan mengingat tentang suaminya, ia tidak ingin itu terjadi kepada anak semata wayangnya, Dedi. Ia terlalu takut untuk melepas Dedi pergi. Bukan ia mengkhawatirkan dirinya yang akan ditinggal sendirian, namun ia mengkhawatirkan anaknya. Ia mengkhawatirkan kehidupan anaknya di tanah rantau. Pun keselamatan anaknya. Sungguhkah, adakah yang lebih membuat khawatir orang tua selain keselamatan anaknya? Dan yang paling membuat ia takut adalah, jika Dedi tidak kembali. Ia tidak ingin merasakan kehilangan yang sama seperti yang dahulu ia rasakan ketika ditinggalkan suaminya.
            “Dedi janji akan sering pulang, Mak. Kalau Dedi tidak pergi, kita akan seperti ini saja, hanya menanam sayuran yang hasilnya jika dijual tidak seberapa. Dedi bukannya tidak bersyukur, tetapi Dedi ingin mengubahnya menjadi lebih baik. Dedi nanti bisa membiayai impian Mamak untuk ke Mekah. Membuat rumah yang bagus. Dan bisa membahagiakan Mamak.” Dirinya di masa lalu menatap ibunya penuh harap. “Ijinkan Dedi pergi, Mak.”
            Ibunya mendesah, menengadahkan wajah ke atas, suatu usaha agar linangan air matanya tak tumpah. Itulah saat-saat terberat bagi seorang ibu, ia berdiri di antara keinginan anaknya yang menggebu-gebu dan kekhawatiran dirinya yang mengatakan untuk tidak melepas anaknya pergi. Sesungguhnya, ia amatlah bimbang, namun kala melihat mata anaknya yang tengah menatapnya, hatinya perlahan mencair. Apa salahnya percaya untuk kali kedua? Ia berusaha untuk mempercayai kata-kata anaknya dan sejenak mengesampingkan egonya. Samar, ia mengangguk. Ia tak sampai hati jika menolak keinginan anaknya kendati harus menjalani lagi hari-hari yang jauh dari orang tersayang.
            Dirinya di masa lalu seketika memeluk ibunya. Teramat erat.
***
Angin malam kembali berembus, menyadarkan Dedi dari perjalanan masa lalunya. Ia rindu pelukan ibunya yang hangat dan menenangkan. Ia ingin merengkuh tubuh itu, tubuh yang memancarkan cinta dan kasih sayang tiap waktu. Namun, saat ini ia tak bisa lagi, tubuh itu sudah tertidur bersama setimbun tanah beberapa minggu yang lalu. Ibunya sudah berpulang sebelum dirinya sempat menyesapi kehangatan pelukan ibunya setelah setahun lebih tidak ia rasakan. Kini, ia menangkupkan telapak tangannya ke wajah, menahan sekuat tenaga gejolak rasa yang hadir bersama air matanya membuncah dan menderas.
“Hati-hati kau, jaga dirimu baik-baik.” Suara lembut itu kembali terngiang, suara yang terdengar amat dekat dari tempatnya duduk sekarang. Dari dalam dirinya, timbul dorongan untuk bangkit berdiri dan berjalan mendekati sumber suara itu, kemudian ia pun berjalan mengikuti kata hatinya. Langkahnya pelan seolah tanpa tenaga. Pandangan matanya masih nanar. Dan matanya semakin sembab.
Langkah kakinya membawa ia ke ruang depan, sekarang ia menyaksikan satu kenangan yang sekali lagi berputar dan tampak nyata. Di depan pintu itu, terlihat dirinya di masa lalu tengah menunduk mencium punggung tangan ibunya. Suasana sendu yang selalu mengiringi seseorang untuk melepas suatu kepergian seketika mengambil alih udara di ruangan itu. Dari belakang bayangan ibunya, ia menyaksikan kembali saat-saat kepergiannya. Terkenang kala itu dirinya yang meski berat hati, harus meninggal ibunya sendirian di rumah.
“Dedi pamit, Mak.” Lantas ia pun melangkah meninggalkan ambang pintu itu, rumah itu, dan ibunya.
Di kepalanya, ingatan itu terus menjalar ke masa-masa setelah ia melangkahkan kaki meninggalkan ibunya. Ia terkenang perjuangan dirinya di tanah rantau, yang dari seorang kuli bangunan kemudian menjadi asisten seorang Arsitek kenamaan. Hidupnya menjadi lebih baik. Ia lebih sering mengirimi ibunya uang dan kebutuhan pendukung lainnya. Bahkan, ia bisa membangun rumah yang jauh lebih baik dari rumah tempat tinggal dulu. Rumah itu ia dirikan di desa seberang dan ia bangun dari hasil jerih payahnya sendiri. Rumah itu bagus, memiliki empat kamar, sebuah kolam ikan, dan sepetak tanah penuh dengan Bonsai. Namun, kendati rumah itu nyaman untuk ditinggali, ibunya enggan untuk menepati rumah baru itu. Bukannya tidak mensyukuri hasil kerja keras anaknya, melainkan ia mempunyai alasan khusus kenapa ia menolaknya. Alasan yang mulia, yang hanya hadir dari seorang ibu.
Berkali-kali Dedi membujuk ibunya untuk pindah dari rumah itu, bilang, kalau rumah barunya jauh lebin aman dan nyaman. Namun tetap saja, ibunya tetap menolak secara halus keinginan anaknya itu. Ia selalu mengatakan, “Untuk masa depanmu, Nak. Tempat kau merajut rumah tangga bersama istrimu kelak.” Jika sudah mendengar ibunya berbicara demikian, ia tak bisa lagi memaksa ibunya. Ia benar-benar tahu, bahwa mengabaikan nasihat orang tua, terutama seorang ibu, akan berakibat buruk kedepannya. Ia berpegang teguh pada pendiriannya itu, ia selalu mendengar nasihat dan permintaan ibunya.
Namun, ia hanyalah manusia biasa, yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan.
Sebulan yang lalu ia mendapat telepon dari ibunya, yang memintanya untuk segera pulang, agar bisa menyambut datangnya bulan Ramadan dan menjalani ibadah puasa tahun ini bersama-sama dan tak seperti tahun-tahun sebelumnya yang ia hanya pulang ketika mendekati Lebaran.
“Bisakah kau, Nak?”
“Bagaimana, ya, Mak? Bulan ini Dedi masih sibuk sekali, proyek Masjid itu menuntut untuk selesai sebelum bulan Ramadan, dan itupun jika tak terkendala. Jadi, kemungkinan paling cepat Dedi bisa pulang awal-awal Ramadan. Tidak apa-apa ya, Mak?”
Ibunya hanya bisa mendesah samar, menahan kekecewaan ketika mendengar jawaban anaknya. Tetapi ia tak menunjukan kekecewaanya itu, ia menyamarkan nada suaranya seolah tak masalah dengan jawaban anaknya dan berkata, “Tidak, tidak apa-apa, Nak. Yang terpenting kau bisa pulang.” Meski kecewa, ia tidak ingin membebani anaknya dengan tuntutannya. Ia tidak ingin membuat karier anaknya bermasalah hanya karena permintaannya. Ia ingin menjadi ibu yang baik untuk anaknya.
***
Dedi tersadar dari ingatan masa lalunya ketika telinganya menangkap suara orang mengaji dari Masjid di desanya. Malam ini adalah malam Ramadan pertama. Malam yang seharusnya ia habiskan dengan suka cita dan rasa syukur, namun yang ada dalam dirinya hanyalah kekosongan dan kesepian. Perlahan, air matanya kembali membuncah dari pelupuk matanya, di kepalanya berputar-putar satu kata: Jika. Ia menyesal akan dirinya, jika sebulan yang lalu ia menuruti apa permintaan ibunya, tentu malam ini ia tak merasa sesepi yang tengah dirasakannya. Jika saja ia segera pulang, pastilah beberapa minggu yang lalu ia masih sempat menghabiskan waktu bersama ibunya. Jika saja ia langsung kembali, ia bisa menemani ibunya hingga maut menjemput wanita itu.
Namun, semua itu telah berlalu, yang telah terjadi dan hanya meninggalkan penyesalan di dalam dirinya. Mau bagaimana lagi, ibunya telah meninggal seminggu setelah ia menghubungi anaknya untuk memintanya pulang. Dan, sebelum kerabat ibunya sempat mengabari Dedi, ponsel milik Dedi terjatuh dari ketinggian gedung dan tak bisa lagi digunakan. Jadilah ia tak menerima kabar tentang kematian ibunya. Sementara kerabatnya pun bingung harus mengabari Dedi dengan cara apa, mereka hanya memiliki satu kontak Dedi, dan jika ingin mengirim seseorang untuk memberitahu Dedi, mereka tak tahu Dedi ada di mana.
Dedi pulang siang tadi, ia teramat terkejut dan hampir pingsan ketika mengetahui kabar kematian ibunya. Ia langsung menyambangi makan ibunya, kemudian saat sore tiba, ia datang ke rumah ini. Rumah yang kini ditumbuhi kenangan masa lalunya. Kenangan itu tumbuh di mana-mana. Setiap jengkalnya memiliki kenangan sendiri-sendiri. Kenangan itu bisa dirasakannya, ia bisa melihatnya, mendengarnya. Namun tetap saja, meski semua itu terasa nyata, ia masih saja merasakan kesepian. Ia sendirian.
Sayup-sayup, telinganya menangkap suatu suara, suara yang kian lama semakin jelas. Suara itu semakin jelas di telinganya, ia tersadar, bahwa itu adalah suara arak-arakan warga kampung yang berkeliling sambil bershalawat dan membawa obor pada malam pertama bulan Ramadan. Suara itu jelas, dan terdengar... ramai. Mendengar suara itu, dengan perlahan kakinya melangkah ke depan pintu. Tiba di sana, matanya disambut arak-arakan cahaya yang memancar dari obor-obor yang dibawa warga, cahaya yang berpendar serupa gerombolan kunang-kunang yang besar. Suara warga bershalawat menggema di sepanjang jalan kampung. Ia menyadari sesuatu, mendengar dan melihat pemandangan di depannya, seketika mengingatnya dengan satu kalimat ibunya dahulu, “Percayalah, Nak. Segundah apa pun hatimu, sekacau apa pun pikiranmu, dan sesepi apa pun dirimu, jika kau merasakannya pada bulan suci ini, pada bulan Ramadan. Maka kau harus percaya, bulan ini bisa menghilangkan semua itu. Karena, bulan ini membawa Rahmat untuk mengobati hatimu, memberi suasana yang menenangkan pikiranmu, dan membawa keramaian untuk melenyapkan rasa sepimu. Percayalah.”
Dengan mata yang berkaca-kaca, ia memandang rombongan di depannya itu, ia membenak, “Aku percaya, Mak. Aku tidak akan mengulanginya lagi, aku akan mempercayai semua pesan dan nasihatmu. Tanpa satu pun terkecuali.”
Lantas, ia berjalan menuju rombongan itu, ia tak ingin mengabaikan pesan ibunya seperti ia mengabaikan permintaan wanita itu dahulu.
Ia berlari, menyeka matanya. Salah seorang temannya melambaikan tangannya, memanggil namanya.
Ramadan 2018.





Share:

Puisi - Pohon Baru dalam Kepalaku


Pohon Baru dalam Kepalaku

Kemarin pagi, kusemai satu benih
di rimba kenangan dalam kepalaku.
Tepat di sebelah pohonmu yang telah
lama mengakar di situ.

Masih sama.                                               
Pohonmu tumbuh subur;
Daundaun merimbun penuh peristiwa;
Rantingranting menjuntai memisahkan masa;
Sulursulur yang membelit kita dari waktu ke waktu;
Dan akarakar yang menyimpan anganangan masa lalu.

Pohonmu selalu kujaga, kurawat. Kautahu?
Dedaun yang kering kubuang, agar kubisa menikmati kenangan dengan tenang.
Reranting rusak kubakar hingga jadi abu, karna itu menghambat jalan kisah di pohonmu.
Serta tak lupa, tiap malam, kubawa keluar rumah, bermandikan pijar candra
kusiram pohonmu dengan air mata.

Selepas menyiramimu,
pada malammalam yang sunyi,
sang bayu menggamit dedaunanmu,
gemerisik gesekan daun dan ranting.
Kita tertawa, berjalan, bercanda, dari daun ke daun,
menyebrangi rantingranting,
bergelantungan di juntaian sulursulur waktu.

Aku mengenangmu.

Kemarin siang, benih yang baru kusemai mulai tumbuh.
Ia akan menjadi satu di belantara
kenangan dalam kepalaku.
Bersama pepohonan lain di situ.
Ya, ia tumbuh di sebelah pohonmu.
Kurasa, ia akan jadi pohon yang mengakar dalam sepertimu,
punya daun yang indahindah,
ranting yang menguatkan,
dan sulur yang saling mengikat erat.

Tadi malam, sebuah daun merekah di rantingnya.
Tadi malam, maaf, aku tak menyiram pohonmu dengan air mata.


Lampung, 24 Agustus 2017.
Share:

Wednesday, August 8, 2018

Puisi - Padamu yang Pergi

Bersamanya, yang pernah singgah di hati.

Padamu yang Pergi

Untukmu,
yang pernah menyulut bara renjana di dada,
yang pernah mempercayai hati untuk kujaga.
Untukmu,
yang pernah mengirim rindu untuk kuderita,
yang pernah membelah waktu untuk berdua.

Terima kasih.
Untuk kesempatan mencintai
dengan janji suci sampai mati.
Untuk saat saat bersama
ketika kita membagi duka,  merangkai bahagia.
Untuk kiriman rindu yang menemaniku
saat sepi menjamu waktu.

Maaf,
untuk perhatianmu yang justru ku anggap berlebihan
serta kasihmu yang sering kuabaikan.
Maaf,
jika hatiku sering membuatmu cidera
sedang hatimu serasa kupenjara.
Maaf,
atas diriku yang tak sadar
telah menelantarkan cintamu yang mengakar.

Dahulu, memanglah salahku.
Diammu kusangka kau telah bosan.
Jarak yang melebar kukira cintamu yang pudar.

Aku tak mengerti.
Mengapa berpaling kulakukan dengan mudah,
sementara dirimu menungguku dengan tabah.
Mengapa cinta itu makin kulepaskan,
sementara sekuat tenaga kau mencoba ‘tuk bertahan.
Mengapa kubaru merasa bersalah,
setelah kau memutuskan untuk menyerah.

Kau pergi menyisakan arah untuk kugapai lagi.
Namun sayang, hatimu tak lagi membuka diri.

Kini.
Sesalku menumpuk di dada karena cerita kita berakhir nestapa.
Janji hingga akhir hayat tinggal angan-angan yang tak terwujudkan.
Kisah manis kita tertinggal di kepala berbingkai kenangan.
Dan rindu masih menjamah malam-malam tanpa gegap-gempita.

Darimu kumasih belajar,
untuk mencintai sekaligus melepas pergi.

Juli, 2018


Share: