Saturday, September 21, 2019

Gue, Maba, dan Hal-hal Tak Penting Lainnya



Sebelum membaca lebih jauh, gue peringatin kalau apa yang tertulis di sini sungguh berpotensi membuat lo bosan, nguap berkali-kali, bahkan memaki betapa enggak pentingnya tulisan ini.

Nah, tapi kok ya tetap dibaca, loh. Udah, sana-sana. Jauh-jauh. Tinggalin blog ini. Pergilah ke ranah IG, Facebook, Twitter, atau ke manalah, yang jelas-jelas punya faedah buat hidup lo. Eh, masih ngeyel baca? Udah, deh. Tulisan ini sungguh enggak penting, enggak berguna, enggak ada tuh kata-kata motivasi apalah-apalah, gue bukan Jack Ma, ya, Sis dan Agan sekalian. Jadi, jangan masang ekspektasi tinggi atas tulisan ini.

Herannya, masih aja ada yang baca sampai sini. Kok, kayaknya lo penasaran banget, sih! Heh, gue bukan Raditya Dika, ya. Enggak ada tuh tulisan gue bikin lo ketawa. Jadi, sebelum waktu beberapa menit lo terbuang sia-sia, tinggalin deh blog ini. Pergi ke mana, kek. Stalking kating apa nge-WA-in teman seangkatan yang cakep, kek. Nggosipin kucing bunting punya tetangga lo, kek. Atau ke manalah. Terserah.

Bener-bener, dah. Kayaknya emang penasaran berat, nih. Sampai sini masih dibaca coba!

Oke, oke, saudara senenek moyang Homo Sapiens yang suka pusing ketika tanggal tua sekalian, karena lo masih mantengin tulisan ini, dengan rasa hormat setinggi tower Telkom, gue ucapkan terima kasih. Terima kasih atas kesedian lo buat mampir ke blog yang sempet mati suri ini. Terima kasih telah menjadi tamu terhormat di rumah bagi kediaman tulisan-tulisan gue ini! Terima kasih. Terima kasih. Makaseeehhh! XD

Baiklah, dengan disaksikan debu jalanan di atas tanah gersang dalam kemarau berkepanjangan ini, gue ucapkan selamat datang buat lo di tempat yang sedikit menggambarkan dunia yang baru gue jejaki, datangi, dan yang ke depannya menjadi ranah petualangan, mata air pengalaman, serta dimensi yang mempertemukan gue dengan banyak hal baru yang sama sekali enggak terbayangkan sebelumnya.

Perlu diketahui, tahun ini gue menjadi seorang Mahasiswa Baru. Yap, di umur yang menginjak sembilan belas tahun ini, gue baru menjejaki jenjang perguruan tinggi. For your information aja, jadi tuh gue Gap Year, gitu. Sebelumnya, gue sempet berniat memasuki dunia kerja pasca lulus dari SMK, gue juga sempet mempersiapkan diri dengan memperdalam kemampuan di bidang komputer dan bahasa Inggris di satu lembaga kursus untuk menajamkan kualitas diri supaya dapat bersaing di kerasnya dunia kerja. Akan tetapi, setelah melewati masa penggemblengan selama kurang-lebih empat bulan tersebut, dan kepercayaan bahwa diri gue sudah cukup mumfuni dan memiliki kecakapan, huh, ternyata gue masih dikalahkan oleh kerasnya dunia ini, Saudara-saudara. Sungguh, diri ini masihlah tidak ada apa-apanya. Penolakan demi penolakan, mampir lewat telepon yang mengabarkan kabar horror, kalau gue … ditolak!

Sejak itu, gue sempat frustrasi akan kemampuan diri gue. Betapa lemahnya diri ini, membuat gue enggak percaya diri. Beberapa bulan gue menjadi manusia yang menutup diri dari dunia luar. Beberapa kali gue pernah mikir buat mati, bunuh diri, bahkan mempraktikkan self harm dengan mukul-mukul kepala sendiri ketika tiba gue depresi akut dan merasa hidup ini enggak ada gunanya. Gila, kan? Ngeri, kan? Akan tetapi, di suatu kali, gue teringat akan mimpi-mimpi gue. Dan di puncaknya, hal tersebut menumbuhkan keyakinan, kalau hidup gue enggak berhenti sampai di sini, enggak berhenti cuma di kamar, doang. Bila tetep kayak gitu, mau jadi apa gue ke depannya?  Kalau terus-terusan berjibaku di dalam jurang keputus-asaan, mana mungkin gue dapat membanggakan orang tua? Akhir, bak cerahnya sang surya yang tersenyum di kala fajar, terbit pemikiran-pemikiran kalau harapan untuk berubah, itu masih terbentang lebar. Perjalanan gue sebagai manusia belum berakhir. Gue masih punya kesempatan untuk membelokkan arah nasib. dan mengubahnya ke arah yang lebih baik.

Gue Memilih Sastra Inggris

“Wahid, kamu punya mimpi jadi apa?” tanya mentor gue kala masih di lembaga kursus itu ketika kami terdampar di satu acara motivasi.

“Penulis, Sir!” jawab gue lantang.

Itu sedikit cuplikan yang gue alami ketika masih di proses penggemblengan diri. Hmm, gini-gini, jadi tuh kendati gue masuk ke lembaga itu untuk mempersiapkan diri supaya dapat bersaing di dunia kerja, perihal mimpi-mimpi ke depan enggak dibatasi, di acara tersebut kami bebas menuliskan impian dan keinginan apa pun yang ingin dicapai, kemudian membuat daftar step-step untuk menggapainya. Dan seorang penulis, adalah satu-satunya impian yang terbersit di dalam otak gue. Yup, kesukaan gue membaca karya sastra, lama-kelamaan menumbuhkan keinginan untuk turut serta menjadi seorang pengarang atau penulis. Tetapi, saat itu, prioritas gue tetap gimana caranya bisa dapet kerjaan, udah. Jadi, impian tersebut sementara gue sisihkan ke sudut lain, gue abaikan sampai kelak bakal dilirik lagi bila waktu menghadirkan rencananya yang tak terduga.

Kemudian, memang benar adanya. Seperti yang gue bilang sebelumnya, impian tersebut menghinggapi gue ketika diri ini masih berjuang dalam kejamnya perasaan frustrasi yang menggerogoti tubuh. Teeng’ Impian untuk menjadi penulis, muncul di benak dengan kuatnya, amat menggebu-gebu. Dan hal itu, dipantik lagi ketika gue jatuh cinta dengan tokoh Amba di novelnya Laksmi Pamuntjak yang berjudul sama: Amba. Sedikit tentang wanita hebat tersebut, ia adalah seorang penerjemah lulusan Sastra Inggris UGM tahun ’60-an. Gue bener-bener jatuh cinta sama dia. Tentang dirinya. Petualangannya. Bagaimana ia menempuh pendidikannya. Membuat gue yakin, kalau gue harus jadi seperti dia. Atau minimal, gue harus mengikuti jalannya di bidang tersebut. Alhasil, gue jadi memantapkan diri, di tahun 2019 ini, gue harus kuliah, dan jurusan yang gue ambil adalah Sastra Inggris.

Enggak sampai di situ, selanjutnya, gue mulai tertarik di dunia edit-mengedit. Pengalaman membantu mengedit cerita temen ternyata memiliki keasyikan tersendiri. Ditambah lagi, gue pernah sekali membantu salah satu penerbitan indie buat mengeditori satu naskah novel. Berat memang. Kudu teliti. Bahkan di beberapa waktu, gue sempet tinggalin dan enggak disentuh. Tetapi, lagi-lagi, pengalaman itu memiliki keasyikan yang enggak kalah sama proses menulis. Lebih dari itu, menjadi editor dituntut lebih peka, tajam menginterpretasikan satu adegan, sabar, dan di punggungnya terpikul tanggung jawab untuk menjadikan naskah tersebut layak diterima pembaca. Dan kelak, kalau gue ingin menempuh jalur itu, salah satu syaratnya adalah menjadi orang dengan latar belakang lulusan Sastra.

Hmm, dari ketiga pemantik itu, cukuplah bagi gue dijadiin alasan kenapa gue memilih jurusan ini.

Kenapa di Universitas Teknokrat Indonesia?

Sebab setahu gue, di Lampung, kampus yang memiliki prodi Sastra Inggris, ya universitas ini. Gue juga punya temen yang dulu seangkatan yang lebih dulu masuk sini. Yah, tahulah, faktor supaya ada temennya itu sungguh-sungguh memengaruhi seseorang apabila ia ingin masuk ke satu dunia yang sama sekali baru, intinya, biar enggak dungu-dungu amat kayak orang ilang yang bingung enggak punya temen. (Anjir, ini gue ngomong apa, sih?)

Udah, langsung alasan berikutnya. Dan itu adalah, karena universitas ini menyediakan jalur Bidikmisi yang kalau tembus, Masya Allah, Akhi-Ukhti sekalian, sungguh-sungguhlah menggiurkan bagi kantong kaum jelata nan misquen ini. XD.

Alhamdulillah-nya, gue yang jadi salah satu orang beruntung, sebab tiket bidikmisi tersebut jatuh ke tangan … gue! Masya Allah ….

Ini Foto Bersama anak-anak Bidikmisi 2019. Gue yang kedua dari kanan, cowok paling pendek itu.

Enggak sampai di situ, Saudaraku setanah air yang suka ngamuk kalau kuota habis sekalian, sebab di universitas ini, gue dipertemukan kembali dengan dua orang temen terbaik yang sempet terpisah di bangku menengah atas soalnya kami beda sekolah. Takdir itu terkadang punya selera humor yang tinggi, ya. Ini, loh, kami dipertemukan di tempat yang sama, dengan kondisi yang sama-sama, pula (baca: Gap Year).

Masya Allah ….

Formasi aslinya empat orang, but, satunya lagi melancong ke Jogja.


Tentang Acara Propti

Gila, lo masih betah baca tulisan ini? Emang penting, gitu? Enggak, kan? Udah, sana-sana. Udahan aja.

Lah, masih ngeyel. Ya udah, gue lanjutin, deh.

Jadi, propti ini akronim dari Program Orientasi Pendidikan Tinggi (catet! Kali aja ada yang enggak tahu). Kebetulan, gue kebagian gelombang kedua, sebab beberapa bulan silam Universitas Teknokrat Indonesia udah lebih dulu menggelar acara serupa.

Acara ini digelar selama tiga hari, 19-21 September 2019. Dilangsungkan di gedung GSG universitas tercinta, dengan semilir angin dari kipas yang sialnya enggak menyeluruh menjangkau tubuh-tubuh yang mengenaskan dililit gerah dan rasa panas. Auto kipas-kipas sendiri ….

Mau tahu apa perasaan gue ketika dipertemukan sama Maba lainnya?

Jawabannya adalah, minder. Yup, penyakit sialan yang sejak dulu menjakiti diri gue di tempat dan suasana baru. Asli, jujur, gue ngerasain ini. Ya, mungkin ini bagian dari berlebihannya mindset kalau gue berada di bawah mereka. Baik dari segi penampilan dan isi otak. Kendati gue siswa Bidikmisi, yang tentu saja semua orang sepakat, kalau orang-orang seperti kami ini bukan orang sembarangan, tapi hal itu tetep enggak membendung diri gue untuk enggak merasa minder.

Menjadi Peserta Terbaik Propti Mahasiswa Baru

See? Yak, gue ya ono, noh.

Ini sama sekali awkward. Apa yang spesial dari diri gue? Kenapa gue terpilih dari seribu lebih peserta lainnya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapaaaaa?

Gini, lo tahu enggak, acara propti yang tiga hari ini, utamanya adalah diisi dengan materi-materi yang disampaikan guna menggugah jiwa muda kami. Disampaikan oleh para pemateri yang setidaknya terdiri dari delapan narasumber yang sorry banget gue lupa siapa aja tetapi yang pasti ada Bapak ketua yayasan, Bapak Rektor, pihak dari BNN, pihak dari lembaga pendidikan di Lampung, serta perwakilan dari TNI. Selebihnya, gue lupa siapa-siapa aja. Dari mereka, banyak banget pesan dan informasi yang beliau-beliau paparkan. Misalnya, menyoal Literasi Baru, era revolusi 4.0, betapa pentingnya bela negara, tentang narkoba, dan beberapa hal penting lain yang sorry banget, sekali lagi gue lupa apa-apa aja. Dan, dari pemantik informasi dari beliau-beliau sekalian tersebut, kami dipersilakan untuk menanyakan seputar topik yang sedang dibicarakan. Banyak, dong dari kami yang getol nanya ini-itu. Bahkan acap kali sampai rebutan dan ada Maba yang malah enggak dapet kesempatan buat tanya. Duh, jadi kasiaan ….

Berangkat dari peran kami dengan mengutarakan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ternyata itu menjadi salah satu poin yang diperhitungkan untuk memilih siapa yang pantas menyandang siswa terbaik di propti ini. Jelas hal itu enggak semuanya kami ketahui. Dan gue, sebenarnya enggak memenuhi-memenuhi amat syarat tersebut. Heh, gue tanya itu kayaknya enggak lebih dari empat kali, loh. Gue lihat juga, ada beberapa tuh, yang itensitas tanyanya gencar banget, juga pertanyaannya yang jauh lebih berbobot.

Lalu, kok, gue yang kepilih?

Entahlah, mereka, para penyelenggara acara ini jelas yang tahu pasti jawabannya. Mungkin, ada bejibun aspek lain yang dilihat, yang sama sekali enggak kami ketahui apa itu.

Makanya, gue bener-bener enggak ngerti kenapa diri ini bisa terpilih. Sebelum pengumuman siapa siswa terbaik itu, beberapa jam ke belakang, gue memang dipanggil ke belakang, dibawa ke satu ruangan untuk menemui seorang dosen Sastra Inggris. Di situ, gue dikasih tahu untuk segera membuat teks pidato yang mewakili peserta putra atas kesan dan pesan terselenggaranya acara propti ini. What? Pidato? Gila, seumur-umur gue enggak pernah ngelakuin itu, Saudara-saudaraku sekalian. Pengalaman tampil di depan umum gue ketika sekolah dulu adalah menjadi pembaca doa di setiap upacara bendara di hari Senin. Sudah. Itu saja. Lebih gila lagi, gue disuruh bikin sendiri teksnya! Aiiiish, auto gupek gue. Lha gimana enggak bingung mau nulis apa, soalnya kendati gue suka nulis, tetapi gue terbiasa nulis fiksi, dan fiksinya tuh, ya, bener-bener fiksi. Contohnya ini. See? Perasaan enggak percaya diri pun makin kuat menghinggapi diri gue. Asli, gue enggak yakin sama diri sendiri.

Dan ketidakyakinan itu pun berbuah atas penampilan gue yang, yang, yang, (gue enggak sanggup ngomongnya), yang, mengecewakan. Teks yang gue tulis, enggak terbaca semua. Lebih parah, gue nyebut Bapak Rektor, padahal orangnya enggak ada. Lebih parah lagi, gue nyebut Universitas Indonesia! Alih-alih Universitas Teknokrat Indonesia! Gila, setelah turun dari podium, tulang gue rasanya meleleh, gue lemes, gue pengin keluar, gali tanah, terus ngubur diri sendiri karena saking malunya. Asli, gue enggak ada apa-apa dibanding perwakilan putri yang diwakilin sama salah satu temen Bidikmisi juga. Lha gimana enggak lebih baik? Dia pakai bahasa Inggris, ngomongnya lancar, tubuhnya enggak bergetar, enggak ada yang terlewat, dan mendapat tepuk tangan lebih meriah! Tamat sudah riwayat gue. Keringat bercucuran membasahi tubuh. Wajah merah padam. Kaki gemetar. Jantung rasanya anjlok ke lambung. Dan gue pengin nyemplung sumur.

Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, seharusnya gue patut bersyukur, dong. Gini, gini, dari sekian banyak Maba lainnya, yang terpilih adalah gue! Ini kesempatan yang bagus buat nunjukin personal branding gue, kan? Atau mungkin, Tuhan sedang menjalankan rencananya untuk kebaikan diri ini, sebab dengan terpanggilnya gue dan menyampaikan pidato di depan ribuan orang lainnya, gue jadi memiliki pengalaman dipermalukan. Dan hal itu dijadikan refleksi kalau ke depannya, gue enggak boleh mengulangi hal yang sama. Lebih dari itu, di kesempatan yang akan datang, gue harus lebih baik lagi, lagi, lagi, dan lagi. Gue harus mengatasi itu semua. Kekuarangan diri tersebut. Sampai, gue enggak lagi gemetaran, malu-maluin, mengecewakan, dan orang yang menyaksikan gue berbicara, akan bangga dan memandang kagum serta memberikan tepuk tangannya yang meriah.

Hari ini, acara propti itu sudah berakhir. Gue resmi menjadi mahasiswa, resmi memasuki dunia baru, dan gue dituntut untuk siap menghadapinya. Memang, gue tahu hari esok bakal lebih berat, tetapi bila hati penuh keyakinan dan diri ini mengerahkan segenap kemampuan untuk belajar, semuanya akan terlewati, bukan?

Ya ampun, lo baca sampai selesai tulisan ini? Heh, emang ada yang penting?

23. 45. WIB
Tanjung Bintang, 21 September 2019







Share: