Tuesday, November 26, 2019

Seberapa Jauh Kita Mengenal Bahasa Indonesia?

https://picsart.com/i/image-wdw-wdwedit-talk-listen-293334369051201


Hari ini, siapa, sih, yang tidak bisa berbahasa Indonesia? Saya rasa, bila seseorang minimal pernah mengenyam pendidikan dasar, tentulah ia memiliki kemampuan berbahasa Indonesia. Apalagi sekarang ini, hampir di tiap kesempatan, tempat-tempat umum, bahasa Indonesia sudah sedemikian biasa digunakan. Para orang tua, bahkan sudah menanamkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu mereka. Pendek kata, secara verba, bahasa Indonesia jamak didapati di mana-mana.

Akan tetapi, apakah pemahaman berbahasa Indonesia yang baik dan benar sudah dimiliki seluruh lapisan masyarakat kita? Pemahaman yang, tak sekadar verba atau lisan, tetapi juga menyangkut kaidah penulisannya. Mungkin, sebagian pembaca akan menjawab ‘ya’. Namun, saya kira, lebih banyak akan yang menjawab ‘tidak’.  Sebab, memang begitulah adanya kenyataan di sekitar kita. Kesalahan-kesalahan baik penggunaan diksi yang kurang tepat, maupun penulisan kata, frasa, atau kalimat yang tak sesuai kaidah berbahasa Indonesia, beterbaran di sekiling kita. Baik tertempel di dinding toilet, pagar tembok, plang nama, bahkan merambah ke ranah yang tak terpisahkan dari kehidupan kita; pesan singkat dan status media sosial.

Dari pertanyaan di atas, kemudian timbul satu pertanyaan dasar: Mengapa itu bisa terjadi? Baiklah, di sini saya memiliki tiga jawaban yang saya kira melatarbelakangi masalah tersebut.

Alasan pertama, adalah merasa bahwa memakai bahasa Indonesia terkhusus dalam penulisannya yang sesuai dengan kaidah berbahasa yang baik dan benar, itu tidak terlalu penting atau perlu. Siapa sih, yang akan mempermasalahkan kalau berkirim pesan memakai kata yang disingkat-singkat, atau ketika berbicara menggunakan diksi yang kurang tepat akan dipermasalahkan oleh lawan bicara kita, yang terpenting, kan, maksud dan tujuan yang tersampaikan, kira-kira begitulah pikiran orang yang masuk ke dalam alasan pertama tersebut.

Alasan kedua, adalah ketidaktahuan. Tentu tidak semua orang tahu dan mengerti kaidah berbahasa yang baik dan benar menurut Pedoman Umum  Ejaan Berbahasa Indonesia, pun apa-apa saja diksi yang tepat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Untuk alasan kedua ini, kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Sebab ketidaktahuan memiliki banyak faktor yang menyebabkannya. Bisa saja orang tersebut jarang membaca, sekolahnya terputus di tengah jalan, atau tinggal di tempat terpencil yang penguasaan berbahasa Indonesia-nya minim.

Alasan ketiga, sekaligus yang paling fatal, adalah ketidakpedulian. Alasan ini jelas saja berhubungan dengan kedua alasan sebelumnya. Dari merasa tak perlu-perlu sekali, muncul rasa tidak peduli atas aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Dari rasa tidak tahu, juga bisa memunculkan ketidakpedulian untuk memperbaiki atau menggali bagaimana kasalahan-kesalahan tersebut diperbaiki. Pun, saya kira, alasan inilah yang paling banyak menjadi dasar atas kesalahan-kesalahan berbahasa yang terjadi di sekitar kita.

Jangankan memedulikan mana yang benar antara ‘jomblo’ dan ‘jomlo’, sementara yang sudah amat akrab diucapkan adalah kata yang pertama. Yang paling menggemaskan, penggunaan partikel ‘di’ disambung dan dipisah pun masih banyak sekali yang belum paham. Padahal, saya kira, aturan tersebut dasar sekali. Sebagaima tujuan adanya aturan dalam berbahasa, bila dilanggar, tentu saja menghasilkan arti yang tak tepat, atau paling tidak membuat tak nyaman orang yang mengerti manakala mendapatinya di satu tempat atau di satu kesempatan.

Benar kalau di kehidupan sehari-hari, aturan-aturan tersebut tidak terlalu memengaruhi. Seperti yang terjadi pada alasan pertama, dalam hal berkomunikasi, asal yang menjadi lawan bicara atau berkirim pesan paham, maka kesalahan-kesalahan itu tak penting adanya. Dan memang, kepedulian atas kesalahan-kesalahan tersebut, jamaknya diperhatikan dalam ruang lingkup akademisi atau formal; kampus, sekolah, lembaga-lembaga, dan instansi pemerintahan serta perusahan.

Akan tetapi, bukankah akan indah sekali manakala kita berbahasa Indonesia, terkhusus dalam penulisannya, dengan memperhatikan aturan-aturan yang berlaku? Bahasa ini milik kita, sudah sepatutnya kita merawat dengan memperdalam ilmu berbahasa yang baik dan benar, lantas mempraktikkannya di kehidupan sehari-hari.     

Share:

Tidak Ada Pembaca Buku di Perpustakaan Kami

https://picsart.com/i/image-309398786124201


Ya, silakan menghujat saya selagi ini masih di paragraf awal. Tidak apa-apa. Saya paham benar, kalau judul di atas bakal memancing hujatan untuk saya. Lho, mana ada tidak ada pembaca buku di perpustakaan? Sampeyan ngawur, ya?! Saya kira, kurang lebih, begitulah kata-kata yang dilayangkan pembaca tulisan ini.

Saya tidak akan marah. Akan tetapi, izinkanlah saya meluruskan dan menjelaskan duduk perkara dan maksud dari judul tersebut. Begini, jelas bukan tanpa alasan judul di atas saya ambil. Sebab, asal tahu saja, saat ini, saya memiliki kewajiban kepada perpustakaan universitas XYZ—karena saya mahasiswa penerima bidikmisi, sehingga, hampir tiap hari saya berada di sana manakala saya memiliki jam kosong dan tidak ada kegiatan apa-apa. Selama menjadi pustakawan—ah, sebenarnya label itu masih belum bisa saya sandang, mau tidak mau saya terbiasa memerhatikan suasana perpustakaan, sampai perihal pengunjung dan apa saja yang mereka lakukan di sana. Dan saya tidak bisa untuk tidak merasa gemas akan beberapa hal yang saya dapati. Berangkat dari hal tersebut, judul itulah yang saya pilih.

Dari pengamatan saya, ada beberapa tipe pengunjung perpustakaan yang saban hari menyambangi perpustakaan kami. Tipe pertama, adalah mereka yang datang dengan tujuan paling umum, yakni mengerjakan tugas. Tipe kedua, adalah mereka yang datang sekadar berkumpul, mengobrol, dan ber-haha-hihi. Tipe ketiga, yang terakhir sekaligus yang membuat gemas, adalah mereka yang datang untuk bersantai, menikmati dingin AC, bahkan bermain game online. Nah, ada yang janggal, bukan? Benar sekali, tidak ada tipe yang lazimnya jamak kita dapati di sebuah perpustakaan: Pembaca buku.

Bukanya sama sekali tidak ada yang membaca buku, hanya saja, keberadaan mereka, amat jarang saya dapatkan menempati satu kursi dengan wajah damai dalam petualangan imajinasi. Sebenarnya, saya tak terlalu yakin, hal ini sebuah masalah atau bukan. Sebab, sebagaimana segenap aspek kehidupan kita yang banyak berubah satu dekade ini, dan teknologi saat ini menjadikan tipikal manusia yang sama sekali lain dari zaman orang tua saya dahulu. Pun saya barangkali salah, pengamatan saya terlalu dangkal, atas sebuah gaya hidup di sebuah perpustakaan di zaman modern ini yang tak hanya diisi oleh pembaca buku. Itu mungkin bisa dibenarkan, dan apa yang saya dapati adalah hal yang wajar di zaman ini. Perpustakaan saat ini, melewati makna namanya sebagai pustaka atau gudang ilmu dengan buku sebagai ujung tombaknya.

Yah, tentu saja saya menyadari hal tersebut, dan saya toh tak bisa menyalahkaan siapa-siapa. Kesadaran akan betapa pentingnya mengangkat martabat sebuah perpustakaan saya rasa mesti disadari oleh masing-masing individu. Perpustakaan kami bukannya tak memiliki aturan, atau tidak ada larangan-larang. Namun, sampai ke tingkat melarang seseorang berkumpul, ber-haha-hihi, atau bermain game online, saat ini memang belum diberlakukan. Imbauan untuk tak berisik tentu saja bisa menjadi penguat manakala saya menegur seseorang atau kelompok dengan dua kasus pertama. Akan tetapi, bila sampai menegur mereka yang melakukan kasus ketiga, mental saya menjadi ciut. Benar memang mereka merusak pemandangan di dalam perpustakaan, berkumpul di sudut dengan pandangan penuh ke layar ponsel. Tetapi, hei, mereka diam semua. Mereka seolah menempati gelembung mereka masing-masing. Saya tak sampai hati menegur mereka. Memang saya siapa? Apa kewenangan saya?

Atas semua hal tersebut, saya kerap merindukan perpustakaan yang memiliki suasana tenang dengan para pengunjungnya yang memiliki adab memperlakukan perpustakaan dengan baik, dan mereka yang menyelami sebuah buku menjadi jamak didapati. Aneh, padahal perpustakaan kami cukup banyak memiliki koleksi buku-buku sastra yang melimpah, mengingat universitas yang menaungi memiliki program studi Sastra Inggris. Tak tanggung-tanggung empat rak besar yang dipenuhi  buku-buku sastra klasik dan kontemporer dari pengarang-pengarang hebat. Akan tetapi, tiap kali saya menengok mereka dari rak satu ke rak lainnya, tingkat satu ke tingkat lainnya, buku ke buku, hati saya tidak bisa untuk tidak merasa miris. Sebab mereka ada yang berdebu, plastik pembukusnya lengket satu sama lain, dan ketika melihat riwayat peminjaman di halaman belakang, yang didapati adalah mereka dipinjam dua, tiga, atau bahkan empat tahun yang lalu!

Saya tidak bisa membayangkan, betapa sedihnya Leo Toelstoy, Edgar Allan Poe, Jane Austen, Franz Kafka, Ernest Hemingway, dan segenap penulis lainnya ketika menyaksikan karya mereka seperti dianggap barang usang dari masa lalu. Tidak menarik. Kalah dengan kilau teknologi yang lebih berwarna.

Apakah ini karena krisis literasi yang sampai sekarang masih menjerat sebagian besar masyarakat kita? Adalah ketika apa yang terpampang di dunia maya lebih menarik ketimbang membalik halaman demi halaman sebuah buku. Perpustakaan kami, sekarang ini bukan lagi diisi mereka-mereka yang hendak menyelami sebuah kisah atau berdiskusi tentang ilmu (sungguh, itu jarang sekali), lebih dari itu, suasana tersebut seperti jauh tertinggal di belakang. Perpustakaan kami seperti kehilangan jati dirinya. Mungkin, karenanya, mereka yang hendak melakukan ibadah membaca buku, merasa perpustakaan kami bukan lagi tempat yang ideal. Bukan lagi tempat yang tenang dan senyap.  

Share: