Foto oleh Deni Purnomo yang Diperantarai Mbak Reni Asih Widiyastuti |
Catatan: 1). Resensi ini dibuat atas novel Mitch Albom yang diterjemahkan dan dibagikan secara gratis di website GPU, untuk membacanya, bisa kaukunjungi laman ini. 2). Resensi ini versi asli sebelum dipangkas oleh redaksi.
Judul : Uluran Kasih (Human Touch)
Penulis :
Mitch Albom
Penerjemah : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2020
Tebal : 233 Halaman.
Pandemi Covid-19
ini mengubah seberagam hal, kita tahu itu. Kabar datangnya virus sejak
berbulan-bulan yang lalu menghadirkan ngeri, sekaligus dengan kecepatannya yang
luar biasa, memberi imbas ke dalam tatanan kehidupan kita. Sebab tidak saja
berdampak di ranah ekonomi yang mengalami kemerosotan tersebab pemutusan kontrak
kerja atau penutupan toko dan perusahaan, tetapi utamanya relasi antarmanusia
berubah sedemikian rupa. Dan di tengah kekhawatiran atas merebaknya virus yang
kian meluas ini, Mitch Albom lewat novel teranyar yang ia bagikan secara gratis
di website-nya, Uluran Kasih,
menunjukkan betapapun mengkhawatirkannya sebuah situasi, kekuatan
tolong-menolong, saling percaya, dan yakin akan harapan baik di kemudian hari
harus terus ada. Sesulit apa pun kondisinya.
Representasi
atas dampak tersebut pun hadir menjadi kisah di dalam novel, lewat satu
kelompok masyarakat di sebuah sudut kota Michigan. Dikisahkan, barangkali
segalanya akan berjalan baik-baik saja bila virus itu tak menimpa kota mereka. Empat
keluarga itu: Keluarga Myers, Rickets, Lee, dan Winston bisa tetap menggelar
santap bersama tiap seminggu sekali di hari Sabtu. Anak-anak mereka bisa tetap
sekolah dan bebas berkeliaran di luar rumah. Greg, kepala keluarga Myers, tak
perlu mengenakan APD tiap kali menunaikan tugasnya di rumah sakit. Dan Winston,
pendeta itu, tak perlu terjebak dalam kebimbangan antara menuruti panggilan
Tuhan tiap minggu atau mengikuti anjuran pemerintah untuk tak menggelar
kumpul-kumpul lebih dari sepuluh orang.
Akan tetapi,
virus itu tetap datang dan mereka dituntut siap atas segala konsekuensinya. Dan,
tentu saja, akibat yang dibawa tak sesederhana yang mereka kira, sebab ada
beberapa hal lain yang bangkit sebagai buah dari salah paham dan sentimen
sekelompok orang. Terang kemudian, hal tersebut mewujud menjadi isu rasisme
yang merebak di tengah-tengah masyarakat. Adalah keluarga Lee, pasangan Sam dan
Cindy, yang memang berdarah China, menjadi sasaran sekelompok orang sebab
mereka dinilai sebagai penyebar virus itu, mengingat awal penyebaran virus ke
seluruh dunia berasal dari Wuhan, China.
Mendapati
perlakuan demikian, Sam yang awalnya abai pun menyimpulkan bahwa itu adalah
ekspresi sekelompok orang yang memang
memerlukan kambing hitam atas situasi buruk yang tengah terjadi. Dan dengan
kedangkalan pemikiran mereka, serta-merta mereka menuding pasangan itu sebagai
pembawa virus tersebut. Itulah yang hampir membuatnya pindah ke satu wilayah di
California, tempat yang sepemahamannya cukup memiliki masyarakat berdarah Asia
yang dominan, dan potensi dipandang dengan stigma negatif tak sebesar lingkungan
tempat tinggalnya. Namun, sebelum rencana itu ia realisasikan, tragedi
penembakan menimpanya dan anak tetangganya, Little Moses, diculik. Babak baru
dari serentetan dampak pandemi ini pun muncul. Tapi untungnya, ini pula yang
menjadi mula atas hal-hal tak terduga yang kemudian mengemuka dan menyatukan
empat keluarga itu.
Little Moses
bukan anak sembarangan. Sebab ia dilingkupi keajaiban yang bagi sebagian
pembaca, sangat mungkin sukar diterima nalar. Akan tetapi, itulah kenyataannya.
Terbukti, sebelum tragedi penculikan
itu, keajaiban Little Moses sudah ditunjukkan beberapa kali. Dari mulai ujaran
ibu tirinya, Rosebaby, bahwa anak itu hingga usianya yang kini delapan tahun
tak pernah menderita sakit apa pun, sampai keajaibannya yang ditunjukkan kepada
Sam, ketika pada minggu-minggu awal kabar virus itu tersiar masuk ke negaranya,
dan tak dinyana pria itu terjangkiti, tetapi ia memperoleh kesembuhan setelah di
satu malam, Little Moses datang dan tidur memeluk lelaki itu, lalu begitu
terbangun sakitnya berangsur mereda, hingga ia sembuh sama sekali.
Bisa dibilang,
anak itu spesial sejak lahir. Pengakuan ini datang dari seorang pria Haiti,
dukun yang mendoakan Little Moses di masa lalu, selepas tanpa sengaja Rosebaby
menemukan bocah itu di tengah hutan. Dan terbukti, dalam darah anak itu
mengandung bakal yang ampuh bagi dibuatnya serum antivirus yang kelak
dikemukakan di kemudian hari. Adalah Greg, yang mendapatkan darah Little Moses,
kemudian nekat menyuntikkannya ke tubuh neneknya yang sekarat akibat virus itu.
Itulah yang menjadi mula bagi ditelitinya darah Little Moses.
Namun, sebenarnya,
perkara yang tak kalah penting di samping keajaiban bocah itu adalah nilai-nilai
kekeluargaan ketika pandem melanda. Inilah yang kuat ditunjukkan di dalam
novel. Bahwa betapapun prasangka yang di awal-awal merebak di sekitar mereka, terutama ihwal
sentimen bangsa yang menimpa Sam dan Cindy, pada akhirnya hal tersebut meluruh
tersebab kedekatan mereka yang terasa tak sekadar tetangga, tetapi sudah
sebentuk keluarga. Representasi nilai ini misalnya, terjadi ketika bocah itu
diculik oleh penembak Sam, yang menyadari betapa Little Moses berharga, dan
berniat menfaatkannya untuk sejumlah uang.
Bahu-membahu, keempat
keluarga itu mencari Little Moses, sampai jauh ke pondokan di tengah hutan. Untungnya,
selain anak yang riang dan ceria, bocah itu tergolong cerdas. Sebab di sela
penyekapannya, ia menyempatkan untuk meninggalkan jejak dengan kawat-kawat jemuran
yang dibentuk merujuk ke tempat ia hendak dibawa. Alhasil, setelah pencarian
yang memakan waktu berhari-hari, ia diketemukan.
Apakah selesai
sampai di situ? Perkara penculikan itu bisa jadi terbaca menemukan titik
terang, tetapi senyatanya, perkara virus itulah yang masih menghadang mereka. Virus
itu, kita tahu, demikian mengerikan dalam penyebarannya. Belum lagi, hingga
kini, vaksin untuk menyembuhkannya secara efektif belum ditemukan. Namun, novel
ini, dengan kehangatan kisahnya, berikut nilai-nilai kekeluargaan yang luhur,
pula optimisme yang kuat, menunjukkan bahwa bagaimanapun, harapan baik di kemudian
hari harus diyakini pasti akan tiba. Dan sebelum hal itu tiba, mencoba
beradaptasi dan menjalani hari penuh perhatian serta kehati-hatian, adalah
sebenar-benarnya kiat yang mesti dilakukan.
Dan novel ini,
kendati mengandung nilai dan aspek kehidupan demikian kentalnya, tetapi tidak
terjebak menjadi bacaan yang menggurui. Tokoh-tokohnya bereaksi secara wajar,
bukan sebagai guru-guru bagi para pembacanya. Kehangatan interaksi merekalah
yang secara halus, mengandung apa-apa yang mesti disadari, diperhatikan, dan
sangat bisa dijadikan teladan. Sebab bisa jadi, saking dekatnya dengan kondisi
saat ini, tokoh-tokoh ini seperti terjelma sebagai tetangga seberang atau
sebelah rumah kita.