Thursday, October 29, 2020

Memperkarakan Takdir

 


Ulasan ini dimuat dalam Tulis.me Zine, untuk membaca versi zine-nya, kau bisa membacanya di tautan ini.

Judul               : Tukar Takdir

Penulis             : Valiant Budi

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama, 2019

Tebal               : 224 Halaman

ISBN               : 9786020722392

Sering kita dengar, kegiatan menulis bisa menjadi terapi tertentu bagi sebagian orang. Tak sedikit yang menganggap bahwa menulis sebagai obat mujarab untuk meredam kegelisahan, kegalauan hati, kekesalan diri, dan seberagam emosi lainnya. Ini bukan omong kosong belaka, sebab cukup banyak pula penulis yang berlandaskan hal-hal tersebut dalam berkiprah di dunia kepenulisan mereka. Valiant Budi ini contohnya.

Diberitakan Detik (12/08), tahun 2015 kiranya menjadi tahun yang berat bagi penulis satu ini. Sebab di usianya masih 35 tahun, Vabyo—sapaan akrabnya—didiagnosis terkena stroke hemoragik, yakni pecah pembuluh darah di otak kiri yang membuat kemampuan berbahasanya menjadi kacau. Ditambah, ingatannya sering kali acak. Vabyo mengaku, pernah di kala terbangun dari tidur, ia bisa seolah berada di tahun tertentu dalam hidupnya. Itu membuatnya bisa lupa akan teman atau bahkan keluarganya sendiri.

Namun begitu, Vabyo tak begitu saja menyudahi kegiatan menulisnya. Justru, kegiatan menulis tersebut ia jadikan terapi dalam proses penyembuhannya itu. Kumpulan cerpen bertajuk Tukar Takdir inilah buah yang ia capai dalam proses terapinya. Dari judul saja, calon pembaca tentu sudah menebak arah topik dari sehimpun cerpen di dalam buku ini. Dan, itu seutuhnya benar, sebab Vabyo pun mengaku dalam wawancaranya bersama The Jakarta Post (11/06), cerpen-cerpen yang ada di buku ini lahir ketika ia sempat tiba di titik antara ingin hidup dan mati. Oleh Vabyo, takdir dan kematian dikisahkan tanpa keraguan untuk ditertawakan.

Ditertawakan di sini bisa jadi agak subjektif. Namun, itu wajar adanya mengingat Vabyo enteng saja memainkan humor di sela cerpen-cerpen yang cenderung berisi kegetiran, kesialan, bahkan kemalangan ini. Dalam cerpen pembuka, “Diulang Sayang”, Vabyo menjadi narator “aku” yang didamparkan pada situasi panik di dalam pesawat. Dikisahkan, si tokoh aku tersebut panik bukan main tatkala mendapati pesawat tergoncang hebat, tetapi mencoba meyakinkan diri sebab pramugari dan penumpang lain tak mengalami kekhawatiran serupa.

Tapi, situasi terus saja kian mengkhawatirkan. Di cerpen ini, Vabyo mencoba menyisipkan keganjilan dalam tragedi tersebut. Ia menghadirkan sosok serupa alien dalam fragmen tokoh berikutnya. Dari situ, pembaca kiranya diajak bertanya-tanya akan kebenaran hal tersebut: Itu demikian adanya atau sekadar halusinasi belaka? Hingga di akhir kisah, secara baik Vabyo memungkasnya dengan daya kejut yang tak disangka-sangka. Vabyo memainkan twist ending. Kedepannya, daya kejut inilah yang menjadi indentitas cerpen-cerpen di dalam buku ini.

Benar, daya kejut itu menjadi ciri khas lain dari cerpen-cerpen Vabyo. Tapi tak hanya itu, hal lain yang tampak jelas adalah latar belakang sosial yang disoroti Vabyo kebanyakan diambil dari kehidupan masyarakat urban masa kini. Sebut saja dalam cerpen “Serupa dan Serapuh” dan “Melupakan Pengingat Diri” yang mengisahkan kebohongan dan busuk-busuknya industri musik dan pertelevisian kita. Lewat dua cerpen tersebut, Vabyo ingin menunjukkan bahwa kegemilangan seorang musisi dan pemain sinetron rupanya menyimpan kegetiran tersendiri: Kepura-puraan dan perasaan terpenjara.

Atau, dari cerpen “Duta Rumah Tangga” yang menyoroti kehidupan rumah tangga seorang selebgram yang sungguh tak baik-baik saja. Di balik setiap unggahan yang tampak menarik di kanal Instagram si tokoh, ternyata tersimpan sejumlah persoalan yang mendera kesehariannya. Persoalan ini, oleh Vabyo, diolah dengan pengisahan yang unik dan sedikit mengejek kecenderungan kehidupan penuh “drama” tersebut. Sampai kemudian, sekali lagi, Vabyo memainkan kekhasaannya dengan daya kejut yang memukau dan menghadirkan iba di saat bersamaan.

Perkara takdir dalam imajanisi Vabyo pun tak sebatas dalam membingkai cerpennya dengan tendensi realistis seperti cerpen-cerpen tadi. Di luar itu, Vabyo juga memainkan perkara takdir dengan menghadirkan sisi magis yang tampak dekat. Tak hanya satu-dua cerpen, tetapi terdapat beberapa cerpen dengan kecenderungan memiliki kemagisan dalam kisahnya. Dalam cerpen “Kunci Pencari Pintu” sisi magis ini hidup dalam kemalangan sepasang suami-istri yang diuji dengan nasib si istri yang terganggu kejiwaannya.

Dalam cerpen tersebut, si suami kebingungan bukan main ketika hendak mengobati sakit si istri sementara ia tak punya cukup penghasilan untuk membayar biaya rumah sakit. Hingga akhirnya, ia beroleh kesempatan mendapatkan uang dari harta milik seorang nenek yang telah menjadi langganannya dalam mendumplikat kunci rumah. Namun, sesuatu terjadi ketika ia ingin melaksanakan aksinya tersebut. Kelak, sesuatu tersebut jadi mula dari kemagisan yang menimpa istrinya. Dalam cerpen ini, Vabyo bermain-main dengan perpindahan jiwa dan kejadian yang oleh kita akrab disebut “kerasukan”.

Hal-ihwal kemagisan juga hadir dalam cerpen “Centong Ajaib”, “Pecinta Butuh Pelarian”, “Kelainan Itu Kelebihan”, “Aroma Masa Lalu”, dan “Singgana Kekal”. Kelima cerpen tersebut tetap setia dengan bingkai kisah khas Vabyo dan masing-masing bersumber dari ilham yang berlainan. Namun, dari sekian banyak cerpen berunsur magis di buku ini, kiranya cerpen terakhirlah yang memiliki kekuatan paling dominan dan seolah menjadi puncak dari permainan takdir dalam lanskap imajiner Vabyo. Cerpen yang berjudul “Singgana Kekal” tersebut secara jelas mewakili diri Vabyo seutuhnya.

Tak pelak lagi, keterbacaan demikian sangat mungkin terjadi. Setelah mengetahui situasi Vabyo dalam menggarap cerpen-cerpennya, pembaca seolah mendapati puncaknya dalam cerpen terakhir tersebut. Dengan menganggit tokoh berkemampuan futuristik, Vabyo mendedahkan ihwal yang magis dan yang hakiki. Alam lain ditiupkan olehnya secara wajar dalam napas tokohnya. Lewat tokoh di cerpen ini, Vabyo seperti menggapai pengalaman perjumpaan dengan yang gaib, kemudian dikisahkan kembali dengan kesubtilan yang pas.

Begitulah, Vabyo telah membuktikan bahwa kondisi yang tampak tak memungkinkan bukanlah halangan untuk terus berkarya. Lebih dari itu, buku ini seperti menambah panjang daftar kumpulan cerpen dengan kecenderungan baik dan unik bagi khalayak Indonesia. Sebab Vabyo, walaupun hanya memperkarakan takdir, tetapi di tangannya, perihal takdir bisa menjadi sesuatu yang spesial: Ia memancing untuk mengingat sekaligus untuk menganggapnya bukan hal yang menakutkan.

Share:

Thursday, August 6, 2020

Perang dan Permenungan Kehidupan


Dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Selasa, 4 Agustus 2020.

Catatan: Ini versi sebelum dipangkas oleh redaksi.

Judul               : Lupakan Aleppo

Penulis             : Paola Salwan Daher

Penerjemah      : Lisa Soeranto

Penerbit           : Marjin Kiri

Cetakan           : Juni 2020

Tebal               : 110 Halaman

ISBN               : 978-979-1260-98-5

Kita tahu, perang membawa hal-hal buruk. Bagi korban yang didera peperangan, konflik itu merenggut banyak hal, dari mulai harta sampai nyawa keluarga. Untuk itu, bila ada kesempatan untuk dapat melarikan diri, mereka memilih untuk lari dan pergi. Namun, sekalipun mereka berada di tempat baru, perang pun tak seluruhnya berhenti. Ia bukan hanya tergelar di muka bumi, melainkan pula di medan yang tak kalah mengerikan: Pikiran. Dengan latar belakang dan masa lalu demikian, orang-orang inilah yang coba dihidupkan dalam napas para tokoh di dalam novel seorang penulis Lebanon, Paola Salwan Daher, yang bertajuk Lupakan Aleppo ini.

Berlatar sebuah kota tua di Suriah, Aleppo, novel ini mengisahkan tiga tokoh utama: Abu Nuwas, Noha, dan Shirine. Tentang ketiganya, penulis bukan saja merepresentasikan mereka yang hidup dengan latar belakang peperangan, melainkan pula tentang kondisi rumah tangga dan masyarakat yang tak sehat, penuh dusta dan kemunafikan. Lebih dekat lagi, menyoal peperangan ada pada diri Abu Nuwas dan Shirine. Dan kota Aleppo, mereka pilih menjadi medan pelarian mereka dari perang di negeri asal, Lebanon dan Palestina. Sebagai kiat berdamai dengan masa lalu, Abu Nuwas memilih tinggal di atap bangunan, menjadi khechech hamen atau pawang burung merpati, sebab dalam suara keriuhan kepak-kepak sayap itulah ia bisa menemukan ketenangan.

Sementara itu, Shirine memilih menjadi pemandu wisata di kota tersebut. Di tengah masyarakat yang memandangnya sinis, sebab ia dipandang sebagai perempuan tipikal pemberontak, Shirine mencoba menjalani hari-harinya. Adapun mengenai Noha, tidak lain, ia adalah tetangga Shirine. Dan berkebalikan dengan Shirine, Noha adalah perempuan yang merepresentasikan istri di rumah tangga tak harmonis, penuh dusta, dan kemunafikan.

Jarak antara balkon apartemen mereka yang dekat, kebiasaan keduanya berdiri di sana seorang diri, dengan perang di kepala masing-masing, lambat laun pun memunculkan rasa penasaran satu sama lain. Namun, butuh waktu yang lama bagi mereka untuk menautkan hubungan dalam tegur sapa. Dan di sini, penulis menyisipkan lagu-lagu Ziat Rahbani sebagai perantara. Saban pagi, Shirine memutar lagu tersebut, dan Noha yang dapat mendengarnya dengan jelas, merasa lirik dari lagu itu cocok dengan perasaannya. Diam-diam, ia menyukainya dan berdiri lebih lama di balik jendela ketika lagu itu diputar. Dan itu disadari oleh Shirine, hingga di satu kesempatan ia menawari CD dari penyanyi tersebut. Itulah mula dari interaksi keduanya.

Dari situ, novel pun bergerak dalam subtil interaksi tokohnya yang ingin merdeka di ranahnya sendiri-sendiri. Novel ini pun menunjukkan kepada kita soal hubungan yang didasari atas kesepian tokoh-tokohnya. Dengan penderitaan dan perangnya, upaya berdamai dengan masa lalu, dan pencarian alasan yang mengharuskan mereka untuk terus melanjutkan hidup. Penulis secara baik menyoroti dampak peperangan lewat sudut pandang yang tampak dekat, dari kehidupan segelintir korbannya. Hal ini hidup dalam konflik batin Shirine dengan masa lalunya bersama lelaki yang dicap pengkhianat oleh negaranya, pun dalam keseharian Abu Nuwas yang tenggelam dalam kepak-kepak sayap merpati sembari memperhatikan hubungan kedua perempuan itu.

Strategi yang dipakai pun menambah peleburan antara pembaca dengan kisahnya dapat terjalin secara baik. Penceritaan atas suara masing-masing tokohnya terbaca tepat untuk kisah di dalam novel ini. Dibangun atas narasi dan monolog yang dominan, novel ini mengisap pembaca untuk masuk terus dalam pergulatan batin dan pikiran Shirine, Noha, dan Abu Nuwas, alih-alih mendengkus sebal sebab terbaca membosankan sepanjang kisah.

Boleh dikatakan, ini novel yang baik bagi mereka yang ingin mengetahui permenungan tentang kehidupan. Sebab dalam terjalinnya sebuah hubungan yang acap sederhana, seperti sekadar tegur sapa, bagi sebagian orang itu bisa amat sulit untuk dilakukan. Ada banyak alasan, pertimbangan, dan ketakutan yang membayangi mereka. Kekuatan untuk melakukan itu, atau sedikit pemberontakkan atas keadaan dirinya, sukar mereka dapati. Dan keberadaan orang lain bisa demikian berpengaruh atas jalan keluar dan pilihan hidup yang dapat diambil. 

Share:

Saturday, July 25, 2020

Kekeluargaan di Tengah Pandemi

Foto oleh Deni Purnomo yang Diperantarai Mbak Reni Asih Widiyastuti

Catatan: 1). Resensi ini dibuat atas novel Mitch Albom yang diterjemahkan dan dibagikan secara gratis di website GPU, untuk membacanya, bisa kaukunjungi laman ini. 2). Resensi ini versi asli sebelum dipangkas oleh redaksi. 

Judul               : Uluran Kasih (Human Touch)
Penulis             : Mitch Albom
Penerjemah      : Tanti Lesmana
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama, 2020
Tebal               : 233 Halaman.

Pandemi Covid-19 ini mengubah seberagam hal, kita tahu itu. Kabar datangnya virus sejak berbulan-bulan yang lalu menghadirkan ngeri, sekaligus dengan kecepatannya yang luar biasa, memberi imbas ke dalam tatanan kehidupan kita. Sebab tidak saja berdampak di ranah ekonomi yang mengalami kemerosotan tersebab pemutusan kontrak kerja atau penutupan toko dan perusahaan, tetapi utamanya relasi antarmanusia berubah sedemikian rupa. Dan di tengah kekhawatiran atas merebaknya virus yang kian meluas ini, Mitch Albom lewat novel teranyar yang ia bagikan secara gratis di website-nya, Uluran Kasih, menunjukkan betapapun mengkhawatirkannya sebuah situasi, kekuatan tolong-menolong, saling percaya, dan yakin akan harapan baik di kemudian hari harus terus ada. Sesulit apa pun kondisinya.

Representasi atas dampak tersebut pun hadir menjadi kisah di dalam novel, lewat satu kelompok masyarakat di sebuah sudut kota Michigan. Dikisahkan, barangkali segalanya akan berjalan baik-baik saja bila virus itu tak menimpa kota mereka. Empat keluarga itu: Keluarga Myers, Rickets, Lee, dan Winston bisa tetap menggelar santap bersama tiap seminggu sekali di hari Sabtu. Anak-anak mereka bisa tetap sekolah dan bebas berkeliaran di luar rumah. Greg, kepala keluarga Myers, tak perlu mengenakan APD tiap kali menunaikan tugasnya di rumah sakit. Dan Winston, pendeta itu, tak perlu terjebak dalam kebimbangan antara menuruti panggilan Tuhan tiap minggu atau mengikuti anjuran pemerintah untuk tak menggelar kumpul-kumpul lebih dari sepuluh orang.

Akan tetapi, virus itu tetap datang dan mereka dituntut siap atas segala konsekuensinya. Dan, tentu saja, akibat yang dibawa tak sesederhana yang mereka kira, sebab ada beberapa hal lain yang bangkit sebagai buah dari salah paham dan sentimen sekelompok orang. Terang kemudian, hal tersebut mewujud menjadi isu rasisme yang merebak di tengah-tengah masyarakat. Adalah keluarga Lee, pasangan Sam dan Cindy, yang memang berdarah China, menjadi sasaran sekelompok orang sebab mereka dinilai sebagai penyebar virus itu, mengingat awal penyebaran virus ke seluruh dunia berasal dari Wuhan, China.

Mendapati perlakuan demikian, Sam yang awalnya abai pun menyimpulkan bahwa itu adalah ekspresi sekelompok orang  yang memang memerlukan kambing hitam atas situasi buruk yang tengah terjadi. Dan dengan kedangkalan pemikiran mereka, serta-merta mereka menuding pasangan itu sebagai pembawa virus tersebut. Itulah yang hampir membuatnya pindah ke satu wilayah di California, tempat yang sepemahamannya cukup memiliki masyarakat berdarah Asia yang dominan, dan potensi dipandang dengan stigma negatif tak sebesar lingkungan tempat tinggalnya. Namun, sebelum rencana itu ia realisasikan, tragedi penembakan menimpanya dan anak tetangganya, Little Moses, diculik. Babak baru dari serentetan dampak pandemi ini pun muncul. Tapi untungnya, ini pula yang menjadi mula atas hal-hal tak terduga yang kemudian mengemuka dan menyatukan empat keluarga itu.

Little Moses bukan anak sembarangan. Sebab ia dilingkupi keajaiban yang bagi sebagian pembaca, sangat mungkin sukar diterima nalar. Akan tetapi, itulah kenyataannya. Terbukti,  sebelum tragedi penculikan itu, keajaiban Little Moses sudah ditunjukkan beberapa kali. Dari mulai ujaran ibu tirinya, Rosebaby, bahwa anak itu hingga usianya yang kini delapan tahun tak pernah menderita sakit apa pun, sampai keajaibannya yang ditunjukkan kepada Sam, ketika pada minggu-minggu awal kabar virus itu tersiar masuk ke negaranya, dan tak dinyana pria itu terjangkiti, tetapi ia memperoleh kesembuhan setelah di satu malam, Little Moses datang dan tidur memeluk lelaki itu, lalu begitu terbangun sakitnya berangsur mereda, hingga ia sembuh sama sekali.

Bisa dibilang, anak itu spesial sejak lahir. Pengakuan ini datang dari seorang pria Haiti, dukun yang mendoakan Little Moses di masa lalu, selepas tanpa sengaja Rosebaby menemukan bocah itu di tengah hutan. Dan terbukti, dalam darah anak itu mengandung bakal yang ampuh bagi dibuatnya serum antivirus yang kelak dikemukakan di kemudian hari. Adalah Greg, yang mendapatkan darah Little Moses, kemudian nekat menyuntikkannya ke tubuh neneknya yang sekarat akibat virus itu. Itulah yang menjadi mula bagi ditelitinya darah Little Moses.

Namun, sebenarnya, perkara yang tak kalah penting di samping keajaiban bocah itu adalah nilai-nilai kekeluargaan ketika pandem melanda. Inilah yang kuat ditunjukkan di dalam novel. Bahwa betapapun prasangka yang di awal-awal  merebak di sekitar mereka, terutama ihwal sentimen bangsa yang menimpa Sam dan Cindy, pada akhirnya hal tersebut meluruh tersebab kedekatan mereka yang terasa tak sekadar tetangga, tetapi sudah sebentuk keluarga. Representasi nilai ini misalnya, terjadi ketika bocah itu diculik oleh penembak Sam, yang menyadari betapa Little Moses berharga, dan berniat menfaatkannya untuk sejumlah uang.

Bahu-membahu, keempat keluarga itu mencari Little Moses, sampai jauh ke pondokan di tengah hutan. Untungnya, selain anak yang riang dan ceria, bocah itu tergolong cerdas. Sebab di sela penyekapannya, ia menyempatkan untuk meninggalkan jejak dengan kawat-kawat jemuran yang dibentuk merujuk ke tempat ia hendak dibawa. Alhasil, setelah pencarian yang memakan waktu berhari-hari, ia diketemukan.

Apakah selesai sampai di situ? Perkara penculikan itu bisa jadi terbaca menemukan titik terang, tetapi senyatanya, perkara virus itulah yang masih menghadang mereka. Virus itu, kita tahu, demikian mengerikan dalam penyebarannya. Belum lagi, hingga kini, vaksin untuk menyembuhkannya secara efektif belum ditemukan. Namun, novel ini, dengan kehangatan kisahnya, berikut nilai-nilai kekeluargaan yang luhur, pula optimisme yang kuat, menunjukkan bahwa bagaimanapun, harapan baik di kemudian hari harus diyakini pasti akan tiba. Dan sebelum hal itu tiba, mencoba beradaptasi dan menjalani hari penuh perhatian serta kehati-hatian, adalah sebenar-benarnya kiat yang mesti dilakukan.

Dan novel ini, kendati mengandung nilai dan aspek kehidupan demikian kentalnya, tetapi tidak terjebak menjadi bacaan yang menggurui. Tokoh-tokohnya bereaksi secara wajar, bukan sebagai guru-guru bagi para pembacanya. Kehangatan interaksi merekalah yang secara halus, mengandung apa-apa yang mesti disadari, diperhatikan, dan sangat bisa dijadikan teladan. Sebab bisa jadi, saking dekatnya dengan kondisi saat ini, tokoh-tokoh ini seperti terjelma sebagai tetangga seberang atau sebelah rumah kita.

Share:

Friday, July 17, 2020

Cadl dan Olok-Olok Diktator


Dimuat di Radar Cirebon edis Sabtu, 18 Juli 2020.


Judul               : Cadl (Sebuah Novel Tanpa Huruf E)
Penulis             : Triskaidekaman
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Terbit               : Maret, 2020
ISBN               : 978-602-06-3958-1
Tebal               : 300 Halaman


Untuk kasih hormat pada buku, maaf, ulasan ini ditulis tanpa Huruf Itu.

Bayangkan, ada diktator kasih kalian atur-atur urusan hidup, sampai-sampai hajat bicara pun ia pantau; huruf, kata, atau frasa pilihan dilarangnya, tanpa pilih-kasih kita punya nama, salah adalah salah, hukuman di hadapan mata kalau kita langgar itu aturan. Batas-batas itu adalah nyata. Kita tahu satu-dua ada adikuasa lakukan praktik macam itu di bawah kolong langit ini. Dan hampir pasti, hidup macam itu sungguh bukan yang kita harapkan, adanya batasan jadikan kita acap sukar ambil langkah. Kita takut dan was-was. Bayangan hukuman cukup jadi muasal rasa-rasa itu.

Praktik macam itulah yang dirasakan warga Wiranacita. Hidup itu orang-orang dilingkupi ragam maklumat rumit dan tak masuk akal. Bagaiman mulanya? Nah, di sinilah ada satu nama yang canangkan ragam aturan bagi rakyatnya itu, dan ia adalah Zaliman Yang Mulia. Ditaktor ini limpahkan aturan, bahwa Huruf Itu—maksudnya vokal yang bisa dibaca pakai dua cara: taling dan biasa—dilarang ada dalam wujud apa pun, baik surat, buku, iklan, bahkan spanduk di pinggir jalan.

“Ini tidak bisa ditunggu lagi, Ivan. Kita akan umumkan maklumat itu siang ini. Huruf Itu harus musnah dari bumi ini. Tidak bisa tidak.” Inilah titah yang disampaikan pada tangan kanannya, Ivan Barbarov.

Ihwal maklumat tadi, itu adalah lanjutan dari aturan dilarangnya kata makian, frasa kotor, dan nama binatang dalam akta lahir warga Wiranacita.  Apa mulanya? Ini adalah masalah masa lalu dari Zaliman Yang Mulia, ia punya kaitan sama huruf dan kata-kata itu.

Dan tak makan waktu lama, aturan lain datang. Kali ini adalah maklumat yang punya hubungan sama buku puisi. Usut punya usut, buku puisi karangan Bagus Prihardana yang punya judul Cadl ini, dinilai sangat bisa datangkan bahaya bagi adikuasa Zaliman Yang Mulia. Maka, diutusnyalah Sang Ajudan Baca Tulis yang juga tangan kanannya—Ivan Barbarov—untuk cari dan musnahkan ini buku, turut pula dihukum siapa saja yang didapati miliki buku itu. Tiang gantungan jadi ganjarannya.

Dimulai dari sana, masalah buku puisi tadi jadi motor utama kisah di dalam buku ini. Dituturkan dalam anggitan yang acak, pindah-pindah dari tahun satu, lalu tahun lainnya, kisah dari tokoh satu, lalu tokoh lainnya, rahasia pun lamat-lamat dikuakkan sampai tokoh utama muncul dan masuk dalam kisah. Dan ia adalah Lamin Lanjarjati, laki-laki biasa yang masuk dalam putaran politik antara Zaliman, buku puisi, dan konspirasi.

Laki-laki itu awalnya tak tahu apa pun, tapi tatkala di satu waktu ia dihadapkan sama citra buku puisi itu, ia tak bisa tahan gairah tanya dalam dirinya. Ia buru buku puisi itu. Mati-matian ia upayakan kulik siapa itu si Bagus Prihardana.

Omong-omong, apa dampak yang dibawa buku puisi itu, sih? Muatannyalah yang jadi masalah, buku itu punya daya untuk bangkitkan darah dalam tubuh rakyat Wiranacita. Alhasil, itu buku masuk dalam Buku-buku Kiri, yang bisa datangkan bahaya, pula artinya buku-buku yang amat dilarang Zaliman Yang Mulia. Ditakutkan, itu bisa jadi api yang bakar jiwa-jiwa rakyatnya, yang sangat mungkin lakukan makar dan gulingkannya dari kursi pimpinan.

Adapun hal lain yang buat Zaliman khawatir, juga tadi disinggung di awal, buku puisi itu punya ikatan sama masa lalunya. Dan ia tak mau itu rahasia bocor dihadapan rakyatnya. Maka, tahunan ia buru buku puisi itu. Ia libatkan pasukan Pasukan Baju Hijau yang tak pandang bulu dalam misi untuk capai tujuan tuannya. Ia pula yang dilawan Lamin malang itu. Laki-laki yang punya bisnis pisang itu tak sadar, ia sudah masuk intrik pimpinannya yang rumitnya bak jahitan kain.

Itulah, gambaran inti dari buku ini, yang baru satu usia jagung dipaparkan. Aslinya, ada banyak tokoh yang dilibatkan. Orang-orang ini punya kaitan tak diduga satu sama lain. Yang ditubrukkan oleh kuasa bobrok, ironi masyarakat miskin ilmu, dan konspirasi politik busuk yang kasih rugi banyak pihak.

Tak bisa dimungkiri, buku ini bisa dipandang buat olok-olok bagi adikuasa diktator di dunia nyata. Dan soal Wiranacita, ini agaknya satir bagi kuasa pimpinan kita. Adikuasa yang kasih kita naungan ini kan tak lurus-lurus saja, bahkan ada satu masa yang bobroknya tak kira-kira. Mari kita ingat-ingat lagi, ada orang-orang yang dihilangkan paksa, larangan Buku-buku Kiri, abdi pimpinan yang kasih tabur kabar hoaks, masyarakat yang darahnya mudah dididihkan, dan rasa frustrasi atas laku kuasa yang ujung-ujungnya bikin orang bunuh diri, adalah bagian-bagian dari hal bobrok yang di satu masa—atau masih—kita hadapi.

Ada pula, sindirian bagi kita yang tak buka mata soal ilmu dan bahasa. Itu dituangkan dalam jalinan kisah. Pun alusi tokoh Ivan Barbarov, yang jadi Sang Juru Baca dan Tulis, akan wajar bila di dalam otak kita, muncul tokoh yang dalam ilmu bahasa kita tak asing itu. Laiknya bandul yang kasih goncang diri, kita pandang upayanya dalam kisah buku ini, dan sadar agaknya mirip sama yang ada di dunia nyata.

Akhirnya, yang malang musti tunduk sama yang punya kuasa. Lalu yang adikuasa, toh waktu tak diam saja, ada hantu-hantu masa lalu yang bisa jadi racun dan tumbangkan lamat-lamat ia dalam lautan rasa salah. Kuasa manusia bak roda yang tak ada ujung. Hilang satu, ada orang lain bisa gantikan lagi. Walaupun, suka sial pula rakyatnya dapat pimpinan yang tak punya ilmu dan kapabilitas buat jadi pimpinan yang baik. Ya, itu bisa kita lihat dari buku yang ditulis tidak biasa ini.
Share:

Friday, July 10, 2020

Selena dan Rahasia-Rahasianya



Dimuat di Radar Cirebon edisi Sabtu, 11 Juli 2020


Judul               : Selena
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Terbit               : Cetakan Pertama, 2020
Tebal               : 368 Halaman
ISBN               : 9786020639512

Lepas satu tahun berlalu sejak seri ketujuh, Komet Minor, rilis. Tahun ini, penulis menghadirkan lagi novel fantasy-adventure untuk pembaca setianya. Masih berkorelasi dengan novel di seri sebelumnya, Tere Liye membuat dua spin-off yang bertajuk Selena dan Nebula. Praktis, keduanya menahbiskan diri sebagai seri kedelapan dan kesembilan. Namun, kisah ini bukan lagi milik trio petarung itu—Raib, Selli, dan Ali, melainkan Tere Liya khusus menuliskan kedua novel ini untuk mengisahkan asal-usul orang tua Raib, masa lalu Miss Selena, dan satu klan yang tak mereka ketahui, Nebula.

Sebagai pembuka, di novel Selena, Tere Liye penuh mengisahkan masa muda guru Matematika trio petarung itu. Lahir dan besar sampai usia belasan tahun di Distrik Bulan Sabit, salah satu distrik di Klan Bulan, Selena tumbuh sebagai gadis tak menarik di keluarga miskin. Bahkan, Terel Liye sudah menerangkan di awal novel, bahwa Selena baru saja ditinggal pergi orang tuanya yang menderita sakit parah. Ini strategi bab pertama yang cukup baik, sebab Tere liye menghadirkan Selena yang yatim-piatu, tak menarik, punya segenap kelemahan menyangkut kekuatan, dan itu menjadi motor motivasi tokoh Selena untuk berkembang di kemudian hari.

Laiknya tokoh Harry di serial Harry Potter yang tumbuh di rumah pamannya. Wasiat yang diberikan ibu Selena pun serupa, gadis itu diminta datang ke keluarga pamannya di Kota Tishri, ibukota Klan Bulan. Namun tak serupa seperti keluarga paman Harry yang setengah mati membenci lelaki itu, paman dan bibi Selena cukup menyambutnya dengan baik. Kendati sekonyong Selena diperkerjakan oleh pamannya, Raf, itu murni buah dari tabiat lelaki itu yang gila kerja. Untungnya, pekerjaan yang dilakukan Selena ini menjadi momen yang cukup memengaruhi perkembangannya. Selena yang tak pernah sekolah, jadi mengerti ilmu perhitungan dengan baik. Dan yang terpenting, setidaknya di sinilah ia jadi tahu apa cita-citanya: Ia ingin bersekolah di Akademi Bayangan Tingkat Tinggi.

Kendati untuk masuk ke sekolah itu adalah kemustahilan bagi Selena. Namun, kalimat kamu memiliki mata yang tajam, Selena. Jangan berkecil hati jika teman-temanmu mengolokmu, terpantri di benak gadis itu sejak ditinggal pergi orang tuanya. Pesan itu selalu melekat di dalam kepala Selena. Yang membuatnya tetap yakin, meskipun ia tak pandai menghilang atau mengeluarkan pukulan berdentum, ia masih mempunyai kelebihan yang langka. Matanya super tajam. Ingatannya tak berbilang bak ujung pisau. Berbekal keyakinan itu dan ambisi yang luar biasa tinggi, Selena pun mendaftarkan dirinya di sekolah paling elit di Klan Bulan itu. Usianya delapan belas tahun, dan ia telah bertekad untuk melanjutkan hidupnya di sana.

Kehidupan di Akademi Bayangan Tingkat Tinggi, sekilas mengingatkan kita akan Hogwarts di serial Harry Potter. Sekolah ini, selain elit, memiliki keunikan tersendiri. Lulusannya luar biasa, baik menjadi tokoh penting pemerintah maupun menjadi prajurit Pasukan Bayangan yang disegani. Di sinilah paruh akhir masa remaja Selena dihabiskan. Menyadari kemampuannya yang baik dalam hal mengingat dan mengamati, terang saja gadis ini ingin menjadi seorang pengintai yang hebat. Di samping itu, kemudian ia mengenal dua orang yang kelak menjadi karib terbaiknya, Mata dan Tazk.

Kendati harus menyesuaikan diri dengan pelajaran yang sebelumnya asing baginya, tetapi di sekolah inilah Selena tumbuh dan berkembang secara signifikan. Tere Liye memasukkan bidang-bidang keilmuan yang mengalusi cabang pelajaran di dunia nyata, dan itu membuat bagian kehidupan Selena di sekolah ini seseru kehidupan Harry di Hogwarts. Dosen-dosen yang mengampu setiap mata pelajaran, memiliki keunikan tersendiri. Setidaknya ini menjadi warna yang menyenangkan dalam tiap keseharian Selena. Begitu pula dengan persahabatannya dengan Mata dan Tazk, kelebihan yang dimiliki tiap pribadi mereka, menjadikan ikatan kuat terbentuk di antara mereka.

Lalu apa konflik  yang hadir di novel ini? Kiranya, perihal hubungan Selena dengan tokoh Tamus yang membuatnya gadis itu teribat dalam satu rencana besar, yang kelak akan memengaruhi masalah-masalah besar di konstelasi dunia paralel-lah yang dapat disoroti. Novel ini memberi pengisahan, awal mula dari segenap kejadian yang ada di seri sebelumnya, yang harus dihadapi oleh trio petarung itu. Sebermula dari misi perkamen yang dicari Selena, kiat menerjemahkannya, demi tercapainya misi pencarian Tamus mencari Buku Kehidupan, Selena tak sadar telah masuk dalam rencana-rencana besar seseorang. Rencana ini, setidaknya dapat dipahami, bermaksud menyambut satu era yang penting, ialah era yang dipimpin para pemilik kekuatan.

Novel ini tidak bisa tidak, menjadi bagian penting dari keseluruhan serinya. Tere Liye secara baik, menambal sisi yang menjadi lubang sejak seri awal, Bumi, hadir kepada pembaca. Strategi yang dipakai pun cukup brilian. Tere Liye menghadirkan tambalan itu lewat tokoh yang selama ini dianggap hanya sebagai tokoh pembantu. Namun sebenarnya, tokoh Selena ini menyimpan kunci penting dari permasalahan dunia paralel dan masa lalu tokoh Raib.
Dan harus diakui, novel ini mengesankan. Sebab kendati alurnya yang lambat, tiap-tiap bagiannya mengisap untuk terus diikuti. Dan seperti yang dibilang tadi, satu kejutan tersimpan di akhir cerita. Ini menjadi pemantik yang kuat untuk menumbuhkan keinginan membaca seri selanjutnya, Nebula.
Share:

Nebula: Tere Liye dan Sedikit Kesalahannya



Dimuat di Harian Bhirawa edisi Jumat, 10 Juli 2020

Judul               : Nebula
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Terbit               : 2020
Tebal               : 376 Halaman
ISBN               : 978602063936

Bagi pembaca yang mengikuti keseluruhan serinya, apa yang terjadi di novel sebelumnya, Selena, adalah mula dari serentetan kejadian penting dalam seri yang sudah berlangsung lima tahun ini. Kita asumsikan, sampai sekarang pembaca sudah genap menamatkan seri kedelepan, Selena, dan mendapati bahwa novel itu penting sebagai pelengkap bagian yang rompal dalam kisah antarklan ini. Begitupun dengan Nebula, novel ini masih bertalian erat dengan seri sebelumnya, dan menjadi puncak dari pengungkapan masa lalu Raib, berikut tentang orang tua gadis itu. Namun, perannya tak hanya itu saja, novel ternyata menjadi gerbang menuju petualangan ke klan berikutnya.

Tere Liye adalah pengolah cerita yang piawai, tentu saja. Bila tidak, dengan jumlah seri yang cukup banyak ini, kisah-kisah di dalamnya akan terasa melempem, sehambar sinetron yang tendangannya tak mantap. Akan tetapi, kita sedang membicarakan salah satu penulis terkemuka—setidaknya bila dilihat dari daftar bukunya yang hampir selalu memuaskan pembaca, kita bisa mendakunya demikian—dan kualitas tulisannya tidak sembarangan. Jadilah seri ini berjalan dengan kekhasannya masing-masing, punya keseruan tersendiri, dan yang terpenting, kesederhanaan logika dalam poin-poin cerita yang mudah dicerna. Bisa dibilang, Tere Liye mendeskripsikan hal-ihwal antarklan dengan cara pandang yang tak rumit.

Atas opini tersebut, kiranya pantas bahwa seri kesembilan ini, Nebula, mendapat ancungan jempol. Sebab, Tere Liye seolah tak kehilangan pegangannya dalam mengatur jalan cerita supaya menghadirkan keseruan yang tak kalah dengan seri-seri terdahulunya. Lihat saja, pada episode-episode ketika Selena masih berkutat dengan pendidikannya di Akademi Bayangan Tingkat Tinggi, Tere menjadikan itu bukan sebagai serentetan keseharian mahasiswa yang membosankan. Dengan keahlian calon seorang Pengintai yang mumpuni, Selena selangkah demi selangkah menyingkap misteri perkamen kuno yang memuat sebuah puisi. Pembaca terus dicekoki rasa ingin tahu, apakah Selena berhasil memecahkan arti dari puisi itu?

Lalu tensi cerita pun hadir dalam hubungan persahabatan antara Selena, Mata, dan Tazk. Di tengah ambisi mencari Cawan Keabadian dan keinginan berpetualangan di klan lain, ketiga orang ini senyatanya adalah anak muda yang  belum lagi sepenuhnya dewasa, bahkan boleh dibilang masih remaja. Hal ini membuat perasaan labil dengan egoisme tinggi masih menguasai mereka, khususnya Selena. Dalam silang rasa suka, egoisme ini kelak menemukan waktunya untuk eksis menguasai kepala Selena. Dan itu tercermin dalam satu peristiwa penting di klan Nebula. Gadis berambut keriting itu termakan egoismenya sendiri, hingga mengabaikan nilai-nilai persahabatan yang menyatukan ketiganya selama ini.

Itulah mengapa, tatkala episode novel kembali ke bagian masa sekarang­—di basemen rumah Ali, tempat trio petarung itu berkumpul, Miss Selena berulangkali meminta maaf kepada Raib. Sebab guru Matematika itu, selama ini menyimpan rahasia besar yang kuat-kuat ditutupinya. Dan pengisahan novel ini, adalah kesempatan terakhir baginya untuk bisa menjelaskan kejadian-kejadian penting itu. Adalah penyingkapan misteri klan yang selalu berpindah porosnya, berubah-ubah, tempat makhluk mengerikan tersegel; klan Nebula, pun mengenai pewaris murni dari para pemilik kekuatan; putri Klan Bulan, pula tentang klan yang peradabannya bahkan sudah amat maju 40.000 tahun  lalu; Klan Aldebaran.

Novel ini pula menjadi awal dari konflik melawan musuh paling kuat yang selama ini ada. Adalah seseorang yang membuat Miss Selena terpenjara dan merasa perlu mengabarkan ketiga sahabat karib itu, adalah seseorang keturuan Klan Aldebaran yang berkekuatan tinggi, adalah ancaman paling nyata bagi para pemilik kekuatan di klan manapun dalam konstelasi paralel ini. Petualangan antarklan ini belum selesai, tentu saja. Bahkan, sepertinya satu buku lagi tak cukup untuk meneruskannya.

Terlepas dari betapa pentingnya keberadaan novel ini. Seperti seri sebelumnya, di dalam novel masih ada hal yang sungguh disayangkan ada. Sebab lagi-lagi, Tere memasukkan epilog tanpa prolog di dalam novel. Apa ini merupakan salah satu selingkungan penerbit? Entahlah, tetapi yang pasti, hal yang barangkali dianggap sepele ini cukup menggangu, membuat dahi mengernyit heran.

Tak soal itu saja. Bagian yang kiranya layak dipertanyakan adalah episode bonus setelah bagian epilog. Tak seperti di seri Komet Minor yang turut menyertakan bagian serupa, tetapi bisa dinilai wajar dan mendapatkan tempat yang nyambung dengan episode-episode sebelumnya, episode bonus di novel ini tampak salah tempat. Bahkan seperti yang saya rasakan, bagian ini merusak mood yang sepanjang isi novel kadung enak dinikmati. Baiklah, barangkali Tere ingin memanis-maniskan hubungan Raib dan Ali, tetapi hal ini justru terasa hambar, alih-alih membuat pembaca menyungginkan senyum.

Terang saja, atas keberadaan satu episode yang amat tak perlu ada ini, saya tidak jadi menobatkannya sebagai seri yang lebih baik ketimbang seri sebelumnya. Padahal, bila episode bonus ini tak ada, pembaca kiranya cukup puas dengan akhir cerita. Bahkan mendaku seri ini lebih seru. Bukan justru merasa sebal sebab mood-nya dirusak. Begitu.

Share:

Saturday, July 4, 2020