Saturday, July 25, 2020

Kekeluargaan di Tengah Pandemi

Foto oleh Deni Purnomo yang Diperantarai Mbak Reni Asih Widiyastuti

Catatan: 1). Resensi ini dibuat atas novel Mitch Albom yang diterjemahkan dan dibagikan secara gratis di website GPU, untuk membacanya, bisa kaukunjungi laman ini. 2). Resensi ini versi asli sebelum dipangkas oleh redaksi. 

Judul               : Uluran Kasih (Human Touch)
Penulis             : Mitch Albom
Penerjemah      : Tanti Lesmana
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama, 2020
Tebal               : 233 Halaman.

Pandemi Covid-19 ini mengubah seberagam hal, kita tahu itu. Kabar datangnya virus sejak berbulan-bulan yang lalu menghadirkan ngeri, sekaligus dengan kecepatannya yang luar biasa, memberi imbas ke dalam tatanan kehidupan kita. Sebab tidak saja berdampak di ranah ekonomi yang mengalami kemerosotan tersebab pemutusan kontrak kerja atau penutupan toko dan perusahaan, tetapi utamanya relasi antarmanusia berubah sedemikian rupa. Dan di tengah kekhawatiran atas merebaknya virus yang kian meluas ini, Mitch Albom lewat novel teranyar yang ia bagikan secara gratis di website-nya, Uluran Kasih, menunjukkan betapapun mengkhawatirkannya sebuah situasi, kekuatan tolong-menolong, saling percaya, dan yakin akan harapan baik di kemudian hari harus terus ada. Sesulit apa pun kondisinya.

Representasi atas dampak tersebut pun hadir menjadi kisah di dalam novel, lewat satu kelompok masyarakat di sebuah sudut kota Michigan. Dikisahkan, barangkali segalanya akan berjalan baik-baik saja bila virus itu tak menimpa kota mereka. Empat keluarga itu: Keluarga Myers, Rickets, Lee, dan Winston bisa tetap menggelar santap bersama tiap seminggu sekali di hari Sabtu. Anak-anak mereka bisa tetap sekolah dan bebas berkeliaran di luar rumah. Greg, kepala keluarga Myers, tak perlu mengenakan APD tiap kali menunaikan tugasnya di rumah sakit. Dan Winston, pendeta itu, tak perlu terjebak dalam kebimbangan antara menuruti panggilan Tuhan tiap minggu atau mengikuti anjuran pemerintah untuk tak menggelar kumpul-kumpul lebih dari sepuluh orang.

Akan tetapi, virus itu tetap datang dan mereka dituntut siap atas segala konsekuensinya. Dan, tentu saja, akibat yang dibawa tak sesederhana yang mereka kira, sebab ada beberapa hal lain yang bangkit sebagai buah dari salah paham dan sentimen sekelompok orang. Terang kemudian, hal tersebut mewujud menjadi isu rasisme yang merebak di tengah-tengah masyarakat. Adalah keluarga Lee, pasangan Sam dan Cindy, yang memang berdarah China, menjadi sasaran sekelompok orang sebab mereka dinilai sebagai penyebar virus itu, mengingat awal penyebaran virus ke seluruh dunia berasal dari Wuhan, China.

Mendapati perlakuan demikian, Sam yang awalnya abai pun menyimpulkan bahwa itu adalah ekspresi sekelompok orang  yang memang memerlukan kambing hitam atas situasi buruk yang tengah terjadi. Dan dengan kedangkalan pemikiran mereka, serta-merta mereka menuding pasangan itu sebagai pembawa virus tersebut. Itulah yang hampir membuatnya pindah ke satu wilayah di California, tempat yang sepemahamannya cukup memiliki masyarakat berdarah Asia yang dominan, dan potensi dipandang dengan stigma negatif tak sebesar lingkungan tempat tinggalnya. Namun, sebelum rencana itu ia realisasikan, tragedi penembakan menimpanya dan anak tetangganya, Little Moses, diculik. Babak baru dari serentetan dampak pandemi ini pun muncul. Tapi untungnya, ini pula yang menjadi mula atas hal-hal tak terduga yang kemudian mengemuka dan menyatukan empat keluarga itu.

Little Moses bukan anak sembarangan. Sebab ia dilingkupi keajaiban yang bagi sebagian pembaca, sangat mungkin sukar diterima nalar. Akan tetapi, itulah kenyataannya. Terbukti,  sebelum tragedi penculikan itu, keajaiban Little Moses sudah ditunjukkan beberapa kali. Dari mulai ujaran ibu tirinya, Rosebaby, bahwa anak itu hingga usianya yang kini delapan tahun tak pernah menderita sakit apa pun, sampai keajaibannya yang ditunjukkan kepada Sam, ketika pada minggu-minggu awal kabar virus itu tersiar masuk ke negaranya, dan tak dinyana pria itu terjangkiti, tetapi ia memperoleh kesembuhan setelah di satu malam, Little Moses datang dan tidur memeluk lelaki itu, lalu begitu terbangun sakitnya berangsur mereda, hingga ia sembuh sama sekali.

Bisa dibilang, anak itu spesial sejak lahir. Pengakuan ini datang dari seorang pria Haiti, dukun yang mendoakan Little Moses di masa lalu, selepas tanpa sengaja Rosebaby menemukan bocah itu di tengah hutan. Dan terbukti, dalam darah anak itu mengandung bakal yang ampuh bagi dibuatnya serum antivirus yang kelak dikemukakan di kemudian hari. Adalah Greg, yang mendapatkan darah Little Moses, kemudian nekat menyuntikkannya ke tubuh neneknya yang sekarat akibat virus itu. Itulah yang menjadi mula bagi ditelitinya darah Little Moses.

Namun, sebenarnya, perkara yang tak kalah penting di samping keajaiban bocah itu adalah nilai-nilai kekeluargaan ketika pandem melanda. Inilah yang kuat ditunjukkan di dalam novel. Bahwa betapapun prasangka yang di awal-awal  merebak di sekitar mereka, terutama ihwal sentimen bangsa yang menimpa Sam dan Cindy, pada akhirnya hal tersebut meluruh tersebab kedekatan mereka yang terasa tak sekadar tetangga, tetapi sudah sebentuk keluarga. Representasi nilai ini misalnya, terjadi ketika bocah itu diculik oleh penembak Sam, yang menyadari betapa Little Moses berharga, dan berniat menfaatkannya untuk sejumlah uang.

Bahu-membahu, keempat keluarga itu mencari Little Moses, sampai jauh ke pondokan di tengah hutan. Untungnya, selain anak yang riang dan ceria, bocah itu tergolong cerdas. Sebab di sela penyekapannya, ia menyempatkan untuk meninggalkan jejak dengan kawat-kawat jemuran yang dibentuk merujuk ke tempat ia hendak dibawa. Alhasil, setelah pencarian yang memakan waktu berhari-hari, ia diketemukan.

Apakah selesai sampai di situ? Perkara penculikan itu bisa jadi terbaca menemukan titik terang, tetapi senyatanya, perkara virus itulah yang masih menghadang mereka. Virus itu, kita tahu, demikian mengerikan dalam penyebarannya. Belum lagi, hingga kini, vaksin untuk menyembuhkannya secara efektif belum ditemukan. Namun, novel ini, dengan kehangatan kisahnya, berikut nilai-nilai kekeluargaan yang luhur, pula optimisme yang kuat, menunjukkan bahwa bagaimanapun, harapan baik di kemudian hari harus diyakini pasti akan tiba. Dan sebelum hal itu tiba, mencoba beradaptasi dan menjalani hari penuh perhatian serta kehati-hatian, adalah sebenar-benarnya kiat yang mesti dilakukan.

Dan novel ini, kendati mengandung nilai dan aspek kehidupan demikian kentalnya, tetapi tidak terjebak menjadi bacaan yang menggurui. Tokoh-tokohnya bereaksi secara wajar, bukan sebagai guru-guru bagi para pembacanya. Kehangatan interaksi merekalah yang secara halus, mengandung apa-apa yang mesti disadari, diperhatikan, dan sangat bisa dijadikan teladan. Sebab bisa jadi, saking dekatnya dengan kondisi saat ini, tokoh-tokoh ini seperti terjelma sebagai tetangga seberang atau sebelah rumah kita.

Share:

2 comments: