Saturday, June 27, 2020

Cinta Pertama dan Kerunyaman Hubungan

Dimuat di Radar Cirebon, 27 Juni 2020


Foto: Faris Al Faisal


Judul               : Segi Tiga
Penulis             : Sapardi Djoko Damono
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Terbit               : Maret, 2020
ISBN               :978-602-06-3924-6
Tebal               : viii + 320

Penyair kita ini seperti tak tak kehilangan tenaganya dalam mengarang, bahkan meskipun usianya telah senja sekalipun. Terbukti, setelah merilis buku puisi bersama seorang penulis muda, Rintik Sedu, dalam Ingatkah Kau Jalan Pulang? Belum lama ini, ia hadir lagi dalam panggung sastra kita dengan sebuah novel. 

Percayakah kau pada ganasnya cinta pertama? Tulis Sapardi Djoko Damono dalam kalimat pertama blurb novel terbarunya, Segi Tiga. Kalimat itu tidak saja memancing pembaca sebab mengandung daya tonjok, tetapi juga menyuguhkan petunjuk mengenai apa yang dipermasalahkan di dalam novel. Cinta pertama dan kerunyaman hubungan, menjadi intrik yang ia hadirkan dalam novel teranyarnya ini.

Tidak seperti triloginya terdahulu, Hujan Bulan Juni, novel ini lebih kompleks mengandung hubungan seberagam tokoh-tokohnya. Di bab Segi Satu, fokus cerita lebih kepada hubungan antara Suryo, Noriko, dan Gendis. Sebagai tokoh utama cerita, Suryo adalah pemuda yang kerap dipandang aneh oleh orang taunya. Sebab selalu menanyakan hal-hal yang sifatnya tak masuk akal, seperti perihal Juru Dongeng pada kisah-kisah yang dibacanya. Sampai suatu ketika, ia mendapati sosok perempuan muda di sebuah Warung Jawa di Jalan Slamet Riyadi yang lantas mengganggu pikirannya. Tidak lain, perempuan muda itu adalah Noriko.

Noriko sendiri adalah anak angkat dari Ibu Hartini, ibu dari Pingkan, tokoh di trilogi Hujan Bulan Juni. Ia datang ke Indonesia sebab diwanti-wanti oleh Pingkan untuk menjaga ibunya supaya tidak kesepian. Namun, alasan lain ia datang ke Indonesia juga disebabkan oleh tokoh Katsuo, cinta pertamanya. Ia merasa perlu untuk berlari sejauh-jauhnya agar mudah melupakan lelaki itu.

Hubungan Noriko dengan masa lalunya inilah yang menjadi tembok bagi ia dan Suryo. Pertemuan di Warung Jawa itu memang terjadi, tentu saja. Akan tetapi, tatkala Suryo menginformasi hal tersebut di lain waktu, Noriko mengelak dan bilang Suryo salah orang. Sementara itu, Suryo tak patah arang, ia terus mencari siapa itu sosok yang diliatnya di Warung Jawa.

Hubungan makin runyam ketika sepupu Suryo, Gendis, turut terlibat. Diambil dari tokoh dalam buku puisi Sapardi, Perihal Gendis, gadis ini menjadi simpul lain yang membuat rumit jalinan kisah di dalam novel ini. Sebab selain menjadi penengah di antara Suryo dan Noriko, ia juga rupanya memiliki rahasia di masa lalu. Dan itulah yang menjadi batu ketika sahabat Suryo, Hanindyo, hendak menjalin hubungan dengan gadis itu.

Lain dengan dengan bab Segi Dua. Pada bab ini fokusnya lebih kepada kisah Noriko dan Gendis. Kisah berkelindan sepeninggal Suryo yang pergi ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya di UI. Sejenak, tokoh Suryo seperti disingkarkan sebentar. Diajaknya pembaca menyelami masa lalu Noriko dalam perjalanan bersama Gendis ke kampung halamannya, Okinawa. Dalam bagian ini, Noriko mendedahkan sebab mengapa ia sampai harus tak membenarkan dugaan Suryo di Warung Jawa itu. Ia menyadarkan Gendis, bahwa cinta pertama itu indah sekaligus sadis.

Perkara keduanya kian pelik ketika Gendis terjebak dalam sebentuk jalinan antara ia, Hanindyo, dan Wayan, yang adalah seorang kenalan dari Bali, ketika keduanya ikut pementasan tari di kota tersebut. Bagimana jalinan ini terbentuk? Perkara Noriko yang mendalami tarian Jawa, mengenal Bu Retno sebagai gurunya, kemudian pementasan di Bali itulah yang mengantarkan Wayan dalam kisah. Wayan hadir dalam hidup Gendis, lantas atas sikap sopan dan baik hatinya, lambat laun ia membuat Gendis mau tak mau memberi ruang untuk lelaki itu. Namun, tetap saja, itu hanya mula dari kerunyaman lain.

Pindah ke Bab Tiga, lampu sorot kembali menyenter sudut yang dihuni Suryo. Kali ini, telah hadir tokoh lain yang juga sepupu lelaki itu, yakni Tia, yang kerap difrasakan gadis berkepang dua. Konflik menjadi kentara ketika Suryo kembali ke Solo bersama sepupunya itu. Keduanya telah menjalin kedekatan sebab sama-sama suka menulis. Bahkan, kerap membuat dongeng bersama-sama. Dan  ini menjadi muasal rasa itu. Suryo, mau tak mau, memberi ruang untuk perempuan itu.

Pada akhirnya, rangkuman dari jalinan kisah mereka adalah perkara ruang di hati masing-masing. Percayakah kau pada ganasnya cinta pertama? Pertanyaan ini semacam tonjokkan untuk menvalidasi perkataan Noriko, bahwa cinta pertama itu indah dan sadis. Dalam diri Noriko, ia memiliki Katsuo yang menjadi cinta pertama. Namun, lelaki itu sama sekali abai, hingga cinta perempuan muda itu pun terlantar.

Sementara itu, di hati Suryo, kendati di awal ia jatuh hati pada Noriko. Akan tetapi, di halaman-halaman akhir, diketahui bahwa hubungannya dengan Gendis juga memberi kesan, menciptakan sebuah ruang yang kelak menuntut validasi nasibnya seperti apa. Begitu pula dengan yang terjadi dengan Gendis, tak dinyana, ruang itu lebih dulu tercipta untuk sepupunya itu. Kalimat, Seandainya aku ini bukan sepupumu, Sur. Menjadi semacam penyesalan atas hadirnya rasa yang tak semestinya dimiliki.

Arkian, seperti trilogi Hujan Bulan Juni yang tak menemukan ujung yang jelas. Segi Tiga pun memberi akhir yang serupa. Bahwa dongeng ini sebenarnya tak selesai. Atau, sengaja dibuat begitu supaya mengundang beragam interpretasi pembaca dalam menyimpulkan akhir kisahnya seperti apa. Yang pasti, perkara cinta pertama itulah yang menjadi masalah. Ia menjadi mula bagi kerunyaman hubungan antartokohnya. Dan memang, tak hanya dalam kisah di novel ini, bukankah cinta pertama kerap menunjukkan keganasannya seperti ini?


Share: