Thursday, October 29, 2020

Memperkarakan Takdir

 


Ulasan ini dimuat dalam Tulis.me Zine, untuk membaca versi zine-nya, kau bisa membacanya di tautan ini.

Judul               : Tukar Takdir

Penulis             : Valiant Budi

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama, 2019

Tebal               : 224 Halaman

ISBN               : 9786020722392

Sering kita dengar, kegiatan menulis bisa menjadi terapi tertentu bagi sebagian orang. Tak sedikit yang menganggap bahwa menulis sebagai obat mujarab untuk meredam kegelisahan, kegalauan hati, kekesalan diri, dan seberagam emosi lainnya. Ini bukan omong kosong belaka, sebab cukup banyak pula penulis yang berlandaskan hal-hal tersebut dalam berkiprah di dunia kepenulisan mereka. Valiant Budi ini contohnya.

Diberitakan Detik (12/08), tahun 2015 kiranya menjadi tahun yang berat bagi penulis satu ini. Sebab di usianya masih 35 tahun, Vabyo—sapaan akrabnya—didiagnosis terkena stroke hemoragik, yakni pecah pembuluh darah di otak kiri yang membuat kemampuan berbahasanya menjadi kacau. Ditambah, ingatannya sering kali acak. Vabyo mengaku, pernah di kala terbangun dari tidur, ia bisa seolah berada di tahun tertentu dalam hidupnya. Itu membuatnya bisa lupa akan teman atau bahkan keluarganya sendiri.

Namun begitu, Vabyo tak begitu saja menyudahi kegiatan menulisnya. Justru, kegiatan menulis tersebut ia jadikan terapi dalam proses penyembuhannya itu. Kumpulan cerpen bertajuk Tukar Takdir inilah buah yang ia capai dalam proses terapinya. Dari judul saja, calon pembaca tentu sudah menebak arah topik dari sehimpun cerpen di dalam buku ini. Dan, itu seutuhnya benar, sebab Vabyo pun mengaku dalam wawancaranya bersama The Jakarta Post (11/06), cerpen-cerpen yang ada di buku ini lahir ketika ia sempat tiba di titik antara ingin hidup dan mati. Oleh Vabyo, takdir dan kematian dikisahkan tanpa keraguan untuk ditertawakan.

Ditertawakan di sini bisa jadi agak subjektif. Namun, itu wajar adanya mengingat Vabyo enteng saja memainkan humor di sela cerpen-cerpen yang cenderung berisi kegetiran, kesialan, bahkan kemalangan ini. Dalam cerpen pembuka, “Diulang Sayang”, Vabyo menjadi narator “aku” yang didamparkan pada situasi panik di dalam pesawat. Dikisahkan, si tokoh aku tersebut panik bukan main tatkala mendapati pesawat tergoncang hebat, tetapi mencoba meyakinkan diri sebab pramugari dan penumpang lain tak mengalami kekhawatiran serupa.

Tapi, situasi terus saja kian mengkhawatirkan. Di cerpen ini, Vabyo mencoba menyisipkan keganjilan dalam tragedi tersebut. Ia menghadirkan sosok serupa alien dalam fragmen tokoh berikutnya. Dari situ, pembaca kiranya diajak bertanya-tanya akan kebenaran hal tersebut: Itu demikian adanya atau sekadar halusinasi belaka? Hingga di akhir kisah, secara baik Vabyo memungkasnya dengan daya kejut yang tak disangka-sangka. Vabyo memainkan twist ending. Kedepannya, daya kejut inilah yang menjadi indentitas cerpen-cerpen di dalam buku ini.

Benar, daya kejut itu menjadi ciri khas lain dari cerpen-cerpen Vabyo. Tapi tak hanya itu, hal lain yang tampak jelas adalah latar belakang sosial yang disoroti Vabyo kebanyakan diambil dari kehidupan masyarakat urban masa kini. Sebut saja dalam cerpen “Serupa dan Serapuh” dan “Melupakan Pengingat Diri” yang mengisahkan kebohongan dan busuk-busuknya industri musik dan pertelevisian kita. Lewat dua cerpen tersebut, Vabyo ingin menunjukkan bahwa kegemilangan seorang musisi dan pemain sinetron rupanya menyimpan kegetiran tersendiri: Kepura-puraan dan perasaan terpenjara.

Atau, dari cerpen “Duta Rumah Tangga” yang menyoroti kehidupan rumah tangga seorang selebgram yang sungguh tak baik-baik saja. Di balik setiap unggahan yang tampak menarik di kanal Instagram si tokoh, ternyata tersimpan sejumlah persoalan yang mendera kesehariannya. Persoalan ini, oleh Vabyo, diolah dengan pengisahan yang unik dan sedikit mengejek kecenderungan kehidupan penuh “drama” tersebut. Sampai kemudian, sekali lagi, Vabyo memainkan kekhasaannya dengan daya kejut yang memukau dan menghadirkan iba di saat bersamaan.

Perkara takdir dalam imajanisi Vabyo pun tak sebatas dalam membingkai cerpennya dengan tendensi realistis seperti cerpen-cerpen tadi. Di luar itu, Vabyo juga memainkan perkara takdir dengan menghadirkan sisi magis yang tampak dekat. Tak hanya satu-dua cerpen, tetapi terdapat beberapa cerpen dengan kecenderungan memiliki kemagisan dalam kisahnya. Dalam cerpen “Kunci Pencari Pintu” sisi magis ini hidup dalam kemalangan sepasang suami-istri yang diuji dengan nasib si istri yang terganggu kejiwaannya.

Dalam cerpen tersebut, si suami kebingungan bukan main ketika hendak mengobati sakit si istri sementara ia tak punya cukup penghasilan untuk membayar biaya rumah sakit. Hingga akhirnya, ia beroleh kesempatan mendapatkan uang dari harta milik seorang nenek yang telah menjadi langganannya dalam mendumplikat kunci rumah. Namun, sesuatu terjadi ketika ia ingin melaksanakan aksinya tersebut. Kelak, sesuatu tersebut jadi mula dari kemagisan yang menimpa istrinya. Dalam cerpen ini, Vabyo bermain-main dengan perpindahan jiwa dan kejadian yang oleh kita akrab disebut “kerasukan”.

Hal-ihwal kemagisan juga hadir dalam cerpen “Centong Ajaib”, “Pecinta Butuh Pelarian”, “Kelainan Itu Kelebihan”, “Aroma Masa Lalu”, dan “Singgana Kekal”. Kelima cerpen tersebut tetap setia dengan bingkai kisah khas Vabyo dan masing-masing bersumber dari ilham yang berlainan. Namun, dari sekian banyak cerpen berunsur magis di buku ini, kiranya cerpen terakhirlah yang memiliki kekuatan paling dominan dan seolah menjadi puncak dari permainan takdir dalam lanskap imajiner Vabyo. Cerpen yang berjudul “Singgana Kekal” tersebut secara jelas mewakili diri Vabyo seutuhnya.

Tak pelak lagi, keterbacaan demikian sangat mungkin terjadi. Setelah mengetahui situasi Vabyo dalam menggarap cerpen-cerpennya, pembaca seolah mendapati puncaknya dalam cerpen terakhir tersebut. Dengan menganggit tokoh berkemampuan futuristik, Vabyo mendedahkan ihwal yang magis dan yang hakiki. Alam lain ditiupkan olehnya secara wajar dalam napas tokohnya. Lewat tokoh di cerpen ini, Vabyo seperti menggapai pengalaman perjumpaan dengan yang gaib, kemudian dikisahkan kembali dengan kesubtilan yang pas.

Begitulah, Vabyo telah membuktikan bahwa kondisi yang tampak tak memungkinkan bukanlah halangan untuk terus berkarya. Lebih dari itu, buku ini seperti menambah panjang daftar kumpulan cerpen dengan kecenderungan baik dan unik bagi khalayak Indonesia. Sebab Vabyo, walaupun hanya memperkarakan takdir, tetapi di tangannya, perihal takdir bisa menjadi sesuatu yang spesial: Ia memancing untuk mengingat sekaligus untuk menganggapnya bukan hal yang menakutkan.

Share: