Tuesday, November 26, 2019

Seberapa Jauh Kita Mengenal Bahasa Indonesia?

https://picsart.com/i/image-wdw-wdwedit-talk-listen-293334369051201


Hari ini, siapa, sih, yang tidak bisa berbahasa Indonesia? Saya rasa, bila seseorang minimal pernah mengenyam pendidikan dasar, tentulah ia memiliki kemampuan berbahasa Indonesia. Apalagi sekarang ini, hampir di tiap kesempatan, tempat-tempat umum, bahasa Indonesia sudah sedemikian biasa digunakan. Para orang tua, bahkan sudah menanamkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu mereka. Pendek kata, secara verba, bahasa Indonesia jamak didapati di mana-mana.

Akan tetapi, apakah pemahaman berbahasa Indonesia yang baik dan benar sudah dimiliki seluruh lapisan masyarakat kita? Pemahaman yang, tak sekadar verba atau lisan, tetapi juga menyangkut kaidah penulisannya. Mungkin, sebagian pembaca akan menjawab ‘ya’. Namun, saya kira, lebih banyak akan yang menjawab ‘tidak’.  Sebab, memang begitulah adanya kenyataan di sekitar kita. Kesalahan-kesalahan baik penggunaan diksi yang kurang tepat, maupun penulisan kata, frasa, atau kalimat yang tak sesuai kaidah berbahasa Indonesia, beterbaran di sekiling kita. Baik tertempel di dinding toilet, pagar tembok, plang nama, bahkan merambah ke ranah yang tak terpisahkan dari kehidupan kita; pesan singkat dan status media sosial.

Dari pertanyaan di atas, kemudian timbul satu pertanyaan dasar: Mengapa itu bisa terjadi? Baiklah, di sini saya memiliki tiga jawaban yang saya kira melatarbelakangi masalah tersebut.

Alasan pertama, adalah merasa bahwa memakai bahasa Indonesia terkhusus dalam penulisannya yang sesuai dengan kaidah berbahasa yang baik dan benar, itu tidak terlalu penting atau perlu. Siapa sih, yang akan mempermasalahkan kalau berkirim pesan memakai kata yang disingkat-singkat, atau ketika berbicara menggunakan diksi yang kurang tepat akan dipermasalahkan oleh lawan bicara kita, yang terpenting, kan, maksud dan tujuan yang tersampaikan, kira-kira begitulah pikiran orang yang masuk ke dalam alasan pertama tersebut.

Alasan kedua, adalah ketidaktahuan. Tentu tidak semua orang tahu dan mengerti kaidah berbahasa yang baik dan benar menurut Pedoman Umum  Ejaan Berbahasa Indonesia, pun apa-apa saja diksi yang tepat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Untuk alasan kedua ini, kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Sebab ketidaktahuan memiliki banyak faktor yang menyebabkannya. Bisa saja orang tersebut jarang membaca, sekolahnya terputus di tengah jalan, atau tinggal di tempat terpencil yang penguasaan berbahasa Indonesia-nya minim.

Alasan ketiga, sekaligus yang paling fatal, adalah ketidakpedulian. Alasan ini jelas saja berhubungan dengan kedua alasan sebelumnya. Dari merasa tak perlu-perlu sekali, muncul rasa tidak peduli atas aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Dari rasa tidak tahu, juga bisa memunculkan ketidakpedulian untuk memperbaiki atau menggali bagaimana kasalahan-kesalahan tersebut diperbaiki. Pun, saya kira, alasan inilah yang paling banyak menjadi dasar atas kesalahan-kesalahan berbahasa yang terjadi di sekitar kita.

Jangankan memedulikan mana yang benar antara ‘jomblo’ dan ‘jomlo’, sementara yang sudah amat akrab diucapkan adalah kata yang pertama. Yang paling menggemaskan, penggunaan partikel ‘di’ disambung dan dipisah pun masih banyak sekali yang belum paham. Padahal, saya kira, aturan tersebut dasar sekali. Sebagaima tujuan adanya aturan dalam berbahasa, bila dilanggar, tentu saja menghasilkan arti yang tak tepat, atau paling tidak membuat tak nyaman orang yang mengerti manakala mendapatinya di satu tempat atau di satu kesempatan.

Benar kalau di kehidupan sehari-hari, aturan-aturan tersebut tidak terlalu memengaruhi. Seperti yang terjadi pada alasan pertama, dalam hal berkomunikasi, asal yang menjadi lawan bicara atau berkirim pesan paham, maka kesalahan-kesalahan itu tak penting adanya. Dan memang, kepedulian atas kesalahan-kesalahan tersebut, jamaknya diperhatikan dalam ruang lingkup akademisi atau formal; kampus, sekolah, lembaga-lembaga, dan instansi pemerintahan serta perusahan.

Akan tetapi, bukankah akan indah sekali manakala kita berbahasa Indonesia, terkhusus dalam penulisannya, dengan memperhatikan aturan-aturan yang berlaku? Bahasa ini milik kita, sudah sepatutnya kita merawat dengan memperdalam ilmu berbahasa yang baik dan benar, lantas mempraktikkannya di kehidupan sehari-hari.     

Share:

Tidak Ada Pembaca Buku di Perpustakaan Kami

https://picsart.com/i/image-309398786124201


Ya, silakan menghujat saya selagi ini masih di paragraf awal. Tidak apa-apa. Saya paham benar, kalau judul di atas bakal memancing hujatan untuk saya. Lho, mana ada tidak ada pembaca buku di perpustakaan? Sampeyan ngawur, ya?! Saya kira, kurang lebih, begitulah kata-kata yang dilayangkan pembaca tulisan ini.

Saya tidak akan marah. Akan tetapi, izinkanlah saya meluruskan dan menjelaskan duduk perkara dan maksud dari judul tersebut. Begini, jelas bukan tanpa alasan judul di atas saya ambil. Sebab, asal tahu saja, saat ini, saya memiliki kewajiban kepada perpustakaan universitas XYZ—karena saya mahasiswa penerima bidikmisi, sehingga, hampir tiap hari saya berada di sana manakala saya memiliki jam kosong dan tidak ada kegiatan apa-apa. Selama menjadi pustakawan—ah, sebenarnya label itu masih belum bisa saya sandang, mau tidak mau saya terbiasa memerhatikan suasana perpustakaan, sampai perihal pengunjung dan apa saja yang mereka lakukan di sana. Dan saya tidak bisa untuk tidak merasa gemas akan beberapa hal yang saya dapati. Berangkat dari hal tersebut, judul itulah yang saya pilih.

Dari pengamatan saya, ada beberapa tipe pengunjung perpustakaan yang saban hari menyambangi perpustakaan kami. Tipe pertama, adalah mereka yang datang dengan tujuan paling umum, yakni mengerjakan tugas. Tipe kedua, adalah mereka yang datang sekadar berkumpul, mengobrol, dan ber-haha-hihi. Tipe ketiga, yang terakhir sekaligus yang membuat gemas, adalah mereka yang datang untuk bersantai, menikmati dingin AC, bahkan bermain game online. Nah, ada yang janggal, bukan? Benar sekali, tidak ada tipe yang lazimnya jamak kita dapati di sebuah perpustakaan: Pembaca buku.

Bukanya sama sekali tidak ada yang membaca buku, hanya saja, keberadaan mereka, amat jarang saya dapatkan menempati satu kursi dengan wajah damai dalam petualangan imajinasi. Sebenarnya, saya tak terlalu yakin, hal ini sebuah masalah atau bukan. Sebab, sebagaimana segenap aspek kehidupan kita yang banyak berubah satu dekade ini, dan teknologi saat ini menjadikan tipikal manusia yang sama sekali lain dari zaman orang tua saya dahulu. Pun saya barangkali salah, pengamatan saya terlalu dangkal, atas sebuah gaya hidup di sebuah perpustakaan di zaman modern ini yang tak hanya diisi oleh pembaca buku. Itu mungkin bisa dibenarkan, dan apa yang saya dapati adalah hal yang wajar di zaman ini. Perpustakaan saat ini, melewati makna namanya sebagai pustaka atau gudang ilmu dengan buku sebagai ujung tombaknya.

Yah, tentu saja saya menyadari hal tersebut, dan saya toh tak bisa menyalahkaan siapa-siapa. Kesadaran akan betapa pentingnya mengangkat martabat sebuah perpustakaan saya rasa mesti disadari oleh masing-masing individu. Perpustakaan kami bukannya tak memiliki aturan, atau tidak ada larangan-larang. Namun, sampai ke tingkat melarang seseorang berkumpul, ber-haha-hihi, atau bermain game online, saat ini memang belum diberlakukan. Imbauan untuk tak berisik tentu saja bisa menjadi penguat manakala saya menegur seseorang atau kelompok dengan dua kasus pertama. Akan tetapi, bila sampai menegur mereka yang melakukan kasus ketiga, mental saya menjadi ciut. Benar memang mereka merusak pemandangan di dalam perpustakaan, berkumpul di sudut dengan pandangan penuh ke layar ponsel. Tetapi, hei, mereka diam semua. Mereka seolah menempati gelembung mereka masing-masing. Saya tak sampai hati menegur mereka. Memang saya siapa? Apa kewenangan saya?

Atas semua hal tersebut, saya kerap merindukan perpustakaan yang memiliki suasana tenang dengan para pengunjungnya yang memiliki adab memperlakukan perpustakaan dengan baik, dan mereka yang menyelami sebuah buku menjadi jamak didapati. Aneh, padahal perpustakaan kami cukup banyak memiliki koleksi buku-buku sastra yang melimpah, mengingat universitas yang menaungi memiliki program studi Sastra Inggris. Tak tanggung-tanggung empat rak besar yang dipenuhi  buku-buku sastra klasik dan kontemporer dari pengarang-pengarang hebat. Akan tetapi, tiap kali saya menengok mereka dari rak satu ke rak lainnya, tingkat satu ke tingkat lainnya, buku ke buku, hati saya tidak bisa untuk tidak merasa miris. Sebab mereka ada yang berdebu, plastik pembukusnya lengket satu sama lain, dan ketika melihat riwayat peminjaman di halaman belakang, yang didapati adalah mereka dipinjam dua, tiga, atau bahkan empat tahun yang lalu!

Saya tidak bisa membayangkan, betapa sedihnya Leo Toelstoy, Edgar Allan Poe, Jane Austen, Franz Kafka, Ernest Hemingway, dan segenap penulis lainnya ketika menyaksikan karya mereka seperti dianggap barang usang dari masa lalu. Tidak menarik. Kalah dengan kilau teknologi yang lebih berwarna.

Apakah ini karena krisis literasi yang sampai sekarang masih menjerat sebagian besar masyarakat kita? Adalah ketika apa yang terpampang di dunia maya lebih menarik ketimbang membalik halaman demi halaman sebuah buku. Perpustakaan kami, sekarang ini bukan lagi diisi mereka-mereka yang hendak menyelami sebuah kisah atau berdiskusi tentang ilmu (sungguh, itu jarang sekali), lebih dari itu, suasana tersebut seperti jauh tertinggal di belakang. Perpustakaan kami seperti kehilangan jati dirinya. Mungkin, karenanya, mereka yang hendak melakukan ibadah membaca buku, merasa perpustakaan kami bukan lagi tempat yang ideal. Bukan lagi tempat yang tenang dan senyap.  

Share:

Saturday, September 21, 2019

Gue, Maba, dan Hal-hal Tak Penting Lainnya



Sebelum membaca lebih jauh, gue peringatin kalau apa yang tertulis di sini sungguh berpotensi membuat lo bosan, nguap berkali-kali, bahkan memaki betapa enggak pentingnya tulisan ini.

Nah, tapi kok ya tetap dibaca, loh. Udah, sana-sana. Jauh-jauh. Tinggalin blog ini. Pergilah ke ranah IG, Facebook, Twitter, atau ke manalah, yang jelas-jelas punya faedah buat hidup lo. Eh, masih ngeyel baca? Udah, deh. Tulisan ini sungguh enggak penting, enggak berguna, enggak ada tuh kata-kata motivasi apalah-apalah, gue bukan Jack Ma, ya, Sis dan Agan sekalian. Jadi, jangan masang ekspektasi tinggi atas tulisan ini.

Herannya, masih aja ada yang baca sampai sini. Kok, kayaknya lo penasaran banget, sih! Heh, gue bukan Raditya Dika, ya. Enggak ada tuh tulisan gue bikin lo ketawa. Jadi, sebelum waktu beberapa menit lo terbuang sia-sia, tinggalin deh blog ini. Pergi ke mana, kek. Stalking kating apa nge-WA-in teman seangkatan yang cakep, kek. Nggosipin kucing bunting punya tetangga lo, kek. Atau ke manalah. Terserah.

Bener-bener, dah. Kayaknya emang penasaran berat, nih. Sampai sini masih dibaca coba!

Oke, oke, saudara senenek moyang Homo Sapiens yang suka pusing ketika tanggal tua sekalian, karena lo masih mantengin tulisan ini, dengan rasa hormat setinggi tower Telkom, gue ucapkan terima kasih. Terima kasih atas kesedian lo buat mampir ke blog yang sempet mati suri ini. Terima kasih telah menjadi tamu terhormat di rumah bagi kediaman tulisan-tulisan gue ini! Terima kasih. Terima kasih. Makaseeehhh! XD

Baiklah, dengan disaksikan debu jalanan di atas tanah gersang dalam kemarau berkepanjangan ini, gue ucapkan selamat datang buat lo di tempat yang sedikit menggambarkan dunia yang baru gue jejaki, datangi, dan yang ke depannya menjadi ranah petualangan, mata air pengalaman, serta dimensi yang mempertemukan gue dengan banyak hal baru yang sama sekali enggak terbayangkan sebelumnya.

Perlu diketahui, tahun ini gue menjadi seorang Mahasiswa Baru. Yap, di umur yang menginjak sembilan belas tahun ini, gue baru menjejaki jenjang perguruan tinggi. For your information aja, jadi tuh gue Gap Year, gitu. Sebelumnya, gue sempet berniat memasuki dunia kerja pasca lulus dari SMK, gue juga sempet mempersiapkan diri dengan memperdalam kemampuan di bidang komputer dan bahasa Inggris di satu lembaga kursus untuk menajamkan kualitas diri supaya dapat bersaing di kerasnya dunia kerja. Akan tetapi, setelah melewati masa penggemblengan selama kurang-lebih empat bulan tersebut, dan kepercayaan bahwa diri gue sudah cukup mumfuni dan memiliki kecakapan, huh, ternyata gue masih dikalahkan oleh kerasnya dunia ini, Saudara-saudara. Sungguh, diri ini masihlah tidak ada apa-apanya. Penolakan demi penolakan, mampir lewat telepon yang mengabarkan kabar horror, kalau gue … ditolak!

Sejak itu, gue sempat frustrasi akan kemampuan diri gue. Betapa lemahnya diri ini, membuat gue enggak percaya diri. Beberapa bulan gue menjadi manusia yang menutup diri dari dunia luar. Beberapa kali gue pernah mikir buat mati, bunuh diri, bahkan mempraktikkan self harm dengan mukul-mukul kepala sendiri ketika tiba gue depresi akut dan merasa hidup ini enggak ada gunanya. Gila, kan? Ngeri, kan? Akan tetapi, di suatu kali, gue teringat akan mimpi-mimpi gue. Dan di puncaknya, hal tersebut menumbuhkan keyakinan, kalau hidup gue enggak berhenti sampai di sini, enggak berhenti cuma di kamar, doang. Bila tetep kayak gitu, mau jadi apa gue ke depannya?  Kalau terus-terusan berjibaku di dalam jurang keputus-asaan, mana mungkin gue dapat membanggakan orang tua? Akhir, bak cerahnya sang surya yang tersenyum di kala fajar, terbit pemikiran-pemikiran kalau harapan untuk berubah, itu masih terbentang lebar. Perjalanan gue sebagai manusia belum berakhir. Gue masih punya kesempatan untuk membelokkan arah nasib. dan mengubahnya ke arah yang lebih baik.

Gue Memilih Sastra Inggris

“Wahid, kamu punya mimpi jadi apa?” tanya mentor gue kala masih di lembaga kursus itu ketika kami terdampar di satu acara motivasi.

“Penulis, Sir!” jawab gue lantang.

Itu sedikit cuplikan yang gue alami ketika masih di proses penggemblengan diri. Hmm, gini-gini, jadi tuh kendati gue masuk ke lembaga itu untuk mempersiapkan diri supaya dapat bersaing di dunia kerja, perihal mimpi-mimpi ke depan enggak dibatasi, di acara tersebut kami bebas menuliskan impian dan keinginan apa pun yang ingin dicapai, kemudian membuat daftar step-step untuk menggapainya. Dan seorang penulis, adalah satu-satunya impian yang terbersit di dalam otak gue. Yup, kesukaan gue membaca karya sastra, lama-kelamaan menumbuhkan keinginan untuk turut serta menjadi seorang pengarang atau penulis. Tetapi, saat itu, prioritas gue tetap gimana caranya bisa dapet kerjaan, udah. Jadi, impian tersebut sementara gue sisihkan ke sudut lain, gue abaikan sampai kelak bakal dilirik lagi bila waktu menghadirkan rencananya yang tak terduga.

Kemudian, memang benar adanya. Seperti yang gue bilang sebelumnya, impian tersebut menghinggapi gue ketika diri ini masih berjuang dalam kejamnya perasaan frustrasi yang menggerogoti tubuh. Teeng’ Impian untuk menjadi penulis, muncul di benak dengan kuatnya, amat menggebu-gebu. Dan hal itu, dipantik lagi ketika gue jatuh cinta dengan tokoh Amba di novelnya Laksmi Pamuntjak yang berjudul sama: Amba. Sedikit tentang wanita hebat tersebut, ia adalah seorang penerjemah lulusan Sastra Inggris UGM tahun ’60-an. Gue bener-bener jatuh cinta sama dia. Tentang dirinya. Petualangannya. Bagaimana ia menempuh pendidikannya. Membuat gue yakin, kalau gue harus jadi seperti dia. Atau minimal, gue harus mengikuti jalannya di bidang tersebut. Alhasil, gue jadi memantapkan diri, di tahun 2019 ini, gue harus kuliah, dan jurusan yang gue ambil adalah Sastra Inggris.

Enggak sampai di situ, selanjutnya, gue mulai tertarik di dunia edit-mengedit. Pengalaman membantu mengedit cerita temen ternyata memiliki keasyikan tersendiri. Ditambah lagi, gue pernah sekali membantu salah satu penerbitan indie buat mengeditori satu naskah novel. Berat memang. Kudu teliti. Bahkan di beberapa waktu, gue sempet tinggalin dan enggak disentuh. Tetapi, lagi-lagi, pengalaman itu memiliki keasyikan yang enggak kalah sama proses menulis. Lebih dari itu, menjadi editor dituntut lebih peka, tajam menginterpretasikan satu adegan, sabar, dan di punggungnya terpikul tanggung jawab untuk menjadikan naskah tersebut layak diterima pembaca. Dan kelak, kalau gue ingin menempuh jalur itu, salah satu syaratnya adalah menjadi orang dengan latar belakang lulusan Sastra.

Hmm, dari ketiga pemantik itu, cukuplah bagi gue dijadiin alasan kenapa gue memilih jurusan ini.

Kenapa di Universitas Teknokrat Indonesia?

Sebab setahu gue, di Lampung, kampus yang memiliki prodi Sastra Inggris, ya universitas ini. Gue juga punya temen yang dulu seangkatan yang lebih dulu masuk sini. Yah, tahulah, faktor supaya ada temennya itu sungguh-sungguh memengaruhi seseorang apabila ia ingin masuk ke satu dunia yang sama sekali baru, intinya, biar enggak dungu-dungu amat kayak orang ilang yang bingung enggak punya temen. (Anjir, ini gue ngomong apa, sih?)

Udah, langsung alasan berikutnya. Dan itu adalah, karena universitas ini menyediakan jalur Bidikmisi yang kalau tembus, Masya Allah, Akhi-Ukhti sekalian, sungguh-sungguhlah menggiurkan bagi kantong kaum jelata nan misquen ini. XD.

Alhamdulillah-nya, gue yang jadi salah satu orang beruntung, sebab tiket bidikmisi tersebut jatuh ke tangan … gue! Masya Allah ….

Ini Foto Bersama anak-anak Bidikmisi 2019. Gue yang kedua dari kanan, cowok paling pendek itu.

Enggak sampai di situ, Saudaraku setanah air yang suka ngamuk kalau kuota habis sekalian, sebab di universitas ini, gue dipertemukan kembali dengan dua orang temen terbaik yang sempet terpisah di bangku menengah atas soalnya kami beda sekolah. Takdir itu terkadang punya selera humor yang tinggi, ya. Ini, loh, kami dipertemukan di tempat yang sama, dengan kondisi yang sama-sama, pula (baca: Gap Year).

Masya Allah ….

Formasi aslinya empat orang, but, satunya lagi melancong ke Jogja.


Tentang Acara Propti

Gila, lo masih betah baca tulisan ini? Emang penting, gitu? Enggak, kan? Udah, sana-sana. Udahan aja.

Lah, masih ngeyel. Ya udah, gue lanjutin, deh.

Jadi, propti ini akronim dari Program Orientasi Pendidikan Tinggi (catet! Kali aja ada yang enggak tahu). Kebetulan, gue kebagian gelombang kedua, sebab beberapa bulan silam Universitas Teknokrat Indonesia udah lebih dulu menggelar acara serupa.

Acara ini digelar selama tiga hari, 19-21 September 2019. Dilangsungkan di gedung GSG universitas tercinta, dengan semilir angin dari kipas yang sialnya enggak menyeluruh menjangkau tubuh-tubuh yang mengenaskan dililit gerah dan rasa panas. Auto kipas-kipas sendiri ….

Mau tahu apa perasaan gue ketika dipertemukan sama Maba lainnya?

Jawabannya adalah, minder. Yup, penyakit sialan yang sejak dulu menjakiti diri gue di tempat dan suasana baru. Asli, jujur, gue ngerasain ini. Ya, mungkin ini bagian dari berlebihannya mindset kalau gue berada di bawah mereka. Baik dari segi penampilan dan isi otak. Kendati gue siswa Bidikmisi, yang tentu saja semua orang sepakat, kalau orang-orang seperti kami ini bukan orang sembarangan, tapi hal itu tetep enggak membendung diri gue untuk enggak merasa minder.

Menjadi Peserta Terbaik Propti Mahasiswa Baru

See? Yak, gue ya ono, noh.

Ini sama sekali awkward. Apa yang spesial dari diri gue? Kenapa gue terpilih dari seribu lebih peserta lainnya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapaaaaa?

Gini, lo tahu enggak, acara propti yang tiga hari ini, utamanya adalah diisi dengan materi-materi yang disampaikan guna menggugah jiwa muda kami. Disampaikan oleh para pemateri yang setidaknya terdiri dari delapan narasumber yang sorry banget gue lupa siapa aja tetapi yang pasti ada Bapak ketua yayasan, Bapak Rektor, pihak dari BNN, pihak dari lembaga pendidikan di Lampung, serta perwakilan dari TNI. Selebihnya, gue lupa siapa-siapa aja. Dari mereka, banyak banget pesan dan informasi yang beliau-beliau paparkan. Misalnya, menyoal Literasi Baru, era revolusi 4.0, betapa pentingnya bela negara, tentang narkoba, dan beberapa hal penting lain yang sorry banget, sekali lagi gue lupa apa-apa aja. Dan, dari pemantik informasi dari beliau-beliau sekalian tersebut, kami dipersilakan untuk menanyakan seputar topik yang sedang dibicarakan. Banyak, dong dari kami yang getol nanya ini-itu. Bahkan acap kali sampai rebutan dan ada Maba yang malah enggak dapet kesempatan buat tanya. Duh, jadi kasiaan ….

Berangkat dari peran kami dengan mengutarakan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ternyata itu menjadi salah satu poin yang diperhitungkan untuk memilih siapa yang pantas menyandang siswa terbaik di propti ini. Jelas hal itu enggak semuanya kami ketahui. Dan gue, sebenarnya enggak memenuhi-memenuhi amat syarat tersebut. Heh, gue tanya itu kayaknya enggak lebih dari empat kali, loh. Gue lihat juga, ada beberapa tuh, yang itensitas tanyanya gencar banget, juga pertanyaannya yang jauh lebih berbobot.

Lalu, kok, gue yang kepilih?

Entahlah, mereka, para penyelenggara acara ini jelas yang tahu pasti jawabannya. Mungkin, ada bejibun aspek lain yang dilihat, yang sama sekali enggak kami ketahui apa itu.

Makanya, gue bener-bener enggak ngerti kenapa diri ini bisa terpilih. Sebelum pengumuman siapa siswa terbaik itu, beberapa jam ke belakang, gue memang dipanggil ke belakang, dibawa ke satu ruangan untuk menemui seorang dosen Sastra Inggris. Di situ, gue dikasih tahu untuk segera membuat teks pidato yang mewakili peserta putra atas kesan dan pesan terselenggaranya acara propti ini. What? Pidato? Gila, seumur-umur gue enggak pernah ngelakuin itu, Saudara-saudaraku sekalian. Pengalaman tampil di depan umum gue ketika sekolah dulu adalah menjadi pembaca doa di setiap upacara bendara di hari Senin. Sudah. Itu saja. Lebih gila lagi, gue disuruh bikin sendiri teksnya! Aiiiish, auto gupek gue. Lha gimana enggak bingung mau nulis apa, soalnya kendati gue suka nulis, tetapi gue terbiasa nulis fiksi, dan fiksinya tuh, ya, bener-bener fiksi. Contohnya ini. See? Perasaan enggak percaya diri pun makin kuat menghinggapi diri gue. Asli, gue enggak yakin sama diri sendiri.

Dan ketidakyakinan itu pun berbuah atas penampilan gue yang, yang, yang, (gue enggak sanggup ngomongnya), yang, mengecewakan. Teks yang gue tulis, enggak terbaca semua. Lebih parah, gue nyebut Bapak Rektor, padahal orangnya enggak ada. Lebih parah lagi, gue nyebut Universitas Indonesia! Alih-alih Universitas Teknokrat Indonesia! Gila, setelah turun dari podium, tulang gue rasanya meleleh, gue lemes, gue pengin keluar, gali tanah, terus ngubur diri sendiri karena saking malunya. Asli, gue enggak ada apa-apa dibanding perwakilan putri yang diwakilin sama salah satu temen Bidikmisi juga. Lha gimana enggak lebih baik? Dia pakai bahasa Inggris, ngomongnya lancar, tubuhnya enggak bergetar, enggak ada yang terlewat, dan mendapat tepuk tangan lebih meriah! Tamat sudah riwayat gue. Keringat bercucuran membasahi tubuh. Wajah merah padam. Kaki gemetar. Jantung rasanya anjlok ke lambung. Dan gue pengin nyemplung sumur.

Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, seharusnya gue patut bersyukur, dong. Gini, gini, dari sekian banyak Maba lainnya, yang terpilih adalah gue! Ini kesempatan yang bagus buat nunjukin personal branding gue, kan? Atau mungkin, Tuhan sedang menjalankan rencananya untuk kebaikan diri ini, sebab dengan terpanggilnya gue dan menyampaikan pidato di depan ribuan orang lainnya, gue jadi memiliki pengalaman dipermalukan. Dan hal itu dijadikan refleksi kalau ke depannya, gue enggak boleh mengulangi hal yang sama. Lebih dari itu, di kesempatan yang akan datang, gue harus lebih baik lagi, lagi, lagi, dan lagi. Gue harus mengatasi itu semua. Kekuarangan diri tersebut. Sampai, gue enggak lagi gemetaran, malu-maluin, mengecewakan, dan orang yang menyaksikan gue berbicara, akan bangga dan memandang kagum serta memberikan tepuk tangannya yang meriah.

Hari ini, acara propti itu sudah berakhir. Gue resmi menjadi mahasiswa, resmi memasuki dunia baru, dan gue dituntut untuk siap menghadapinya. Memang, gue tahu hari esok bakal lebih berat, tetapi bila hati penuh keyakinan dan diri ini mengerahkan segenap kemampuan untuk belajar, semuanya akan terlewati, bukan?

Ya ampun, lo baca sampai selesai tulisan ini? Heh, emang ada yang penting?

23. 45. WIB
Tanjung Bintang, 21 September 2019







Share:

Sunday, March 31, 2019

Kering

Hai, Melati. Matahari. Wahai, Pagi.
Kau tahu, aku kering. Kerontang datang makin sering. Rasa itu, seperti berpaling.
Aku kira benar, bahwa saat-saat terbaik yang dimiliki manusia adalah, ketika hati penuh bianglala, sisa hujan yang membuat dada kita basah, membasuh segala yang lalu, apa pun itu.
Dan kini, jangankan bianglala, mendung pun enggan datang. Sendang itu kering airnya.
Siklus itu mati. Terhenti.

31 Maret 2018
Share: