Sebelum membaca
lebih jauh, gue peringatin kalau apa yang tertulis di sini sungguh berpotensi
membuat lo bosan, nguap berkali-kali, bahkan memaki betapa enggak pentingnya
tulisan ini.
Nah, tapi kok ya
tetap dibaca, loh. Udah, sana-sana. Jauh-jauh. Tinggalin blog ini. Pergilah ke
ranah IG, Facebook, Twitter, atau ke manalah, yang jelas-jelas punya faedah
buat hidup lo. Eh, masih ngeyel baca? Udah, deh. Tulisan ini sungguh
enggak penting, enggak berguna, enggak ada tuh kata-kata motivasi apalah-apalah,
gue bukan Jack Ma, ya, Sis dan Agan
sekalian. Jadi, jangan masang ekspektasi tinggi atas tulisan ini.
Herannya, masih
aja ada yang baca sampai sini. Kok, kayaknya lo penasaran banget, sih! Heh, gue
bukan Raditya Dika, ya. Enggak ada
tuh tulisan gue bikin lo ketawa. Jadi, sebelum waktu beberapa menit lo terbuang
sia-sia, tinggalin deh blog ini. Pergi ke mana, kek. Stalking kating apa nge-WA-in teman seangkatan yang cakep,
kek. Nggosipin kucing bunting punya tetangga lo, kek. Atau ke manalah. Terserah.
Bener-bener,
dah. Kayaknya emang penasaran berat, nih. Sampai sini masih dibaca coba!
Oke, oke,
saudara senenek moyang Homo Sapiens yang
suka pusing ketika tanggal tua sekalian, karena lo masih mantengin tulisan ini, dengan rasa hormat setinggi tower Telkom,
gue ucapkan terima kasih. Terima kasih atas kesedian lo buat mampir ke blog
yang sempet mati suri ini. Terima kasih telah menjadi tamu terhormat di rumah
bagi kediaman tulisan-tulisan gue ini! Terima kasih. Terima kasih. Makaseeehhh!
XD
Baiklah, dengan
disaksikan debu jalanan di atas tanah gersang dalam kemarau berkepanjangan ini,
gue ucapkan selamat datang buat lo di tempat yang sedikit menggambarkan dunia
yang baru gue jejaki, datangi, dan yang ke depannya menjadi ranah petualangan,
mata air pengalaman, serta dimensi yang mempertemukan gue dengan banyak hal
baru yang sama sekali enggak terbayangkan sebelumnya.
Perlu diketahui,
tahun ini gue menjadi seorang Mahasiswa
Baru. Yap, di umur yang menginjak sembilan belas tahun ini, gue baru
menjejaki jenjang perguruan tinggi. For
your information aja, jadi tuh gue Gap
Year, gitu. Sebelumnya, gue sempet berniat memasuki dunia kerja pasca lulus
dari SMK, gue juga sempet mempersiapkan diri dengan memperdalam kemampuan di
bidang komputer dan bahasa Inggris di satu lembaga kursus untuk menajamkan
kualitas diri supaya dapat bersaing di kerasnya dunia kerja. Akan tetapi,
setelah melewati masa penggemblengan selama
kurang-lebih empat bulan tersebut, dan kepercayaan bahwa diri gue sudah cukup
mumfuni dan memiliki kecakapan, huh, ternyata gue masih dikalahkan oleh
kerasnya dunia ini, Saudara-saudara. Sungguh, diri ini masihlah tidak ada
apa-apanya. Penolakan demi penolakan, mampir lewat telepon yang mengabarkan
kabar horror, kalau gue … ditolak!
Sejak itu, gue
sempat frustrasi akan kemampuan diri gue. Betapa lemahnya diri ini, membuat gue
enggak percaya diri. Beberapa bulan gue menjadi manusia yang menutup diri dari
dunia luar. Beberapa kali gue pernah mikir buat mati, bunuh diri, bahkan
mempraktikkan self harm dengan
mukul-mukul kepala sendiri ketika tiba gue depresi akut dan merasa hidup ini enggak ada gunanya. Gila, kan? Ngeri, kan? Akan tetapi, di suatu kali, gue
teringat akan mimpi-mimpi gue. Dan di puncaknya, hal tersebut menumbuhkan
keyakinan, kalau hidup gue enggak berhenti sampai di sini, enggak berhenti cuma
di kamar, doang. Bila tetep kayak gitu, mau jadi apa gue ke depannya? Kalau terus-terusan berjibaku di dalam jurang
keputus-asaan, mana mungkin gue dapat membanggakan orang tua? Akhir, bak
cerahnya sang surya yang tersenyum di kala fajar, terbit pemikiran-pemikiran
kalau harapan untuk berubah, itu masih terbentang lebar. Perjalanan gue sebagai
manusia belum berakhir. Gue masih punya kesempatan untuk membelokkan arah nasib. dan mengubahnya ke arah yang lebih baik.
Gue Memilih Sastra Inggris
“Wahid, kamu
punya mimpi jadi apa?” tanya mentor gue kala masih di lembaga kursus itu ketika
kami terdampar di satu acara motivasi.
“Penulis, Sir!”
jawab gue lantang.
Itu sedikit
cuplikan yang gue alami ketika masih di proses penggemblengan diri. Hmm,
gini-gini, jadi tuh kendati gue masuk ke lembaga itu untuk mempersiapkan diri
supaya dapat bersaing di dunia kerja, perihal mimpi-mimpi ke depan enggak
dibatasi, di acara tersebut kami bebas menuliskan impian dan keinginan apa pun
yang ingin dicapai, kemudian membuat daftar step-step
untuk menggapainya. Dan seorang penulis, adalah satu-satunya impian yang
terbersit di dalam otak gue. Yup, kesukaan gue membaca karya sastra, lama-kelamaan menumbuhkan keinginan untuk turut serta menjadi seorang pengarang atau
penulis. Tetapi, saat itu, prioritas gue tetap gimana caranya bisa dapet
kerjaan, udah. Jadi, impian tersebut sementara gue sisihkan ke sudut lain, gue
abaikan sampai kelak bakal dilirik lagi bila waktu menghadirkan rencananya yang
tak terduga.
Kemudian, memang
benar adanya. Seperti yang gue bilang sebelumnya, impian tersebut menghinggapi
gue ketika diri ini masih berjuang dalam kejamnya perasaan frustrasi yang
menggerogoti tubuh. Teeng’ Impian
untuk menjadi penulis, muncul di benak dengan kuatnya, amat menggebu-gebu. Dan
hal itu, dipantik lagi ketika gue jatuh cinta dengan tokoh Amba di novelnya Laksmi
Pamuntjak yang berjudul sama: Amba. Sedikit tentang wanita hebat tersebut,
ia adalah seorang penerjemah lulusan Sastra Inggris UGM tahun ’60-an. Gue
bener-bener jatuh cinta sama dia. Tentang dirinya. Petualangannya. Bagaimana ia
menempuh pendidikannya. Membuat gue yakin, kalau gue harus jadi seperti dia.
Atau minimal, gue harus mengikuti jalannya di bidang tersebut. Alhasil, gue
jadi memantapkan diri, di tahun 2019 ini, gue harus kuliah, dan jurusan yang
gue ambil adalah Sastra Inggris.
Enggak sampai di
situ, selanjutnya, gue mulai tertarik di dunia edit-mengedit. Pengalaman
membantu mengedit cerita temen ternyata memiliki keasyikan tersendiri. Ditambah
lagi, gue pernah sekali membantu salah satu penerbitan indie buat mengeditori satu naskah novel. Berat memang. Kudu
teliti. Bahkan di beberapa waktu, gue sempet tinggalin dan enggak disentuh.
Tetapi, lagi-lagi, pengalaman itu memiliki keasyikan yang enggak kalah sama
proses menulis. Lebih dari itu, menjadi editor dituntut lebih peka, tajam
menginterpretasikan satu adegan, sabar, dan di punggungnya terpikul tanggung
jawab untuk menjadikan naskah tersebut layak diterima pembaca. Dan kelak, kalau
gue ingin menempuh jalur itu, salah satu syaratnya adalah menjadi orang dengan latar belakang lulusan Sastra.
Hmm, dari ketiga
pemantik itu, cukuplah bagi gue dijadiin alasan kenapa gue memilih jurusan ini.
Kenapa di Universitas Teknokrat Indonesia?
Sebab setahu
gue, di Lampung, kampus yang memiliki prodi
Sastra Inggris, ya universitas ini. Gue juga punya temen yang dulu
seangkatan yang lebih dulu masuk sini. Yah, tahulah, faktor supaya ada temennya itu sungguh-sungguh memengaruhi seseorang
apabila ia ingin masuk ke satu dunia yang sama sekali baru, intinya, biar
enggak dungu-dungu amat kayak orang ilang yang bingung enggak punya temen. (Anjir, ini gue ngomong apa, sih?)
Udah, langsung
alasan berikutnya. Dan itu adalah, karena universitas ini menyediakan jalur Bidikmisi
yang kalau tembus, Masya Allah, Akhi-Ukhti sekalian, sungguh-sungguhlah
menggiurkan bagi kantong kaum jelata nan misquen
ini. XD.
Alhamdulillah-nya,
gue yang jadi salah satu orang beruntung, sebab tiket bidikmisi tersebut jatuh
ke tangan … gue! Masya Allah ….
|
Ini Foto Bersama anak-anak Bidikmisi 2019. Gue yang kedua dari kanan, cowok paling pendek itu. |
Enggak sampai di
situ, Saudaraku setanah air yang suka ngamuk kalau kuota habis sekalian, sebab di universitas ini, gue
dipertemukan kembali dengan dua orang temen terbaik yang sempet terpisah di
bangku menengah atas soalnya kami beda sekolah. Takdir itu terkadang punya
selera humor yang tinggi, ya. Ini, loh, kami dipertemukan di tempat yang sama,
dengan kondisi yang sama-sama, pula (baca: Gap
Year).
Masya Allah ….
|
Formasi aslinya empat orang, but, satunya lagi melancong ke Jogja. |
Tentang Acara Propti
Gila, lo masih
betah baca tulisan ini? Emang penting, gitu? Enggak, kan? Udah, sana-sana.
Udahan aja.
Lah, masih
ngeyel. Ya udah, gue lanjutin, deh.
Jadi, propti ini
akronim dari Program Orientasi Pendidikan
Tinggi (catet! Kali aja ada yang enggak tahu). Kebetulan, gue kebagian gelombang kedua, sebab beberapa
bulan silam Universitas Teknokrat Indonesia udah lebih dulu menggelar acara
serupa.
Acara ini
digelar selama tiga hari, 19-21 September 2019. Dilangsungkan di gedung GSG
universitas tercinta, dengan semilir angin dari kipas yang sialnya enggak
menyeluruh menjangkau tubuh-tubuh yang mengenaskan dililit gerah dan rasa
panas. Auto kipas-kipas sendiri ….
Mau tahu apa
perasaan gue ketika dipertemukan sama Maba
lainnya?
Jawabannya
adalah, minder. Yup, penyakit sialan yang sejak dulu menjakiti diri gue di
tempat dan suasana baru. Asli, jujur, gue ngerasain ini. Ya, mungkin ini bagian
dari berlebihannya mindset kalau gue berada di bawah mereka. Baik dari segi penampilan dan isi otak.
Kendati gue siswa Bidikmisi, yang tentu saja semua orang sepakat, kalau
orang-orang seperti kami ini bukan orang sembarangan, tapi hal itu tetep enggak
membendung diri gue untuk enggak merasa minder.
Menjadi Peserta Terbaik Propti Mahasiswa Baru
|
See? Yak, gue ya ono, noh. |
Ini sama sekali awkward. Apa yang spesial dari diri gue?
Kenapa gue terpilih dari seribu lebih peserta lainnya? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Kenapaaaaa?
Gini, lo tahu
enggak, acara propti yang tiga hari ini, utamanya adalah diisi dengan
materi-materi yang disampaikan guna menggugah jiwa muda kami. Disampaikan oleh
para pemateri yang setidaknya terdiri dari delapan narasumber yang sorry banget gue lupa siapa aja tetapi
yang pasti ada Bapak ketua yayasan, Bapak Rektor, pihak dari BNN, pihak dari
lembaga pendidikan di Lampung, serta perwakilan dari TNI. Selebihnya, gue lupa
siapa-siapa aja. Dari mereka, banyak banget pesan dan informasi yang
beliau-beliau paparkan. Misalnya, menyoal Literasi Baru, era revolusi 4.0,
betapa pentingnya bela negara, tentang narkoba, dan beberapa hal penting lain
yang sorry banget, sekali lagi gue
lupa apa-apa aja. Dan, dari pemantik informasi dari beliau-beliau sekalian
tersebut, kami dipersilakan untuk menanyakan seputar topik yang sedang
dibicarakan. Banyak, dong dari kami yang getol
nanya ini-itu. Bahkan acap kali sampai rebutan dan ada Maba yang malah enggak dapet kesempatan buat tanya. Duh, jadi kasiaan ….
Berangkat dari
peran kami dengan mengutarakan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ternyata itu
menjadi salah satu poin yang diperhitungkan untuk memilih siapa yang pantas
menyandang siswa terbaik di propti ini. Jelas hal itu enggak semuanya kami
ketahui. Dan gue, sebenarnya enggak memenuhi-memenuhi amat syarat tersebut.
Heh, gue tanya itu kayaknya enggak lebih dari empat kali, loh. Gue lihat juga,
ada beberapa tuh, yang itensitas tanyanya gencar banget, juga pertanyaannya
yang jauh lebih berbobot.
Lalu, kok, gue
yang kepilih?
Entahlah,
mereka, para penyelenggara acara ini jelas yang tahu pasti jawabannya. Mungkin,
ada bejibun aspek lain yang dilihat, yang sama sekali enggak kami ketahui apa
itu.
Makanya, gue
bener-bener enggak ngerti kenapa diri ini bisa terpilih. Sebelum pengumuman
siapa siswa terbaik itu, beberapa jam ke belakang, gue memang dipanggil ke
belakang, dibawa ke satu ruangan untuk menemui seorang dosen Sastra Inggris. Di
situ, gue dikasih tahu untuk segera membuat teks pidato yang mewakili peserta
putra atas kesan dan pesan terselenggaranya acara propti ini. What? Pidato? Gila, seumur-umur gue
enggak pernah ngelakuin itu, Saudara-saudaraku sekalian. Pengalaman tampil di
depan umum gue ketika sekolah dulu adalah menjadi pembaca doa di setiap upacara
bendara di hari Senin. Sudah. Itu saja. Lebih gila lagi, gue disuruh bikin
sendiri teksnya! Aiiiish, auto gupek gue.
Lha gimana enggak bingung mau nulis apa, soalnya kendati gue suka nulis, tetapi
gue terbiasa nulis fiksi, dan fiksinya tuh, ya, bener-bener fiksi. Contohnya ini. See? Perasaan enggak percaya diri pun makin kuat menghinggapi diri
gue. Asli, gue enggak yakin sama diri sendiri.
Dan
ketidakyakinan itu pun berbuah atas penampilan gue yang, yang, yang, (gue
enggak sanggup ngomongnya), yang, mengecewakan.
Teks yang gue tulis, enggak terbaca semua. Lebih parah, gue nyebut Bapak
Rektor, padahal orangnya enggak ada. Lebih parah lagi, gue nyebut Universitas
Indonesia! Alih-alih Universitas Teknokrat Indonesia! Gila, setelah turun dari
podium, tulang gue rasanya meleleh, gue lemes, gue pengin keluar, gali tanah,
terus ngubur diri sendiri karena saking malunya. Asli, gue enggak ada apa-apa
dibanding perwakilan putri yang diwakilin sama salah satu temen Bidikmisi juga.
Lha gimana enggak lebih baik? Dia pakai bahasa Inggris, ngomongnya lancar,
tubuhnya enggak bergetar, enggak ada yang terlewat, dan mendapat tepuk tangan
lebih meriah! Tamat sudah riwayat gue. Keringat bercucuran membasahi tubuh.
Wajah merah padam. Kaki gemetar. Jantung rasanya anjlok ke lambung. Dan gue
pengin nyemplung sumur.
Akan tetapi,
setelah dipikir-pikir, seharusnya gue patut bersyukur, dong. Gini, gini, dari
sekian banyak Maba lainnya, yang
terpilih adalah gue! Ini kesempatan yang bagus buat nunjukin personal branding gue, kan? Atau
mungkin, Tuhan sedang menjalankan rencananya untuk kebaikan diri ini, sebab
dengan terpanggilnya gue dan menyampaikan pidato di depan ribuan orang lainnya,
gue jadi memiliki pengalaman dipermalukan. Dan hal itu dijadikan refleksi kalau
ke depannya, gue enggak boleh mengulangi hal yang sama. Lebih dari itu, di
kesempatan yang akan datang, gue harus lebih baik lagi, lagi, lagi, dan lagi.
Gue harus mengatasi itu semua. Kekuarangan diri tersebut. Sampai, gue enggak
lagi gemetaran, malu-maluin, mengecewakan, dan orang yang menyaksikan gue
berbicara, akan bangga dan memandang kagum serta memberikan tepuk tangannya
yang meriah.
Hari ini, acara
propti itu sudah berakhir. Gue resmi menjadi mahasiswa, resmi memasuki dunia
baru, dan gue dituntut untuk siap menghadapinya. Memang, gue tahu hari esok
bakal lebih berat, tetapi bila hati penuh keyakinan dan diri ini mengerahkan
segenap kemampuan untuk belajar, semuanya akan terlewati, bukan?
Ya ampun, lo
baca sampai selesai tulisan ini? Heh, emang ada yang penting?
23. 45. WIB
Tanjung Bintang, 21 September 2019