https://picsart.com/i/image-309398786124201 |
Ya, silakan
menghujat saya selagi ini masih di paragraf awal. Tidak apa-apa. Saya paham
benar, kalau judul di atas bakal memancing hujatan untuk saya. Lho, mana ada tidak ada pembaca buku di
perpustakaan? Sampeyan ngawur, ya?! Saya kira, kurang lebih, begitulah
kata-kata yang dilayangkan pembaca tulisan ini.
Saya tidak akan
marah. Akan tetapi, izinkanlah saya meluruskan dan menjelaskan duduk perkara dan
maksud dari judul tersebut. Begini, jelas bukan tanpa alasan judul di atas saya
ambil. Sebab, asal tahu saja, saat ini, saya memiliki kewajiban kepada
perpustakaan universitas XYZ—karena saya mahasiswa penerima bidikmisi,
sehingga, hampir tiap hari saya berada di sana manakala saya memiliki jam
kosong dan tidak ada kegiatan apa-apa. Selama menjadi pustakawan—ah, sebenarnya
label itu masih belum bisa saya sandang, mau tidak mau saya terbiasa
memerhatikan suasana perpustakaan, sampai perihal pengunjung dan apa saja yang
mereka lakukan di sana. Dan saya tidak bisa untuk tidak merasa gemas akan
beberapa hal yang saya dapati. Berangkat dari hal tersebut, judul itulah yang
saya pilih.
Dari pengamatan
saya, ada beberapa tipe pengunjung perpustakaan yang saban hari menyambangi
perpustakaan kami. Tipe pertama, adalah mereka yang datang dengan tujuan paling
umum, yakni mengerjakan tugas. Tipe kedua, adalah mereka yang datang sekadar
berkumpul, mengobrol, dan ber-haha-hihi.
Tipe ketiga, yang terakhir sekaligus yang membuat gemas, adalah mereka yang
datang untuk bersantai, menikmati dingin AC,
bahkan bermain game online. Nah, ada
yang janggal, bukan? Benar sekali, tidak ada tipe yang lazimnya jamak kita
dapati di sebuah perpustakaan: Pembaca buku.
Bukanya sama
sekali tidak ada yang membaca buku, hanya saja, keberadaan mereka, amat jarang
saya dapatkan menempati satu kursi dengan wajah damai dalam petualangan
imajinasi. Sebenarnya, saya tak terlalu yakin, hal ini sebuah masalah atau
bukan. Sebab, sebagaimana segenap aspek kehidupan kita yang banyak berubah satu
dekade ini, dan teknologi saat ini menjadikan tipikal manusia yang sama sekali
lain dari zaman orang tua saya dahulu. Pun saya barangkali salah, pengamatan
saya terlalu dangkal, atas sebuah gaya hidup di sebuah perpustakaan di zaman
modern ini yang tak hanya diisi oleh pembaca buku. Itu mungkin bisa dibenarkan,
dan apa yang saya dapati adalah hal yang wajar di zaman ini. Perpustakaan saat
ini, melewati makna namanya sebagai pustaka atau gudang ilmu dengan buku
sebagai ujung tombaknya.
Yah, tentu saja
saya menyadari hal tersebut, dan saya toh tak bisa menyalahkaan siapa-siapa.
Kesadaran akan betapa pentingnya mengangkat martabat sebuah perpustakaan saya
rasa mesti disadari oleh masing-masing individu. Perpustakaan kami bukannya tak
memiliki aturan, atau tidak ada larangan-larang. Namun, sampai ke tingkat
melarang seseorang berkumpul, ber-haha-hihi,
atau bermain game online, saat ini
memang belum diberlakukan. Imbauan untuk tak berisik tentu saja bisa menjadi
penguat manakala saya menegur seseorang atau kelompok dengan dua kasus pertama.
Akan tetapi, bila sampai menegur mereka yang melakukan kasus ketiga, mental
saya menjadi ciut. Benar memang mereka merusak pemandangan di dalam
perpustakaan, berkumpul di sudut dengan pandangan penuh ke layar ponsel.
Tetapi, hei, mereka diam semua. Mereka seolah menempati gelembung mereka
masing-masing. Saya tak sampai hati menegur mereka. Memang saya siapa? Apa
kewenangan saya?
Atas semua hal
tersebut, saya kerap merindukan perpustakaan yang memiliki suasana tenang dengan
para pengunjungnya yang memiliki adab memperlakukan perpustakaan dengan baik,
dan mereka yang menyelami sebuah buku menjadi jamak didapati. Aneh, padahal
perpustakaan kami cukup banyak memiliki koleksi buku-buku sastra yang melimpah,
mengingat universitas yang menaungi memiliki program studi Sastra Inggris. Tak
tanggung-tanggung empat rak besar yang dipenuhi buku-buku sastra klasik dan kontemporer dari
pengarang-pengarang hebat. Akan tetapi, tiap kali saya menengok mereka dari rak
satu ke rak lainnya, tingkat satu ke tingkat lainnya, buku ke buku, hati saya
tidak bisa untuk tidak merasa miris. Sebab mereka ada yang berdebu, plastik
pembukusnya lengket satu sama lain, dan ketika melihat riwayat peminjaman di
halaman belakang, yang didapati adalah mereka dipinjam dua, tiga, atau bahkan
empat tahun yang lalu!
Saya tidak bisa
membayangkan, betapa sedihnya Leo
Toelstoy, Edgar Allan Poe, Jane Austen, Franz Kafka, Ernest Hemingway, dan
segenap penulis lainnya ketika menyaksikan karya mereka seperti dianggap barang
usang dari masa lalu. Tidak menarik. Kalah dengan kilau teknologi yang lebih
berwarna.
Apakah ini
karena krisis literasi yang sampai sekarang masih menjerat sebagian besar
masyarakat kita? Adalah ketika apa yang terpampang di dunia maya lebih menarik
ketimbang membalik halaman demi halaman sebuah buku. Perpustakaan kami,
sekarang ini bukan lagi diisi mereka-mereka yang hendak menyelami sebuah kisah
atau berdiskusi tentang ilmu (sungguh, itu jarang sekali), lebih dari itu,
suasana tersebut seperti jauh tertinggal di belakang. Perpustakaan kami seperti
kehilangan jati dirinya. Mungkin, karenanya, mereka yang hendak melakukan ibadah
membaca buku, merasa perpustakaan kami bukan lagi tempat yang ideal. Bukan lagi
tempat yang tenang dan senyap.
0 comments:
Post a Comment