Dimuat di Radar Cirebon edis Sabtu, 18 Juli 2020.
Judul : Cadl (Sebuah Novel Tanpa Huruf
E)
Penulis :
Triskaidekaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Maret, 2020
ISBN : 978-602-06-3958-1
Tebal : 300 Halaman
Untuk kasih hormat pada buku, maaf, ulasan ini ditulis
tanpa Huruf Itu.
Bayangkan, ada
diktator kasih kalian atur-atur urusan hidup, sampai-sampai hajat bicara pun ia
pantau; huruf, kata, atau frasa pilihan dilarangnya, tanpa pilih-kasih kita
punya nama, salah adalah salah, hukuman di hadapan mata kalau kita langgar itu
aturan. Batas-batas itu adalah nyata. Kita tahu satu-dua ada adikuasa lakukan
praktik macam itu di bawah kolong langit ini. Dan hampir pasti, hidup macam itu
sungguh bukan yang kita harapkan, adanya batasan jadikan kita acap sukar ambil
langkah. Kita takut dan was-was. Bayangan hukuman cukup jadi muasal rasa-rasa
itu.
Praktik macam
itulah yang dirasakan warga Wiranacita. Hidup itu orang-orang dilingkupi ragam
maklumat rumit dan tak masuk akal. Bagaiman mulanya? Nah, di sinilah ada satu
nama yang canangkan ragam aturan bagi rakyatnya itu, dan ia adalah Zaliman Yang
Mulia. Ditaktor ini limpahkan aturan, bahwa Huruf Itu—maksudnya vokal yang bisa
dibaca pakai dua cara: taling dan biasa—dilarang ada dalam wujud apa pun, baik
surat, buku, iklan, bahkan spanduk di pinggir jalan.
“Ini tidak bisa ditunggu lagi, Ivan. Kita akan
umumkan maklumat itu siang ini. Huruf Itu harus musnah dari bumi ini. Tidak
bisa tidak.” Inilah titah yang
disampaikan pada tangan kanannya, Ivan Barbarov.
Ihwal maklumat
tadi, itu adalah lanjutan dari aturan dilarangnya kata makian, frasa kotor, dan
nama binatang dalam akta lahir warga Wiranacita. Apa mulanya? Ini adalah masalah masa lalu dari
Zaliman Yang Mulia, ia punya kaitan sama huruf dan kata-kata itu.
Dan tak makan
waktu lama, aturan lain datang. Kali ini adalah maklumat yang punya hubungan sama
buku puisi. Usut punya usut, buku puisi karangan Bagus Prihardana yang punya
judul Cadl ini, dinilai sangat bisa
datangkan bahaya bagi adikuasa Zaliman Yang Mulia. Maka, diutusnyalah Sang
Ajudan Baca Tulis yang juga tangan kanannya—Ivan Barbarov—untuk cari dan
musnahkan ini buku, turut pula dihukum siapa saja yang didapati miliki buku
itu. Tiang gantungan jadi ganjarannya.
Dimulai dari
sana, masalah buku puisi tadi jadi motor utama kisah di dalam buku ini. Dituturkan
dalam anggitan yang acak, pindah-pindah dari tahun satu, lalu tahun lainnya,
kisah dari tokoh satu, lalu tokoh lainnya, rahasia pun lamat-lamat dikuakkan
sampai tokoh utama muncul dan masuk dalam kisah. Dan ia adalah Lamin Lanjarjati,
laki-laki biasa yang masuk dalam putaran politik antara Zaliman, buku puisi,
dan konspirasi.
Laki-laki itu
awalnya tak tahu apa pun, tapi tatkala di satu waktu ia dihadapkan sama citra
buku puisi itu, ia tak bisa tahan gairah tanya dalam dirinya. Ia buru buku
puisi itu. Mati-matian ia upayakan kulik siapa itu si Bagus Prihardana.
Omong-omong, apa
dampak yang dibawa buku puisi itu, sih? Muatannyalah yang jadi masalah, buku
itu punya daya untuk bangkitkan darah dalam tubuh rakyat Wiranacita. Alhasil,
itu buku masuk dalam Buku-buku Kiri, yang bisa datangkan bahaya, pula artinya
buku-buku yang amat dilarang Zaliman Yang Mulia. Ditakutkan, itu bisa jadi api
yang bakar jiwa-jiwa rakyatnya, yang sangat mungkin lakukan makar dan gulingkannya
dari kursi pimpinan.
Adapun hal lain
yang buat Zaliman khawatir, juga tadi disinggung di awal, buku puisi itu punya
ikatan sama masa lalunya. Dan ia tak mau itu rahasia bocor dihadapan rakyatnya.
Maka, tahunan ia buru buku puisi itu. Ia libatkan pasukan Pasukan Baju Hijau
yang tak pandang bulu dalam misi untuk capai tujuan tuannya. Ia pula yang
dilawan Lamin malang itu. Laki-laki yang punya bisnis pisang itu tak sadar, ia
sudah masuk intrik pimpinannya yang rumitnya bak jahitan kain.
Itulah, gambaran
inti dari buku ini, yang baru satu usia jagung dipaparkan. Aslinya, ada banyak
tokoh yang dilibatkan. Orang-orang ini punya kaitan tak diduga satu sama lain.
Yang ditubrukkan oleh kuasa bobrok, ironi masyarakat miskin ilmu, dan
konspirasi politik busuk yang kasih rugi banyak pihak.
Tak bisa
dimungkiri, buku ini bisa dipandang buat olok-olok bagi adikuasa diktator di
dunia nyata. Dan soal Wiranacita, ini agaknya satir bagi kuasa pimpinan kita. Adikuasa
yang kasih kita naungan ini kan tak lurus-lurus saja, bahkan ada satu masa yang
bobroknya tak kira-kira. Mari kita ingat-ingat lagi, ada orang-orang yang
dihilangkan paksa, larangan Buku-buku Kiri, abdi pimpinan yang kasih tabur
kabar hoaks, masyarakat yang darahnya
mudah dididihkan, dan rasa frustrasi atas laku kuasa yang ujung-ujungnya bikin
orang bunuh diri, adalah bagian-bagian dari hal bobrok yang di satu masa—atau
masih—kita hadapi.
Ada pula,
sindirian bagi kita yang tak buka mata soal ilmu dan bahasa. Itu dituangkan
dalam jalinan kisah. Pun alusi tokoh Ivan Barbarov, yang jadi Sang Juru Baca
dan Tulis, akan wajar bila di dalam otak kita, muncul tokoh yang dalam ilmu
bahasa kita tak asing itu. Laiknya bandul yang kasih goncang diri, kita pandang
upayanya dalam kisah buku ini, dan sadar agaknya mirip sama yang ada di dunia
nyata.
Akhirnya, yang
malang musti tunduk sama yang punya kuasa. Lalu yang adikuasa, toh waktu tak
diam saja, ada hantu-hantu masa lalu yang bisa jadi racun dan tumbangkan
lamat-lamat ia dalam lautan rasa salah. Kuasa manusia bak roda yang tak ada
ujung. Hilang satu, ada orang lain bisa gantikan lagi. Walaupun, suka sial pula
rakyatnya dapat pimpinan yang tak punya ilmu dan kapabilitas buat jadi pimpinan
yang baik. Ya, itu bisa kita lihat dari buku yang ditulis tidak biasa ini.
0 comments:
Post a Comment