Saturday, January 18, 2020

Tempat Paling Sunyi: Palung dengan Ragam Kesunyian di Dalamnya



“Ia rela bersakit-sakit dan menelan air mata sendiri, tanpa memiliki kuasa untuk menunjukkan penderitaannya tersebut.”

Membaca Tempat Paling Sunyi ini, seperti menyelami perkara betapa manusia sesungguhnya tak ada apa-apanya bila berurusan dengan cinta. Cinta, dalam kaitan eratnya pada sebuah hubungan, acap menjadi muasal segala perkara pelik yang menyiksa. Cinta, setidaknya yang terdedah di buku ini, adalah jangkar yang membawamu ke palung yang sesaknya tak terperi. Ia mengantarkanmu pada muara keputus-asaan. Kekecewaan. Tindak kekejaman. Dan ruang berduri serta alasan terkuat untukmu berniat bunuh diri.
           
Perkara cinta  tersebut bukanlah sesuatu hal yang dilebih-lebihkan. Lewat Tempat Paling Sunyi, si penulis—Arafat Nur, hendak menunjukkan sedikit polemik dari banyak hal pelik di kehidupan manusia dalam menghadapi perkara cinta. Dituturkan sebagai cerita di dalam cerita—sekaligus penggabungan peran, sebab di bagian seperempat akhir terdapat bagian bertemunya si narator dengan tokoh-tokoh cerita—kisah ini dimulai atas sebuah keluarga, pasangan Mustafa dan Salma.

Pasangan tersebut tinggal di kota Lamlhok, sebuah daerah kecil di kota Aceh. Adalah Mustafa, lelaki yang selama delapan tahun berpindah dari tempat ke tempat. Sebab selepas tamat sekolah menengah atas, hidupnya bagai kelana sepi tak berujung. Ia lelaki yang cerdas sebenarnya, kendati nilai kelulusannya tak terlalu besar. Kecerdasan di sini mengacu pada pengetahuannya yang bisa dibilang cukup luas, juga keterkaitannya terhadap buku. Ia mencintai kasusastraan dan kegiatan menulis novel sering ia lakukan di sela waktu kerjanya, sebagai juru ketik di Lamlhok Computer. Kelak, novel pulalah yang juga memicu derai penderitaannya.

Pertemuannya dengan Salma terjadi tanpa sengaja. Mereka bertemu di sebuah kedai bilangan Hagu di suatu siang pada tahun 1994. Komunikasi keduanya bermula ketika Mustafa tahu-tahu menanyakan pendapat Salma mengenai novel. Dan kala Salma menjawab, “Novel adalah dunia yang tak pernah mati-mati!” Saat itu Mustafa yakin, ia telah bertemu gadis cerdas, anomali dari kebanyakan orang-orang di tempat itu yang masih dibilang kolot dan nol besar soal peduli atas karya sastra.
           
Dari pertemuan kecil tersebut, keduanya pun menjadi sering untuk bersua kembali. Hubungan Mustafa dan Salma kiat dekat. Terkhusus bagi Mustafa, Salma adalah gadis langka yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Sementara di mata Salma, Mustafa adalah bujang ideal sebab selain baik budinya, ia meyakini pekerjaan Mustafa yang akan mencukupi kehidupan rumah tangga mereka. Terlebih ibunya, Syarifah, pun setuju atas hubungan mereka. Kendati ia tahu fakta bahwa Mustafa sebatang kara—perkara profesi Mustafalah yang membuatnya yakin.

Akan tetapi, Mustafa salah. Nyatanya Salma adalah gadis bodoh yang kebetulan saja melontarkan perkataan cerdas. Gadis itu persis ibunya, mewarisi tabiat kolot dan dungu manusia pada zaman itu. Ialah mereka yang jauh dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan hanya peduli tentang kemewahan serta harga diri. Kelak ia begitu menyesali keputusannya menikahi gadis itu. Berangkat dari kedunguan istrinya, rumah tangga Mustafa kerap diguncang cekcok keras, kendati hanya bermula dari perkara remeh-temeh. Pun ada perkara lain, bahwa yang tak diketahui Salma dan ibunya, adalah pekerjaan Mustafa yang sebenarnya seorang juru ketik. Selama beberapa waktu, mereka meyakini Mustafa seorang pegawai pemerintah, sebab penampilan sehari-harinya ketika berangkat kerja adalah bercelana jins dan berkemeja rapi—penampilan para pegawai negeri di zaman itu yang jamak didapati. Atas prasangka demikian, Salma kerap meminta kehidupan yang lebih mewah. Memiliki banyak perabot. Memanjakan diri berbelanja. Dan sering pergi jalan-jalan. Namun, Mustafa jelas sukar mengabulkan tuntutan istrinya tersebut. Dari situlah acap menjadi pemicu pertengkaran mereka. Salma yang terbiasa hidup enak sebab ayahnya yang telah meninggal adalah seorang yang amat berkecukupan, sulit menerima kenyataan suaminya yang sesungguhnya miskin. Ditambah lagi, Salma sering menuding Mustafa dengan tudingan yang bukan-bukan. Semisal anggapannya bahwa Mustafa menggelapkan gajinya, sampai tuduhan bahwa suaminya itu memakai gajinya sebagai bekal buat main serong bersama perempuan lain.
           
Hubungan rumah tangga yang lebih banyak diisi dengan pertengkaran tersebut, membuat Mustafa merasa seperti masuk liang neraka. Atas kedunguan istrinya, ia kerap memaki perempuan itu dengan “Keledai”, umpatan yang malah acap ia ucapkan menjadi “Kedelai”. Sementara Syarifah, alih-alih diharapkan menjadi pihak penengah, ia justru selalu membela putrinya. Kendati dalam banyak persoalan, menunjukkan bahwa Salma-lah biang dari masalah di antara mereka. Sehingga telaklah penderitaan Mustafa di hadapan dua perempuan yang hanya mementingkan ego masing-masing itu.
           
Barangkali, Mustafa akan menderita selamanya, dan ia tak memiliki kesempatan baginya untuk menulis novel sebab sikap istrinya yang tak mendukung sama sekali,  kalau saja ia tak bertemu dengan seorang gadis jelita, Riana namanya. Gadis itu awalnya adalah pelanggan di tempatnya bekerja. Seorang anak kuliahan sekaligus guru sekolah dasar. Bertemu dengan Riana, bagi Mustafa seperti mimpi yang terulang manakala dahulu ia kali pertama bertemu Salma. Ia terpukau. Perasaannya luluh. Dan kelak jatuh penuh dalam pelukan gadis itu. Yang lantas, perkara ini menjadi pemicu paling hebat dari pertengkarannya bersama Salma.
           
Salma yang selalu berprasangka buruk. Salma yang mudah terpancing. Salma yang bermulut runcing. Dan Salma-salma bertabiat buruk lainnya mengisi kepala Mustafa. Yang kemudian menjadikan dirinya benar-benar meninggalkan perempuan itu. Ia menjalin hubungan bersama Riana. Pergi berbulan-bulan lamanya. Mengabaikan istrinya. Demi perasaan hatinya yang ingin terbebas, tetapi sebenarnya menuju hulu derita lainnya.

***

Begitulah kisah buku ini menggulirkan prahara sebuah keluarga di masa-masak pelik negeri, di masa ketika pemberontak merajalela, pembunuhan di mana-mana, dan kabar kematian banyak orang yang kelewat biasa didengar. Sebenarnya, novel ini adalah gubahan si narator atas catatan-catatan Mustafa dan penuturan teman dekat lelaki itu atas kisah malang hidupnya dalam membina keluarga. Pendek kata, novel ini adalah penulisan ulang dari novel yang ditulis oleh Mustafa dengan judul yang sama. Persinggungan si narator dengan kehidupan Mustafa bukan pula disengaja. Awalnya si narator hanya berkunjung di kota Lamlhok, ia mampir di salah satu kedai, kemudian bertemu salah seorang teman Mustafa, dan mendengar perihal lelaki yang gemar menulis novel itu. Dari situ, timbul rasa penasaran atas kehidupan Mustafa, yang juga turut menyeret si narator dalam polemik kisah di buku ini. Ia masuk ke dalam cerita. Menelusuri jejak novel yang ditulis Mustafa sekaligus mengantarkanya kepada si jelita itu, Riana. Kelak keduanya menjalin hubungan rumit di samping kisah Mustafa dan Salma.
           
Pertanyaannya kemudian, di mana Tempat Paling Sunyi itu? Awalnya, judul itu dipakai untuk novel buah karya Mustafa, novel yang merepresentasikan kehidupannya. Tempat Paling Sunyi, dalam hidup Mustafa adalah keadaannya yang sering teralienasi dalam rumah tangganya sendiri. Di sini terlihat praktik yang bertendensi matriarki mengemuka dalam rumah tangga Mustafa. Dominasi istrinya, Salma, menjadi kentara dan menuntut Mustafa untuk lebih sering mengalah. Jauh sebelum adanya pertengkaran sengit, Mustafa kedapatan memilih mengalah ketika berdebat dengan istrinya. Dominasi ini pun kian diperkuat dengan figur mertua Mustafa. Keterlibatan Syarifah dalam persoalan keluarganya, semakin menegaskan kedudukan lelaki itu yang tak memiliki pegangan apa-apa. Di samping itu, sunyi di sini adalah penderitaan Mustafa dalam upayanya membina keluarga yang ia rasa gagal. Ia menginginkan perceraian, tetapi juga sukar ia realisasikan tersebab kondisinya sungguh tak memungkinkan. Gengsi masih menguasai sebagian diri Mustafa. Ia mengerti, dengan menceraikan Salma, sama saja sebagai bentuk legitimasi atas ketidakberdayaannya membina keluarga. Hal tersebut ia takutkan menebalkan citra buruk atas dirinya. Masyarakat akan menganggapnya sebagai lelaki yang gagal. Dan bukan tidak mungkin, menjalin keluarga baru adalah satu dari ketidakmungkinan dalam hidupnya.
           
Tempat Paling Sunyi pula dimiliki ketiga tokoh utama lainnya, yakni Riana, Salma, dan si narator. Dalam hidup Riana, hal tersebut direpresentasikan lewat satu bagian hidupnya ketika menjalin hubungan bersama Mustafa. Adalah di kala ia mesti merelakan Mustafa pulang ke pelukan Salma, sementara ia tak bisa mencegah secara langsung tindakan tersebut. Tempat Paling Sunyi bagi Riana ialah bentuk cintanya pada lelaki itu. Ia rela bersakit-sakit dan menelan air mata sendiri, tanpa memiliki kuasa untuk menunjukkan penderitaannya tersebut.

Sementara itu, di kehidupan Salma, Tempat Paling Sunyi ialah tatkala ia hidup sendiri tanpa Mustafa di sisinya dalam jangka waktu yang tak sebentar. Ia menjalani kehidupan seorang diri selepas kepergian suaminya di suatu masa. Hal demikian kiranya menjadi sisi terberat hidupnya. Sebab ia mesti menelan pil pahit atas ketidakmampuan dirinya mencegah Mustafa pergi. Dan fakta bahwa di suatu masa, hidup bersamanya bagi seorang Mustafa, adalah palung neraka yang menerakan derita tak terperi.
           
Benar adanya tiap orang memiliki Tempat Paling Sunyi-nya masing-masing, begitulah yang diyakini si narator kita. Serupa dengan tiga tokoh sebelumnya, si narator ini pula terjerat dalam jaring laba-laba berisi kesunyian dan sakit hati. Adalah di satu masa, tatkala persinggungannya semakin dalam dengan salah satu tokoh kita, Riana, kenyataan menempatkanya dalam ruang berduri itu.

***
Benar, membaca buku ini seperti tamasya dalam mengikuti Tempat Paling Sunyi tokoh-tokohnya. Ada pembenturan seberagam watak manusia di dalamnya. Kesalahpahaman. Perkara kecil yang dibesar-besarkan. Betapa cinta meluluhlantakkan segalanya. Dan rekaman kecil dari sebuah kisah di masa-masa sulit sebuah negeri—ingat, latar kisah ini di masa pemberontakkan GAM. Di samping itu, novel ini pula tak lepas dari manisnya sebuah cinta. Sebab di samping pendedahan perkara yang pedih, terdapat juga sisi manis yang membuat bibir menyungging senyum. Betapapun hal tersebut acap tertutupi, tapi tak dinyana, hal demikian tak membuat kita jengah atas melulunya persoalan pelik yang disodorkan. Ia hadir serupa tone cerita untuk memancing pembaca berpikir, “Beginilah hidup, tak seluruhnya kita berhadapan dengan penderitaan.”

Novel ini menjadi penting untuk dibaca. Sebab selain hal-hal yang sudah terjelaskan sebelumnya, di dalam kisah ini pula seseorang bisa belajar sedikit mengenai hakikat membina keluarga. Novel ini hadir seperti sentilan atas realita di masyarakat dalam membina keluarga, atas perkara-perkara yang sebetulnya tak usah diperkarakan, pentingnya nilai kepercayaan, sikap menarik ego, dan betapa hidup berkeluarga harus dimulai dari pengenalan satu sama lain yang intens, yang clear, sehingga bila di kemudian hari terdapat kesalahpahaman, ia bisa diperbaiki sebab sebuah pasangan sudah mengenal dengan baik, kemudian tahu bagaimana untuk mendamaikannya.

Namun demikian, seperti halnya buku-buku lain yang tak sempurna, novel ini memiliki kelemahan di bagian narasi yang di beberapa tempat diulang-ulang. Sungguh perulangan yang tak diperlukan. Ia menjadikan cerita yang kurang padat. Terdapat pula salah ketik di beberapa kalimat, yang kendati sepele, hal tersebut tentu menganggu.

Dan di atas itu semua, menyelesaikan novel ini turut membangkitkan satu pertanyaan di dalam benak. Sesungguhnya, tiap orang memiliki Tempat Paling Sunyi-nya sendiri, bukan?


Tentang Buku:


Judul               : Tempat Paling Sunyi
Penulis             : Arafat Nur
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
ISBN               : 978602031742
Tebal               : 327 Halaman
Share:

0 comments:

Post a Comment