“Ia rela bersakit-sakit dan menelan air mata
sendiri, tanpa memiliki kuasa untuk menunjukkan penderitaannya tersebut.”
Membaca Tempat Paling Sunyi ini, seperti
menyelami perkara betapa manusia sesungguhnya tak ada apa-apanya bila berurusan
dengan cinta. Cinta, dalam kaitan eratnya pada sebuah hubungan, acap menjadi
muasal segala perkara pelik yang menyiksa. Cinta, setidaknya yang terdedah di
buku ini, adalah jangkar yang membawamu ke palung yang sesaknya tak terperi. Ia
mengantarkanmu pada muara keputus-asaan. Kekecewaan. Tindak kekejaman. Dan ruang
berduri serta alasan terkuat untukmu berniat bunuh diri.
Perkara
cinta tersebut bukanlah sesuatu hal yang
dilebih-lebihkan. Lewat Tempat Paling
Sunyi, si penulis—Arafat Nur, hendak menunjukkan sedikit polemik dari
banyak hal pelik di kehidupan manusia dalam menghadapi perkara cinta.
Dituturkan sebagai cerita di dalam cerita—sekaligus penggabungan peran, sebab
di bagian seperempat akhir terdapat bagian bertemunya si narator dengan
tokoh-tokoh cerita—kisah ini dimulai atas sebuah keluarga, pasangan Mustafa dan
Salma.
Pasangan
tersebut tinggal di kota Lamlhok, sebuah daerah kecil di kota Aceh. Adalah
Mustafa, lelaki yang selama delapan tahun berpindah dari tempat ke tempat.
Sebab selepas tamat sekolah menengah atas, hidupnya bagai kelana sepi tak
berujung. Ia lelaki yang cerdas sebenarnya, kendati nilai kelulusannya tak
terlalu besar. Kecerdasan di sini mengacu pada pengetahuannya yang bisa
dibilang cukup luas, juga keterkaitannya terhadap buku. Ia mencintai
kasusastraan dan kegiatan menulis novel sering ia lakukan di sela waktu
kerjanya, sebagai juru ketik di Lamlhok Computer. Kelak, novel pulalah yang
juga memicu derai penderitaannya.
Pertemuannya
dengan Salma terjadi tanpa sengaja. Mereka bertemu di sebuah kedai bilangan
Hagu di suatu siang pada tahun 1994. Komunikasi keduanya bermula ketika Mustafa
tahu-tahu menanyakan pendapat Salma mengenai novel. Dan kala Salma menjawab, “Novel
adalah dunia yang tak pernah mati-mati!” Saat itu Mustafa yakin, ia telah
bertemu gadis cerdas, anomali dari kebanyakan orang-orang di tempat itu yang
masih dibilang kolot dan nol besar soal peduli atas karya sastra.
Dari pertemuan
kecil tersebut, keduanya pun menjadi sering untuk bersua kembali. Hubungan
Mustafa dan Salma kiat dekat. Terkhusus bagi Mustafa, Salma adalah gadis langka
yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Sementara di mata Salma, Mustafa
adalah bujang ideal sebab selain baik budinya, ia meyakini pekerjaan Mustafa
yang akan mencukupi kehidupan rumah tangga mereka. Terlebih ibunya, Syarifah,
pun setuju atas hubungan mereka. Kendati ia tahu fakta bahwa Mustafa sebatang
kara—perkara profesi Mustafalah yang membuatnya yakin.
Akan tetapi,
Mustafa salah. Nyatanya Salma adalah gadis bodoh yang kebetulan saja
melontarkan perkataan cerdas. Gadis itu persis ibunya, mewarisi tabiat kolot
dan dungu manusia pada zaman itu. Ialah mereka yang jauh dari ilmu pengetahuan,
teknologi, dan hanya peduli tentang kemewahan serta harga diri. Kelak ia begitu
menyesali keputusannya menikahi gadis itu. Berangkat dari kedunguan istrinya,
rumah tangga Mustafa kerap diguncang cekcok keras, kendati hanya bermula dari
perkara remeh-temeh. Pun ada perkara lain, bahwa yang tak diketahui Salma dan
ibunya, adalah pekerjaan Mustafa yang sebenarnya seorang juru ketik. Selama
beberapa waktu, mereka meyakini Mustafa seorang pegawai pemerintah, sebab
penampilan sehari-harinya ketika berangkat kerja adalah bercelana jins dan
berkemeja rapi—penampilan para pegawai negeri di zaman itu yang jamak didapati.
Atas prasangka demikian, Salma kerap meminta kehidupan yang lebih mewah.
Memiliki banyak perabot. Memanjakan diri berbelanja. Dan sering pergi
jalan-jalan. Namun, Mustafa jelas sukar mengabulkan tuntutan istrinya tersebut.
Dari situlah acap menjadi pemicu pertengkaran mereka. Salma yang terbiasa hidup
enak sebab ayahnya yang telah meninggal adalah seorang yang amat berkecukupan,
sulit menerima kenyataan suaminya yang sesungguhnya miskin. Ditambah lagi,
Salma sering menuding Mustafa dengan tudingan yang bukan-bukan. Semisal
anggapannya bahwa Mustafa menggelapkan gajinya, sampai tuduhan bahwa suaminya
itu memakai gajinya sebagai bekal buat main serong bersama perempuan lain.
Hubungan rumah
tangga yang lebih banyak diisi dengan pertengkaran tersebut, membuat Mustafa
merasa seperti masuk liang neraka. Atas kedunguan istrinya, ia kerap memaki
perempuan itu dengan “Keledai”, umpatan yang malah acap ia ucapkan menjadi
“Kedelai”. Sementara Syarifah, alih-alih diharapkan menjadi pihak penengah, ia
justru selalu membela putrinya. Kendati dalam banyak persoalan, menunjukkan
bahwa Salma-lah biang dari masalah di antara mereka. Sehingga telaklah
penderitaan Mustafa di hadapan dua perempuan yang hanya mementingkan ego
masing-masing itu.
Barangkali,
Mustafa akan menderita selamanya, dan ia tak memiliki kesempatan baginya untuk
menulis novel sebab sikap istrinya yang tak mendukung sama sekali, kalau saja ia tak bertemu dengan seorang gadis
jelita, Riana namanya. Gadis itu awalnya adalah pelanggan di tempatnya bekerja.
Seorang anak kuliahan sekaligus guru sekolah dasar. Bertemu dengan Riana, bagi
Mustafa seperti mimpi yang terulang manakala dahulu ia kali pertama bertemu
Salma. Ia terpukau. Perasaannya luluh. Dan kelak jatuh penuh dalam pelukan
gadis itu. Yang lantas, perkara ini menjadi pemicu paling hebat dari pertengkarannya
bersama Salma.
Salma yang
selalu berprasangka buruk. Salma yang mudah terpancing. Salma yang bermulut runcing.
Dan Salma-salma bertabiat buruk lainnya mengisi kepala Mustafa. Yang kemudian
menjadikan dirinya benar-benar meninggalkan perempuan itu. Ia menjalin hubungan
bersama Riana. Pergi berbulan-bulan lamanya. Mengabaikan istrinya. Demi
perasaan hatinya yang ingin terbebas, tetapi sebenarnya menuju hulu derita
lainnya.
***
Begitulah kisah
buku ini menggulirkan prahara sebuah keluarga di masa-masak pelik negeri, di
masa ketika pemberontak merajalela, pembunuhan di mana-mana, dan kabar kematian
banyak orang yang kelewat biasa didengar. Sebenarnya, novel ini adalah gubahan
si narator atas catatan-catatan Mustafa dan penuturan teman dekat lelaki itu
atas kisah malang hidupnya dalam membina keluarga. Pendek kata, novel ini
adalah penulisan ulang dari novel yang ditulis oleh Mustafa dengan judul yang
sama. Persinggungan si narator dengan kehidupan Mustafa bukan pula disengaja.
Awalnya si narator hanya berkunjung di kota Lamlhok, ia mampir di salah satu
kedai, kemudian bertemu salah seorang teman Mustafa, dan mendengar perihal
lelaki yang gemar menulis novel itu. Dari situ, timbul rasa penasaran atas
kehidupan Mustafa, yang juga turut menyeret si narator dalam polemik kisah di
buku ini. Ia masuk ke dalam cerita. Menelusuri jejak novel yang ditulis Mustafa
sekaligus mengantarkanya kepada si jelita itu, Riana. Kelak keduanya menjalin
hubungan rumit di samping kisah Mustafa dan Salma.
Pertanyaannya
kemudian, di mana Tempat Paling Sunyi
itu? Awalnya, judul itu dipakai untuk novel buah karya Mustafa, novel yang
merepresentasikan kehidupannya. Tempat
Paling Sunyi, dalam hidup Mustafa adalah keadaannya yang sering teralienasi
dalam rumah tangganya sendiri. Di sini terlihat praktik yang bertendensi matriarki mengemuka dalam rumah tangga
Mustafa. Dominasi istrinya, Salma, menjadi kentara dan menuntut Mustafa untuk
lebih sering mengalah. Jauh sebelum adanya pertengkaran sengit, Mustafa
kedapatan memilih mengalah ketika berdebat dengan istrinya. Dominasi ini pun
kian diperkuat dengan figur mertua Mustafa. Keterlibatan Syarifah dalam
persoalan keluarganya, semakin menegaskan kedudukan lelaki itu yang tak
memiliki pegangan apa-apa. Di samping itu, sunyi
di sini adalah penderitaan Mustafa dalam upayanya membina keluarga yang ia rasa
gagal. Ia menginginkan perceraian, tetapi juga sukar ia realisasikan tersebab
kondisinya sungguh tak memungkinkan. Gengsi masih menguasai sebagian diri
Mustafa. Ia mengerti, dengan menceraikan Salma, sama saja sebagai bentuk
legitimasi atas ketidakberdayaannya membina keluarga. Hal tersebut ia takutkan
menebalkan citra buruk atas dirinya. Masyarakat akan menganggapnya sebagai lelaki
yang gagal. Dan bukan tidak mungkin, menjalin keluarga baru adalah satu dari
ketidakmungkinan dalam hidupnya.
Tempat Paling Sunyi pula dimiliki ketiga tokoh utama lainnya, yakni
Riana, Salma, dan si narator. Dalam hidup Riana, hal tersebut direpresentasikan
lewat satu bagian hidupnya ketika menjalin hubungan bersama Mustafa. Adalah di
kala ia mesti merelakan Mustafa pulang ke pelukan Salma, sementara ia tak bisa
mencegah secara langsung tindakan tersebut. Tempat
Paling Sunyi bagi Riana ialah bentuk cintanya pada lelaki itu. Ia rela
bersakit-sakit dan menelan air mata sendiri, tanpa memiliki kuasa untuk
menunjukkan penderitaannya tersebut.
Sementara itu,
di kehidupan Salma, Tempat Paling Sunyi
ialah tatkala ia hidup sendiri tanpa Mustafa di sisinya dalam jangka waktu yang
tak sebentar. Ia menjalani kehidupan seorang diri selepas kepergian suaminya di
suatu masa. Hal demikian kiranya menjadi sisi terberat hidupnya. Sebab ia mesti
menelan pil pahit atas ketidakmampuan dirinya mencegah Mustafa pergi. Dan fakta
bahwa di suatu masa, hidup bersamanya bagi seorang Mustafa, adalah palung
neraka yang menerakan derita tak terperi.
Benar adanya tiap
orang memiliki Tempat Paling Sunyi-nya
masing-masing, begitulah yang diyakini si narator kita. Serupa dengan tiga
tokoh sebelumnya, si narator ini pula terjerat dalam jaring laba-laba berisi
kesunyian dan sakit hati. Adalah di satu masa, tatkala persinggungannya semakin
dalam dengan salah satu tokoh kita, Riana, kenyataan menempatkanya dalam ruang
berduri itu.
***
Benar, membaca
buku ini seperti tamasya dalam mengikuti Tempat
Paling Sunyi tokoh-tokohnya. Ada pembenturan seberagam watak manusia di
dalamnya. Kesalahpahaman. Perkara kecil yang dibesar-besarkan. Betapa cinta
meluluhlantakkan segalanya. Dan rekaman kecil dari sebuah kisah di masa-masa
sulit sebuah negeri—ingat, latar kisah ini di masa pemberontakkan GAM. Di
samping itu, novel ini pula tak lepas dari manisnya sebuah cinta. Sebab di
samping pendedahan perkara yang pedih, terdapat juga sisi manis yang membuat
bibir menyungging senyum. Betapapun hal tersebut acap tertutupi, tapi tak
dinyana, hal demikian tak membuat kita jengah atas melulunya persoalan pelik
yang disodorkan. Ia hadir serupa tone cerita
untuk memancing pembaca berpikir, “Beginilah hidup, tak seluruhnya kita
berhadapan dengan penderitaan.”
Novel ini
menjadi penting untuk dibaca. Sebab selain hal-hal yang sudah terjelaskan
sebelumnya, di dalam kisah ini pula seseorang bisa belajar sedikit mengenai
hakikat membina keluarga. Novel ini hadir seperti sentilan atas realita di
masyarakat dalam membina keluarga, atas perkara-perkara yang sebetulnya tak
usah diperkarakan, pentingnya nilai kepercayaan, sikap menarik ego, dan betapa
hidup berkeluarga harus dimulai dari pengenalan satu sama lain yang intens,
yang clear, sehingga bila di kemudian
hari terdapat kesalahpahaman, ia bisa diperbaiki sebab sebuah pasangan sudah
mengenal dengan baik, kemudian tahu bagaimana untuk mendamaikannya.
Namun demikian,
seperti halnya buku-buku lain yang tak sempurna, novel ini memiliki kelemahan
di bagian narasi yang di beberapa tempat diulang-ulang. Sungguh perulangan yang
tak diperlukan. Ia menjadikan cerita yang kurang padat. Terdapat pula salah
ketik di beberapa kalimat, yang kendati sepele, hal tersebut tentu menganggu.
Dan di atas itu
semua, menyelesaikan novel ini turut membangkitkan satu pertanyaan di dalam
benak. Sesungguhnya, tiap orang memiliki Tempat
Paling Sunyi-nya sendiri, bukan?
Tentang Buku:
Judul : Tempat Paling Sunyi
Penulis : Arafat Nur
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978602031742
Tebal :
327 Halaman
0 comments:
Post a Comment