Saturday, January 11, 2020

Kaum Marjinal di Novel Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman



Judul               : Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman
Penulis            : A. Mustafa
Penerbit           : Shira Media
Tebal               : 358 Halaman
Tahun Terbit   : Cetakan pertama, 2019

Dibuka dengan narasi apik perihal Mbok Wilis di pertengahan tahun 1994 yang gerah hendak menemui nabi, kisah pun seketika berpindah ke masa dan bagian hidup Mbok Wilis yang didedah bagian per bagian, maju-mundur bersanding dengan epos mahabharata dan hikayat babi, pun menyandingkan seksualitas yang kental dengan teologi agama yang melimpah, maka tak berlebihan bila kau terpukau dengan buku ini.

Dalam jalinan alur maju-mundur, terdapat dua tokoh utama, yakni Rara Wilis atau Mbok Wilis dan Pak Wo atau Suko Djatmoko. Kisah keduanya dituturkan secara bergantian, dengan sesekali berbagi tempat dengan cerita wayang mahabharata dan hikayat babi. Rara Wilis adalah seorang waria yang melacurkan diri, ia cukup memiliki nama besar di daerah  Semarang, dan dikenal sebagai pengurus Peguyuban Waria Tri Lomba Juang (PAWATRI), sebuah organisasi waria dan LGBT pertama di kota tersebut. Dalam pekerjaannya sebagai PSK, atau yang dikenal dengan Nyebong, ia memiliki reputasi teratas di antara seberagam PKS serupa dirinya. Ia disegani, sekaligus tak disukai, sebab ia acap lebih laku dan memiliki pelanggan setia berkantong tebal. Hal tersebut membuat hidupnya terbilang makmur, sehingga tak mengherankan, ia memiliki banyak peliharaan atau berondong yang dikenal dengan kucing, serta banyak pacar yang bahkan mempunyai jadwal kencannya masing-masing. Hal demikian barangkali membuat hidupnya bakal sejahtera, kalau ia tidak  bersinggungan dengan hal paling berbahaya: Cinta. Adalah cinta pula yang mengantarkan dan memantapkan hatinya menjadi PSK. Tak berbilang sedikit bagi Rara Wilis bersinggungan dengan cinta, tapi sialnya, selalu saja berujung nestapa baginya. Hingga pada akhirnya, cinta dianggapnya racun yang tak baik baginya, dan ia bertekad untuk tidak sama sekali melibatkan perasaaan tersebut di dalam hidupnya.

Dalam panggung lain, tergelar kisah Pak Wo, seorang penjual jamu keliling yang juga seorang jamaah Ahmadiyah. Ia seorang Ahmadiyah yang taat, ia tak beristri dan beranak, sehingga banyak waktunya ia habis berjualan, khususnya di daerah masjid Nusrat Jahan. Ia memiliki pelanggan setia di sana, mubalig masjid tersebut beserta istrinya. Menjadi penjual jamu jelas membuat hidupnya tak selalu tercukupi, terlebih lagi pamor jamu yang kian merosot, dan ditambah, sentimen masyarakat sekitar atas dirinya yang seorang Ahmadiyah. Ia dianggap sesat, penyebar dan pengikut aliran ngawur, sehingga banyak yang tak menyukainya, bahkan ingin sekali mengusir Pak Wo dari desa tersebut. Namun, ia terlampau teguh hatinya, kendati mendapat perlakuan demikian, ia tetap pada jalannya dan tak gentar mensyiarkan perihal kabar tentang akhir zaman beserta seluk-beluk lain soal Ahmadiyah kepada siapa pun yang ingin tahu lebih jauh.

Kendati berlatar tahun sembilan puluh ke bawah, ada banyak hal yang didedah dalam buku ini dan masih relevan dengan masa kini. Dari kisah keduanya, dapat ditarik satu benang merah utama, yakni kaum atau mereka yang sampai saat ini dimarginalkan dari masyarakat. Perihal LGBT terkhusus waria dan gay serta pengikut Ahmadiyah, acap ditemukan dipandang dengan stigma negatif. Mereka dilihat sebagai orang-orang yang tak sehat, terganggu jiwanya, dan teralienisi dalam lingkup masyarakat. Keberadaan mereka dianggap racun yang dapat memberi imbas buruk terhadap lingkungan sekitar, dibenci dan dihujati, bahkan tak jarang disuruh angkat kaki.

Atas hal tersebut, novel ini di banyak bagian mengandung maksud perlawanan dan berusaha menunjukkan poin-poin yang justru meletakkan masalah paling utama adalah pandangan masyarakat sekitar. Dalam kasus Pak Wo, masyarakat terkadung percaya oleh siaran kabar yang menyatakan lelaki tersebut pengikut aliran sesat dan mesti dijauhi, yang malah memperlihatkan sebagai kegiatan dengan pretensi tertentu; sesuatu yang tak berdasar dan hanya berpegang pada hal/ihwal “katanya”. Relevansinya, masyarakat seperti itu, dewasa ini masih tersebar di banyak tempat. Mereka telanjur meyakini apa yang dianut Pak Wo sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai agama. Mereka pun selalu bersilat lidah menolak manakala diajak atau ditawarkan untuk ber-tabbayun. Sentimen tersebut kian menguat, ketika anggota keluarga sendiri yang menggecarkannya. Adalah kakak Pak Wo sendiri yang menyatakan dirinya memusuhi Ahmadiyah. Ia bahkan tak melihat sesuatu yang lebih mulia, yakni orang tau mereka yang menerima Pak Wo apa adanya, bahkan si ibu yang pada akhirnya turut menjadi Ahmadiyah.

Sementara itu, usaha yang bertendensi serupa tetapi berdasar dan berlatar belakang tak sama, ditunjukkan oleh Rara Wilis. Dalam tahun-tahun hidupnya sebagai waria sekaligus PSK, pula pengurus organisasi, dan sosok yang dipandang pemimpin oleh teman-teman seprofesinya, ia tak hanya mengabdikan dirinya pada nikmat bersetubuh dan gelimang uang. Berkendara organisasi tersebut, Rara Wilis mengadakan usaha untuk masuk dan berdamai dengan masyarakat. Lewat pagelaran hiburan dan lomba-lomba di tiap tanggal Kemerdekaan, ia bersama teman-temannya membaurkan diri. Acara tersebut tentu mendapat sambutan, masyarakat sekitar terundang, dan larut dalam kecerian acara. Namun, usahanya tak melulu membuahkan hasil, sebab ada malam yang hampir merenggut nyawa Rara Wilis; ia dijebak oleh segerombolan pemuda yang hendak membunuhnya atas dalih ia sundal-celaka-penghuni-neraka.

Esensi novel ini tak hanya menyentil kondisi masyarakat dalam memandang kaum atau kelompok yang kadung distigmakan negatif. Lebih dari itu, nilai teologi agama yang berkelindan di tubuh Ahamdiyah, turut didedah, dengan menunjukkan bahwa epos mahabharata sesungguhnya menceritakan banyak bagian dalam agama Islam; perihal nabi-nabinya, akhir zaman, dan kedatangan Isa Al-masih dan Imam Mahdi. Sisi ketuhanannya pula, ialah pertemuan kedua tokoh di halaman menuju akhir kisah, bahwa mukjizat coba diperlihatkan wujudnya lewat perubahan-perubahan tokoh-tokohnya; perihal jati diri Pak Wo dan sejarah hidup Rara Wilis dari bayi hingga berakhir menjadi waria yang menjajakan tubuhnya.

Dan soal hikayat babi, ia adalah alegori dari kehidupan Rara Wilis. Sebermula dari kubangan lumpur yang membuat nyaman si babi, kedatangan hewan lain, munculnya pemangsa dan berbuah dimangsanya si babi, kembalinya si babi dari perut pemangsa, menjadi bulan-bulanan babi lain, hingga sekaratnya si babi dan memunculkan sosok serupa manusia dari dalam dirinya, adalah transformasi dan representasi kehidupan waria tersebut.
           
Sebagai Bildungroman, kisah Rara Wilis bukan sekadar cerita pencarian jati diri belaka, lewat tokoh Harris yang juga tokoh sentral, ada pergulatan banyak watak manusia dibentur-benturkan satu sama lain. Dalam jalinan hubungan tersebut, terdapat hal-hal yang sekilas membuat jatuh, tetapi tak jarang menjadi pemicu satu perubahan atau keajaiban tak terduga. Rara Wilis bermula dari kisah nyata, ia masih hidup, dengan jati diri terbaik yang berhasil ia jemput. Dan tak serupa novel autobiografi pada umumnya, Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman mempunyai sisi lain yang langka, keunikannya tersendiri, semesta Rara Wilis yang berhasil di ranah fiksional, maka sulit kiranya meragukan keputusan yang menyatakan novel ini menjadi juara kedua Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2018. Bermuatan cerita yang tak bisa dianggap main-main, pengkrajinan merajut cerita yang membetahkan, penguasaan bahasa yang baik, dan teknik bercerita rileks serta berporsi pas, adalah beberapa poin novel ini yang tak bisa dianggap sebelah mata.  

Share:

0 comments:

Post a Comment