Judul : Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir
Zaman
Penulis : A. Mustafa
Penerbit : Shira Media
Tebal : 358 Halaman
Tahun Terbit : Cetakan pertama, 2019
Dibuka dengan
narasi apik perihal Mbok Wilis di pertengahan tahun 1994 yang gerah hendak
menemui nabi, kisah pun seketika berpindah ke masa dan bagian hidup Mbok Wilis
yang didedah bagian per bagian, maju-mundur bersanding dengan epos mahabharata
dan hikayat babi, pun menyandingkan seksualitas yang kental dengan teologi
agama yang melimpah, maka tak berlebihan bila kau terpukau dengan buku ini.
Dalam jalinan
alur maju-mundur, terdapat dua tokoh utama, yakni Rara Wilis atau Mbok Wilis
dan Pak Wo atau Suko Djatmoko. Kisah keduanya dituturkan secara bergantian,
dengan sesekali berbagi tempat dengan cerita wayang mahabharata dan hikayat
babi. Rara Wilis adalah seorang waria yang melacurkan diri, ia cukup memiliki
nama besar di daerah Semarang, dan
dikenal sebagai pengurus Peguyuban Waria Tri Lomba Juang (PAWATRI), sebuah
organisasi waria dan LGBT pertama di kota tersebut. Dalam pekerjaannya sebagai
PSK, atau yang dikenal dengan Nyebong,
ia memiliki reputasi teratas di antara seberagam PKS serupa dirinya. Ia disegani,
sekaligus tak disukai, sebab ia acap lebih laku dan memiliki pelanggan setia
berkantong tebal. Hal tersebut membuat hidupnya terbilang makmur, sehingga tak
mengherankan, ia memiliki banyak peliharaan atau berondong yang dikenal dengan kucing, serta banyak pacar yang bahkan
mempunyai jadwal kencannya masing-masing. Hal demikian barangkali membuat
hidupnya bakal sejahtera, kalau ia tidak
bersinggungan dengan hal paling berbahaya: Cinta. Adalah cinta pula yang
mengantarkan dan memantapkan hatinya menjadi PSK. Tak berbilang sedikit bagi
Rara Wilis bersinggungan dengan cinta, tapi sialnya, selalu saja berujung
nestapa baginya. Hingga pada akhirnya, cinta dianggapnya racun yang tak baik
baginya, dan ia bertekad untuk tidak sama sekali melibatkan perasaaan tersebut
di dalam hidupnya.
Dalam panggung
lain, tergelar kisah Pak Wo, seorang penjual jamu keliling yang juga seorang
jamaah Ahmadiyah. Ia seorang Ahmadiyah yang taat, ia tak beristri dan beranak,
sehingga banyak waktunya ia habis berjualan, khususnya di daerah masjid Nusrat
Jahan. Ia memiliki pelanggan setia di sana, mubalig masjid tersebut beserta
istrinya. Menjadi penjual jamu jelas membuat hidupnya tak selalu tercukupi,
terlebih lagi pamor jamu yang kian merosot, dan ditambah, sentimen masyarakat sekitar
atas dirinya yang seorang Ahmadiyah. Ia dianggap sesat, penyebar dan pengikut
aliran ngawur, sehingga banyak yang tak menyukainya, bahkan ingin sekali
mengusir Pak Wo dari desa tersebut. Namun, ia terlampau teguh hatinya, kendati
mendapat perlakuan demikian, ia tetap pada jalannya dan tak gentar mensyiarkan
perihal kabar tentang akhir zaman beserta seluk-beluk lain soal Ahmadiyah
kepada siapa pun yang ingin tahu lebih jauh.
Kendati berlatar
tahun sembilan puluh ke bawah, ada banyak hal yang didedah dalam buku ini dan
masih relevan dengan masa kini. Dari kisah keduanya, dapat ditarik satu benang
merah utama, yakni kaum atau mereka yang sampai saat ini dimarginalkan dari
masyarakat. Perihal LGBT terkhusus waria dan gay serta pengikut Ahmadiyah, acap
ditemukan dipandang dengan stigma negatif. Mereka dilihat sebagai orang-orang
yang tak sehat, terganggu jiwanya, dan teralienisi dalam lingkup masyarakat.
Keberadaan mereka dianggap racun yang dapat memberi imbas buruk terhadap
lingkungan sekitar, dibenci dan dihujati, bahkan tak jarang disuruh angkat
kaki.
Atas hal
tersebut, novel ini di banyak bagian mengandung maksud perlawanan dan berusaha
menunjukkan poin-poin yang justru meletakkan masalah paling utama adalah
pandangan masyarakat sekitar. Dalam kasus Pak Wo, masyarakat terkadung percaya
oleh siaran kabar yang menyatakan lelaki tersebut pengikut aliran sesat dan
mesti dijauhi, yang malah memperlihatkan sebagai kegiatan dengan pretensi
tertentu; sesuatu yang tak berdasar dan hanya berpegang pada hal/ihwal
“katanya”. Relevansinya, masyarakat seperti itu, dewasa ini masih tersebar di
banyak tempat. Mereka telanjur meyakini apa yang dianut Pak Wo sebagai sesuatu
yang bertentangan dengan nilai agama. Mereka pun selalu bersilat lidah menolak
manakala diajak atau ditawarkan untuk ber-tabbayun.
Sentimen tersebut kian menguat, ketika anggota keluarga sendiri yang
menggecarkannya. Adalah kakak Pak Wo sendiri yang menyatakan dirinya memusuhi
Ahmadiyah. Ia bahkan tak melihat sesuatu yang lebih mulia, yakni orang tau mereka
yang menerima Pak Wo apa adanya, bahkan si ibu yang pada akhirnya turut menjadi
Ahmadiyah.
Sementara itu,
usaha yang bertendensi serupa tetapi berdasar dan berlatar belakang tak sama,
ditunjukkan oleh Rara Wilis. Dalam tahun-tahun hidupnya sebagai waria sekaligus
PSK, pula pengurus organisasi, dan sosok yang dipandang pemimpin oleh
teman-teman seprofesinya, ia tak hanya mengabdikan dirinya pada nikmat
bersetubuh dan gelimang uang. Berkendara organisasi tersebut, Rara Wilis
mengadakan usaha untuk masuk dan berdamai dengan masyarakat. Lewat pagelaran
hiburan dan lomba-lomba di tiap tanggal Kemerdekaan, ia bersama teman-temannya
membaurkan diri. Acara tersebut tentu mendapat sambutan, masyarakat sekitar
terundang, dan larut dalam kecerian acara. Namun, usahanya tak melulu
membuahkan hasil, sebab ada malam yang hampir merenggut nyawa Rara Wilis; ia
dijebak oleh segerombolan pemuda yang hendak membunuhnya atas dalih ia
sundal-celaka-penghuni-neraka.
Esensi novel ini
tak hanya menyentil kondisi masyarakat dalam memandang kaum atau kelompok yang
kadung distigmakan negatif. Lebih dari itu, nilai teologi agama yang berkelindan
di tubuh Ahamdiyah, turut didedah, dengan menunjukkan bahwa epos mahabharata
sesungguhnya menceritakan banyak bagian dalam agama Islam; perihal
nabi-nabinya, akhir zaman, dan kedatangan Isa Al-masih dan Imam Mahdi. Sisi
ketuhanannya pula, ialah pertemuan kedua tokoh di halaman menuju akhir kisah,
bahwa mukjizat coba diperlihatkan wujudnya lewat perubahan-perubahan
tokoh-tokohnya; perihal jati diri Pak Wo dan sejarah hidup Rara Wilis dari bayi
hingga berakhir menjadi waria yang menjajakan tubuhnya.
Dan soal hikayat
babi, ia adalah alegori dari kehidupan Rara Wilis. Sebermula dari kubangan
lumpur yang membuat nyaman si babi, kedatangan hewan lain, munculnya pemangsa
dan berbuah dimangsanya si babi, kembalinya si babi dari perut pemangsa,
menjadi bulan-bulanan babi lain, hingga sekaratnya si babi dan memunculkan
sosok serupa manusia dari dalam dirinya, adalah transformasi dan representasi
kehidupan waria tersebut.
Sebagai Bildungroman, kisah Rara Wilis bukan
sekadar cerita pencarian jati diri belaka, lewat tokoh Harris yang juga tokoh
sentral, ada pergulatan banyak watak manusia dibentur-benturkan satu sama lain.
Dalam jalinan hubungan tersebut, terdapat hal-hal yang sekilas membuat jatuh,
tetapi tak jarang menjadi pemicu satu perubahan atau keajaiban tak terduga.
Rara Wilis bermula dari kisah nyata, ia masih hidup, dengan jati diri terbaik
yang berhasil ia jemput. Dan tak serupa novel autobiografi pada umumnya, Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir
Zaman mempunyai sisi lain yang langka, keunikannya tersendiri, semesta Rara
Wilis yang berhasil di ranah fiksional, maka sulit kiranya meragukan keputusan
yang menyatakan novel ini menjadi juara kedua Sayembara Dewan Kesenian Jakarta
2018. Bermuatan cerita yang tak bisa dianggap main-main, pengkrajinan merajut
cerita yang membetahkan, penguasaan bahasa yang baik, dan teknik bercerita
rileks serta berporsi pas, adalah beberapa poin novel ini yang tak bisa
dianggap sebelah mata.
0 comments:
Post a Comment