Buku tersebut, saya kira, tak lebih seperti keripik
singkong yang digoreng buru-buru, diangkat lekas-lekas, kemudian dibungkus dengan plastik bening, dan
dijual bersanding dengan camilan lebih mewah dan meriah lainnya.
Saya tak tahu,
harus menampatkan catatan ini sebagai apa bagi buku saya itu—Gadis Penjual Air
Mata. Barangkali, catatan ini bakal seperti kata pengantar atau hal lain. Pun
mungkin, ia ada sebagai wujud pemakluman. Bisa jadi juga hanya sekadar catatan
dari sebuah karya. Namun, yang pasti, catatan ini dibuat untuk membicarakan
karya saya itu. Ia dibuat sebab saya berkeyakinan, saya harus membuatnya,
sekalipun keberadaannya sungguh tak penting. Terlebih lagi, saya memaksudkannya
serupa oase di tengah-tengah gurun kering sarat pertanyaan. Ia, saya harapkan,
dapat menjadi pelepas dahaga atas pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut di
kepala para pembaca buku ini. Sekaligus, sebagai informasi tambahan bagi siapa
pun yang penasaran akan buku saya itu.
Saya ingin
sedikit bercerita. Buku itu, kalian tahu, adalah buah kerja keras saya selama
setahun di tahun 2019. Yah, kendati setahun di sini bukan berarti saya
mengerjakannya terus-terusan. Tidak, bukan begitu. Namun, yang saya maksud
adalah, cerita-cerita yang terhimpun di dalamnya saya tulis dalam kurun waktu
itu. Pendek kata, satu cerita paling tidak saya tulis dalam satu bulan.
Meskipun tidak bisa dipukul rata demikian pula.
Sebelumnya,
tidak pernah sekali pun saya merencanakannya untuk mengumpulkan menjadi satu
buku. Sebab cerita-cerita di dalamnya, awalnya tak saya niatkan demikian. Saya
membuat sekadar sebagai bentuk rasa gelisah atas hal-hal di sekitar saya. Meski
saya juga tak menampik, kalau beberapa cerita dalamnya saya niatkan untuk
termuat di media, yang tentu saja berakhir dengan kegagalan. Begitulah. Hingga
di bulan Agustus di tahun itu, saya seperti memperoleh ilham untuk
mempersatukan mereka di tempat yang sama, setelah ide tentang cerita
utama—Gadis Penjual Air Mata—mencuat dari kepala saya. Kala itu adalah
saat-saat saya menanti pengumuman beasiswa Bidikmisi saya, sehingga waktu luang
cukup tergelar lumayan panjang. Di kala itulah, saya mesti menyelesaikan cerita
utama itu, yang akhirnya selesai menembus 3000 kata lebih. Ia menjadi cerpen
terpanjang yang pernah saya buat.
Seusai cerita
itu selesai ditulis, saya membuat satu-dua cerita lagi, supaya jumlahnya genap
sepuluh cerita. Dan seolah kesempatan baik benar-benar menggelimang di sekitar
saya, di media sosial kala itu, saya mendapati satu informasi tentang terbit
gratis yang diadakan oleh satu penerbit indie, yang maaf sekali, demi nama baik
mereka saya tak menyebutnya di sini. Kesempatan itu tak bisa dilewatkan
serta-merta, sebab dengan perasaan membuncah, saya mengirimkan naskah final
tersebut kepada mereka. Beberapa hari kemudian saya dibuat berdebar menunggu
pengumuman diterima atau tidaknya naskah saya. Seleksi jelas diberlakukan, dan oleh
karenanya saya tak cukup yakin, naskah cerita itu layak untuk diterbitkan. Akan
tetapi, pada akhirnya hal itu hanyalah ketakutan saya semata. Sebab mereka
menerima naskah saya dan bersedia menerbitkannya secara gratis, yang sebenarnya
sebuah pelayanan yang jarang diberikan penerbit indie secara cuma-cuma. Saya
teramat senang, tentu saja. Saya, kalian tahu, langsung membayangkan proses
penerbitan yang bakal berlangsung seru. Saya akan berkonsultasi dengan seorang
editor sabar, naskah saya di-layout dengan
apik sedemikian rupa, hingga ditanyai manakah kover yang sesuai dengan isi buku
saya.
Namun sial
sungguh tak teralakkan, nyatanya saya tak mendapat semua yang dibayangkan tadi.
Naskah saya terbit tak sampai dua Minggu setelah pemberitahuan naskah itu bakal
diterbitkan. Saya dibuat sedikit kecewa. Ini sungguh tak menyenangkan. Yah,
kendatipun saya juga turut bahagia, sebab akhirnya saya memiliki buku solo saya
sendiri. Atas fakta tersebut, saya mencoba melupakan kekecewaan itu. Saya
mencoba tetap bahagia atas terbitnya buku saya. Teman-teman memberi selamat,
itu makin menguatkan saya. Hingga, saya gencar mempromosikan buku tersebut. Ia,
sebagaimana yang kalian tahu, adalah buah karya penulis tak dikenal dan
diterbitkan oleh penerbit indie, sehingga jelas, keterlibatan sang penulis
dalam penjualan amat wajib hukumnya demi mendongkrak terjualnya buku tersebut.
Begitulah, saya melakukannya di semua akun sosial media saya. Saya
membicarakanya di obrolan-obrolan bersama teman. Bahkan, saya mempromosikan
ketika awal-awal kuliah dulu. Saya bilang sudah menerbitkan buku, kendati oleh
penerbit indie. Sebagian dari mereka tentu saja kagum dan kaget. Sungguh, di
mata awam, menerbitkan buku masih menjadi pencapaian yang luar biasa.
Akan tetapi,
tidak dengan diri saya. Saat itu saya tak puas sama sekali. Tersebab harapan
yang membayang di kepala saya banyak yang tak sesuai realita. Buku tersebut,
saya kira, tak lebih seperti keripik singkong yang digoreng buru-buru, diangkat
lekas-lekas, kemudian dibungkus dengan
plastik bening, dan dijual bersanding dengan camilan lebih mewah dan meriah
lainnya. Atas hal tersebut, ditambah tak ada satu pun buku saya yang laku,
sekejap itulah saya melupakannya. Beberapa saat saya tak menganggap buku itu ada.
Saya tenggelam dalam kesibukan awal sebagai mahasiswa. Saya menjalani hari
tanpa pikiran, “Apakah hari ini ada sebuah buku yang terjual?”
Sampai di suatu
kesempatan, datang sebuah panggilan untuk menengok nasib buku tersebut. Dan hal
itu membuat saya mengkaji ulang, “Hal apa yang mesti saya ubah, supaya ada yang
membeli buku ini?”. Kemudian saya menyadari, barangkali saya harus mengubah
kover buku tersebut. Sebab kover tersebut terlampau biasa saja. Saya pun tak
menyukainya sama sekali. Akhirnya, saya mencari tukang buat kover buku yang
dapat memenuhi kehendak saya. Tersebab buku saya amat kental nuansa surealis
dan absurd, saya menginginkan, kelak kover itu dapat merepresentasikan isi buku
tersebut sesuai keinginan saya. Dan setelah tanya sana-sini, saya menemukan
orang katanya dapat memenuhi harapan saya. Saya mengontaknya segara. Kami
bersepakat. Lalu jadilah kover yang sungguh memuaskan saya setelah revisi
berulangkali. Kover tersebut cantik dan menawan sekali. Saya menyukainya.
Segera saja,
saya mengontak penerbit buku itu untuk mengabari bahwa hendak mengganti kover
buku saya. Mereka menyanggupinya. Silakan saja kirim kover tersebut, balas
mereka. Saya sekali lagi, senang. Di hari yang sama saya mengirimkan kover
tersebut. Setelahnya saya menunggu dengan buncahan perasaan bahagia tak
terkira. Angin segar sebentar lagi bakal berembus, pikir saya kala itu.
Akan tetapi,
lagi-lagi saya dikecewakan. Mereka, kalian tahu, menolak kover tersebut dengan
alasan tidak sesuai dengan standar estetika mereka. Tubuh saya lemas seketika
kala membaca balasan tersebut. Amarah menggelegak di dalam diri saya. Saat itu
yang terpikirkan oleh saya adalah, mendatangi meja redaksi mereka, menggebrak
meja, dan berujar, “Anjing!” di muka pemimpin redaksi. Yang segera saya sesali,
sebab saat itu saya tengah berada di lingkugan kampus, dan pikiran itu mustahil
buat direalisasikan.
Mencoba
baik-baik saja, saya mencoba bernegosiasi dengan mereka. Sedikit mendesak
supaya mereka mengganti kover buku saya. Saya melakukannya dengan keteguhan
permohonan murid yang meminta nilai tambahan kepada gurunya. Namun, mereka
tetap kukuh dengan pendirian tersebut. Dan buku saya tidak bisa diganti
kovernya. Saya menyerah. Kecewa, tentu saja, tetapi mencoba melupakannya dengan
memikirkan hal lain.
Di beberapa hari
kemudian, saya memutar otak mencari jalan keluar. Saya ingin tetap menerbitkan
naskah tersebut. Sebab biaya kover yang dikeluarkan, bagi saya bukan nominal
yang kecil. Saya bisa rugi besar bila tetap abai akan nasib buku itu. Atas
kesadaran tersebut, gagasan gila meloncat dari kepala saya: “Kenapa saya tidak
menerbitkanya secara independen saja?” Setelah dipikir berkali-kali, itu bukan
gagasan yang buruk pula. Saya menghitung kesempatan baik bila gagasan tersebut
diwujudkan. Dan ajaib, saya menemukan hal itu tidak buruk sama sekali. Begini,
sebelumnya naskah itu saya yakin tak mereka editori, sebab mereka
menerbitkannya dalam hitungan hari. Kemudian, buku tersebut mereka jual kelewat
mahal, dan royalti yang saya dapat kelewat mengenaskan. Setelah dipikir-pikir,
saya rugi menerbitkan buku bersama mereka! Saya cuma diuntungkan dengan
keberadaan ISBN di buku saya, yang yah memang saya tahu, untuk membubuhkan
label tersebut memang membutuhkan biaya. Namun, tetap saja, saya dibuat rugi.
Jadilah saya makin teguh pada pendirian buat menerbitkan buku itu secara mandiri.
Tanpa penerbit dan ISBN.
Walhasil, saya
menarik naskah tersebut. Saya men-layout
dan mengeditorinya sendiri. Menambahkan dua buah cerpen di akhir, perubahan di
sana-sini, dan menambahkan beberapa catatan. Benar, saya mengerjakan sendiri. Benar-benar
sendiri. Sungguh tindakan arogan bagi seorang yang belum pantas disebut penulis
ini. Yang tak saya lakukan sendiri cuma pembuatan kover dan menyetak buku
tersebut. Sebab untuk mencetak buku, saya mencetaknya di satu percetakan di
Yogyakarta, dengan biaya sendiri pula.
Begitu cetakannya
usai, ketika itu saya cuma mencetaknya dalam 10 eks sampler buku. Sebagian
besar segera sampai di tangan-tangan yang sebelumnya memang menginginkan buku
saya dalam balutan baju baru. Satu per satu buku tersebut pun sampai di tangan
beberapa kawan. Mereka tampak menyukainya. Baik isi cerita maupun kover buku
saya. Namun, tidak dengan adik saya.
Ia, kalian tahu,
langsung menodong saya dengan kesalahan fatal: Banyaknya typo di dalam buku
saya. Dan setelah saya cek, kondisinya benar adanya. Sungguh, saya benar-benar
kecolongan atas hal sesepele itu. Ia menjadi kafatalan yang tak semestinya
terjadi. Saya amat menyangkannya. Betapa bodohnya diri saya. Seperti mengulang
kesalahan yang hampir serupa, buku saya seperti keripik singkong yang digoreng
buru-buru dengan potongan tak rapi dan taburan bumbu pedas yang asal-asalan,
yang kendati ia kali ini bungkus dengan plastik yang lebih baik, ia bakal tetap
tak sebanding dengan camilan mewah dan meriah lainnya yang jelas kualitas bahan
dan komposisinya.
Tak ada yang benar-benar sia-sia, Mas.
ReplyDeleteBenar itu, Mas. Setidaknya, dari buku ini, saya jadi belajar banyak hal. Dan membuat saya untuk nggak mengulangi kesalahan yang sama.
Delete