Keramaian Ramadan untuk Lelaki Kesepian
Lelaki itu hanya termangu di beranda
belakang rumahnya. Termangu di atas kursi bambu yang reyot termakan usia. Ia ada
di sana sejak sore hari tadi. Duduk di sana sendirian, berdiam diri sampai dirinya tak sadar bahwa
senja sudah dipeluk petang, kemudian malam segera datang menabur kegelapan.
Pandangan matanya kosong, menatap
pelataran yang penuh kenangan di depannya.
Dalam pikirannya, ia tak ingin
beranjak pergi dari tempat itu. Ia ingin di sana hingga semua benar-benar usai.
Sampai seberaneka rasa yang menyambangi dadanya sejak tadi itu meringankan
himpitannya yang menyesakkan. Ia tahu, meski menyakitkan, rasa-rasa itu pasti
akan datang, cepat atau lambat, ia seharusnya bisa menerimanya. Namun, yang
membuatnya tak menyangka dan terasa berat adalah, rasa-rasa itu terlampau cepat
datangnya sebelum ia memiliki kesiapan untuk menghadapinya. Dadanya dipenuhi
oleh rasa-rasa itu hingga membuatnya sesak, rasa-rasa yang hadir ketika
seseorang ditinggal pergi oleh orang terpenting dalam hidupnya.
Dalam keadaan yang teramat kacau:
rambut yang kusut, wajah muram dengan mata sembab, dan tubuh yang lemas lunglai
lantaran tanpa tenaga, ia membuka mulut setelah sekian lama mulut itu mengatup,
“Dedi pu-pulang, Mak.” Hanya suara lirihnya yang meluncur, yang bahkan tak
lebih jelas dari desau nyanyian malam. Pandangan matanya berubah nanar.
Wajahnya makin tampak sendu. Ia beralih menengadahkan wajahnya ke angkasa, menatap
langit bersih tanpa saputan awan dan penuh bintang-gimintang. Ia berharap,
mengalihkan pandangan dari pelataran itu barangkali bisa mengurangi sesak di
dadanya, membuat pikirannya tenang sejenak dari gejolak emosi yang hadir.
Tetapi ia salah, ia lupa satu hal, bahwa segala yang ada di situ juga menyimpan
kenangannya sendiri-sendiri, sekalipun itu sehamparan langit. Samar, satu suara
lembut penuh perhatian itu terngiang, bukan di telinganya, melainkan jauh di kedalaman
benaknya. “Lihatlah bintang di langit
kala kau kesepian, Sayang... kau akan merasa lebih baik.” Itulah suara
ibunya, suara yang menyeruak keluar dari benaknya. Di lain waktu, ia sangat
mempercayai kebenaran kata-kata ibunya itu. Ia melakukannya hampir tiap kali ia
merasa kesepian. Setiap kali ia merasa sendiri. Dan ia merasakan benar bahwa
melihat bintang-gemintang memang membuatnya lebih baik, ia jadi merasa tenang.
Tetapi kini, bagaimanapun ia melihatnya, itu tidak membuatnya lebih baik. Malah
sebaliknya, ia semakin kesepian, ia sendirian. Kata-kata itu kian membuat dadanya
sesak. Kesepiannya kali ini berbeda dari yang pernah dirasakannya di waktu
silam. Kesepiannya sekarang benar-benar mengiris kalbunya. Lain dari pada yang
lain.
Barangkali, jika ia tak teringat
nasihat untuk tidak mengakhiri hidupnya yang berharga, saat ini ia sudah
terkapar menenggak racun serangga. Mati adalah pilihan termudah untuk melarikan
diri dari rasa sakit dan kesengsaraan. Terlintas sesaat yang lalu ia ingin
membunuh dirinya, karena rasa sakitnya benar-benar tak tertahankan. Rasa sakit
itu menyiksanya. Terlebih lagi rasa sakit yang timbul dari satu rasa itu, rasa
penyesalan. Sungguhkah, adakah yang lebih menyiksa dari rasa penyesalan?
Penyesalan yang teramat dalam?
Mendadak, satu pikiran terbit di
dalam kepalanya ketika memandang satu rasi bintang yang perlahan tertutup awan
yang mulai muncul, satu pikiran konyol terbesit, aku ingin langit menjatuhkan mesin waktu, mesin yang bisa membawaku di
waktu sebulan yang lalu. Ia ingin mesin waktu itu tiba di depannya
sekarang, ia ingin mengulang jalan kisahnya walau di datangkan di waktu sebulan
yang lalu. Ia ingin mengubahnya agar tak terjadi penyesalan seperti yang tengah
dirasakannya hari ini.
Ia menunggu, matanya tak beranjak
dan tetap memandangi langit yang mulai muram oleh awan, namun mesin itu tak
kunjung tiba. Ia meringis, satu tangannya menyentuh dadanya. Sesak di dadanya
kian menyesakan. Semakin menyiksanya. Ia sadar, bahwa mesin konyol itu tidak
akan tiba, ia tidak bisa memutar waktu dan mengubahnya. Rasa sakitnya kali ini
adalah ganjaran yang sepantasnya ia dapatkan karena kesalahannya sendiri.
Semata-mata karen dirinya sendiri. Kemudian, di kepalanya sekarang, ia mulai berandai-andai,
andaikan sebulan yang lalu ia segera pulang ke rumah, andai ia tak menjadi pria
yang telah gila kerja hingga melupakan segala hal, andai... ia menuruti kemauan
ibunya... untuk pulang dengan segera sebelum Ramadan tahun ini tiba.
Terus-menerus, kata-kata ‘andai’ berputar-putar dalam pikirannya. Yang kian
membuatnya tenggelam dalam kesedihan.
Dari berandai-andai, kini ia
menyalahkan diri sendiri. Ia menyalahkan dirinya di masa lalu. Keputusannya. Ia
yang mengabaikan ucapan dan nasihat ibunya. Dan segala hal yang terjadi di masa
silam. Ia menurunkan pandangannya, kembali memandangi pelataran belakang
rumahnya itu. Pelataran yang masih dipenuhi tumbuhan singkong dan sayuran, dan
serimbun kenangan yang dengan lebatnya tumbuh di sana. Seperti halnya tumbuhan
singkong, kenangan itu pun melambai-lambai kala diembus angin malam.
Tangkai-tangkainya bergoyang-goyang, kemudian meluruhkan daun-daunnya dengan
perlahan. Daun-daun yang mengandung segala hal yang pernah terjadi di tempat
itu. Hal-hal yang ia jalani bersama ibunya di masa lalu, saat-saat yang setelah
ia pikirkan ulang jelaslah lebih membahagiakan dari hidupnya beberapa tahun
belakangan ini di tanah rantau. Dan kini, bersama meluruhnya daun-daun itu,
serupa tetesan embun yang jatuh mencumbu batu lantas pecah, kenangan-kenangan
itu pun jatuh dan kembali memutar adegan per adegannya. Dari peristiwa ke
peristiwa. Seperti potongan sebuah film, fragmen-fragmen kejadian masa lalu pun
berputar. Dahulu, di sanalah ia bersama ibunya merangkai waktu dengan kerja
keras untuk menyambung hidup dari waktu ke waktu. Di pelataran itu, mereka
menanam beraneka sayuran untuk kemudian dijual sebagai pemenuh nafkah keluarga.
Berdua mereka bahu-membahu menggemburkan tanah, menaburkan benih, menyiraminya,
serta menyianginya dari gulma yang mengganggu. Baginya, tempat itu tak hanya
sekedar pelataran untuk bercocok tanam,
melainkan lebih dari itu. Tempat itu adalah saksi bisu dari pergulatan hidup
dia dan ibunya dalam memperjuangkan hidup selain atap berdinding anyaman bambu
yang sekarang menaunginya. Tak pelak, dadanya makin terasa sesak ketika
menyaksikan kembali gambaran masa lalunya di tempat itu. Ia kembali teringat
teriakan ibunya, yang dengan lembut memanggilnya suatu ketika. “Berhenti dulu,
Nak. Istirahat dululah kau.” Bibirnya perlahan terangkat, membentuk senyuman
tipis, suara ibunya serupa kehangatan senja, yang sedikit meredakan rasa sesak
di dadanya. Ia menoleh ke belakang, terbayang ibunya yang berdiri di
belakangnya, di ambang pintu. Memandang dirinya yang berbanjir peluh di tengah pelataran dengan
pandangan yang meneduhkan.
“Sebentar lagi, Mak.” Mendengar
suara itu, ia mengembalikan pandangannya, tatapannya sekali lagi memandang
pelataran itu, menyaksikan dirinya di masa lalu yang bersikukuh dengan
pekerjaannya. Di sana, ia melihat dirinya yang sedang bergelut dengan cangkul dan
tanah di bawah terik matahari siang. Dirinya yang dengan semangat menggemburkan
tanah.
“Bebal sekali kau! Sudah istirahat
dulu, Dedi!” Sekali lagi, pendangannya berpaling ke belakang, mendapati sosok
ibunya yang berwajah kesal dengan segelas kopi di tengannya berjalan mendekati
bangku bambu dan segera duduk tepat di sebelahnya. Ia melihatnya, memperhatikan
tiap detail sesosok yang duduk di sebelahnya. Wajah itu, wajah yang tampak
lelah namun meneduhkan, yang penuh sisa guratan jalan kehidupan, terlihat amat
nyata di hadapannya. Tanpa ia sadari, satu tangannya terangkat untuk meraih
wajah itu, untuk menyentuh pipi wanita itu. Pipi ibunya yang meranum
kelembutan. Namun, telapak tangannya hanya mendapatkan kekosongan, ia tak
merasakan apapun selain udara malam. Tangannya tak merasakan pipi lembut yang
sering menjadi jalur air mata ibunya. Kemudian, tanpa ia sadari, satu butir
bening menetes kembali dari dari pelupuk matanya yang masih sembab. Wajah itu
amat nyata, meski ia tahu bahwa itu hanyalah fana.
“Mak.” Ia melihat dirinya di masa
lalu tengah berjalan ke arahnya. Lantas, mengambil sebuah bangku di dekat pintu
dan meletakannya di tanah tepat di depannya. Ia berada di tengah mereka berdua,
di antara dirinya di masa lalu dan bayangan ibunya. Adegan itu terus berjalan,
sekarang ia menyaksikan dirinya di masa lalu yang perlahan meneguk kopi yang di
bawakan ibunya tadi.
“Aku mau minta restu, Mak.” Sesosok
dirinya di masa lalu berkata pelan setelah meletakkan gelas itu di sampingnya. Memandang
ibunya dengan wajah mengharap.
Tentu ia amat ingat saat-saat siang
itu, ia tak mungkin melupakannya. Ia mengingatnya sejelas mengingat berapa
usianya tahun ini. Ketika itulah awal yang akan mengubah wajah kehidupan ia dan
ibunya, awal yang memiliki akhir hari ini, malam ini. “Aku ingin merantau ke kota,” ucap dirinya di masa lalu lagi.
“Boleh?”
Ia menoleh ke sebelahnya, ikut
memandang sesosok ibunya. Ia melihatnya dengan jelas perubahan air muka ibunya.
Ia mendapati wajah itu seketika terlipat, dan baru hari ini ia menyadari
sesuatu, ia dapat memilihatnya sekarang, sangat jelas, bahwa ada kesedihan,
ketidakrelaan, serta kekhawatiran yang tertoreh di wajah ibunya.
Namun, wanita itu hanya tersenyum,
tangannya terangkat meraih wajah lantas menyeka tanah yang menempel di pipi
sesosok dirinya di masa lalu itu. “Mamak ke warung dulu, ya. Kau istirahat saja
setelah ini.”
Dan sesosok ibunya itu seketika
berdiri. Berniat pergi dari halaman belakang rumah itu.
“Dedi sudah besar, Mak.”
Langkah ibunya terhenti sebelum
meninggalkan ambang pintu. Ia menoleh ke arah anaknya.
“Dedi, harus keluar, Mak.”
“Tidak, Mamak tidak mengijinkan.”
Dan ia mendengar kalimat itu lagi, untuk kali kedua. Kalimat yang sebenarnya
hampir menghancurkan pondasi semangatnya kala itu.
“Aku tidak akan jadi seperti Bapak,”
dirinya di masa lalu menunduk, “yang meningalkan Mamak. Dedi pasti sering
pulang nanti.” Saat itulah, ia kembali teringat sosok ayahnya, ayah yang tak
pernah ia saksikan seperti apa wujudnya. Ayah yang dengan kejam meninggalkan
ibunya. Kala itu, ia masih berumur dua tahun, ayahnya pamit kepada ibunya untuk
merantau ke kota besar, untuk mengubah nasib keluarganya. Namun, pada
tahun-tahun berikutnya, ayahnya tak kembali. Pun tidak ada kabar tentang ke
mana ayahnya itu. Ayahnya hilang seolah ditelan bumi.
Siang itu, ia tak tahu apa yang
sebenarnya memberatkan hati ibunya.
Bagi
ibunya, suatu kali, ia pernah menduga bahwa saat-saat seperti ini pasti akan
datang. Cepat atau lambat. Namun ia selalu merasa berat untuk menyiapkan diri
untuk menerimanya, itu terlalu berat bagi seorang ibu seperti dirinya. Untuk
kali kedua ia menghadapi situasi seperti itu, situasi ketika orang terpenting
di dalam hidupnya pamit untuk pergi meninggalkannya. Ia pernah mengalaminya
dulu oleh suaminya, dengan waktu dan tempat yang sama. Dan mengingat tentang
suaminya, ia tidak ingin itu terjadi kepada anak semata wayangnya, Dedi. Ia
terlalu takut untuk melepas Dedi pergi. Bukan ia mengkhawatirkan dirinya yang
akan ditinggal sendirian, namun ia mengkhawatirkan anaknya. Ia mengkhawatirkan
kehidupan anaknya di tanah rantau. Pun keselamatan anaknya. Sungguhkah, adakah
yang lebih membuat khawatir orang tua selain keselamatan anaknya? Dan yang
paling membuat ia takut adalah, jika Dedi tidak kembali. Ia tidak ingin merasakan
kehilangan yang sama seperti yang dahulu ia rasakan ketika ditinggalkan
suaminya.
“Dedi janji akan sering pulang, Mak.
Kalau Dedi tidak pergi, kita akan seperti ini saja, hanya menanam sayuran yang
hasilnya jika dijual tidak seberapa. Dedi bukannya tidak bersyukur, tetapi Dedi
ingin mengubahnya menjadi lebih baik. Dedi nanti bisa membiayai impian Mamak
untuk ke Mekah. Membuat rumah yang bagus. Dan bisa membahagiakan Mamak.”
Dirinya di masa lalu menatap ibunya penuh harap. “Ijinkan Dedi pergi, Mak.”
Ibunya mendesah, menengadahkan wajah
ke atas, suatu usaha agar linangan air matanya tak tumpah. Itulah saat-saat
terberat bagi seorang ibu, ia berdiri di antara keinginan anaknya yang
menggebu-gebu dan kekhawatiran dirinya yang mengatakan untuk tidak melepas anaknya
pergi. Sesungguhnya, ia amatlah bimbang, namun kala melihat mata anaknya yang
tengah menatapnya, hatinya perlahan mencair. Apa salahnya percaya untuk kali
kedua? Ia berusaha untuk mempercayai kata-kata anaknya dan sejenak
mengesampingkan egonya. Samar, ia mengangguk. Ia tak sampai hati jika menolak
keinginan anaknya kendati harus menjalani lagi hari-hari yang jauh dari orang
tersayang.
Dirinya di masa lalu seketika
memeluk ibunya. Teramat erat.
***
Angin
malam kembali berembus, menyadarkan Dedi dari perjalanan masa lalunya. Ia rindu
pelukan ibunya yang hangat dan menenangkan. Ia ingin merengkuh tubuh itu, tubuh
yang memancarkan cinta dan kasih sayang tiap waktu. Namun, saat ini ia tak bisa
lagi, tubuh itu sudah tertidur bersama setimbun tanah beberapa minggu yang
lalu. Ibunya sudah berpulang sebelum dirinya sempat menyesapi kehangatan
pelukan ibunya setelah setahun lebih tidak ia rasakan. Kini, ia menangkupkan
telapak tangannya ke wajah, menahan sekuat tenaga gejolak rasa yang hadir
bersama air matanya membuncah dan menderas.
“Hati-hati kau, jaga dirimu
baik-baik.” Suara lembut itu
kembali terngiang, suara yang terdengar amat dekat dari tempatnya duduk
sekarang. Dari dalam dirinya, timbul dorongan untuk bangkit berdiri dan
berjalan mendekati sumber suara itu, kemudian ia pun berjalan mengikuti kata
hatinya. Langkahnya pelan seolah tanpa tenaga. Pandangan matanya masih nanar.
Dan matanya semakin sembab.
Langkah
kakinya membawa ia ke ruang depan, sekarang ia menyaksikan satu kenangan yang
sekali lagi berputar dan tampak nyata. Di depan pintu itu, terlihat dirinya di
masa lalu tengah menunduk mencium punggung tangan ibunya. Suasana sendu yang
selalu mengiringi seseorang untuk melepas suatu kepergian seketika mengambil
alih udara di ruangan itu. Dari belakang bayangan ibunya, ia menyaksikan
kembali saat-saat kepergiannya. Terkenang kala itu dirinya yang meski berat
hati, harus meninggal ibunya sendirian di rumah.
“Dedi
pamit, Mak.” Lantas ia pun melangkah meninggalkan ambang pintu itu, rumah itu,
dan ibunya.
Di
kepalanya, ingatan itu terus menjalar ke masa-masa setelah ia melangkahkan kaki
meninggalkan ibunya. Ia terkenang perjuangan dirinya di tanah rantau, yang dari
seorang kuli bangunan kemudian menjadi asisten seorang Arsitek kenamaan.
Hidupnya menjadi lebih baik. Ia lebih sering mengirimi ibunya uang dan
kebutuhan pendukung lainnya. Bahkan, ia bisa membangun rumah yang jauh lebih
baik dari rumah tempat tinggal dulu. Rumah itu ia dirikan di desa seberang dan
ia bangun dari hasil jerih payahnya sendiri. Rumah itu bagus, memiliki empat
kamar, sebuah kolam ikan, dan sepetak tanah penuh dengan Bonsai. Namun, kendati rumah itu nyaman untuk ditinggali, ibunya enggan untuk menepati rumah baru
itu. Bukannya tidak mensyukuri hasil kerja keras anaknya, melainkan ia
mempunyai alasan khusus kenapa ia menolaknya. Alasan yang mulia, yang hanya
hadir dari seorang ibu.
Berkali-kali
Dedi membujuk ibunya untuk pindah dari rumah itu, bilang, kalau rumah barunya
jauh lebin aman dan nyaman. Namun tetap saja, ibunya tetap menolak secara halus
keinginan anaknya itu. Ia selalu mengatakan, “Untuk masa depanmu, Nak. Tempat
kau merajut rumah tangga bersama istrimu kelak.” Jika sudah mendengar ibunya
berbicara demikian, ia tak bisa lagi memaksa ibunya. Ia benar-benar tahu, bahwa
mengabaikan nasihat orang tua, terutama seorang ibu, akan berakibat buruk
kedepannya. Ia berpegang teguh pada pendiriannya itu, ia selalu mendengar
nasihat dan permintaan ibunya.
Namun,
ia hanyalah manusia biasa, yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan.
Sebulan
yang lalu ia mendapat telepon dari ibunya, yang memintanya untuk segera pulang,
agar bisa menyambut datangnya bulan Ramadan dan menjalani ibadah puasa tahun
ini bersama-sama dan tak seperti tahun-tahun sebelumnya yang ia hanya pulang
ketika mendekati Lebaran.
“Bisakah
kau, Nak?”
“Bagaimana,
ya, Mak? Bulan ini Dedi masih sibuk sekali, proyek Masjid itu menuntut untuk
selesai sebelum bulan Ramadan, dan itupun jika tak terkendala. Jadi,
kemungkinan paling cepat Dedi bisa pulang awal-awal Ramadan. Tidak apa-apa ya,
Mak?”
Ibunya
hanya bisa mendesah samar, menahan kekecewaan ketika mendengar jawaban anaknya.
Tetapi ia tak menunjukan kekecewaanya itu, ia menyamarkan nada suaranya seolah
tak masalah dengan jawaban anaknya dan berkata, “Tidak, tidak apa-apa, Nak.
Yang terpenting kau bisa pulang.” Meski kecewa, ia tidak ingin membebani
anaknya dengan tuntutannya. Ia tidak ingin membuat karier anaknya bermasalah
hanya karena permintaannya. Ia ingin menjadi ibu yang baik untuk anaknya.
***
Dedi
tersadar dari ingatan masa lalunya ketika telinganya menangkap suara orang
mengaji dari Masjid di desanya. Malam ini adalah malam Ramadan pertama. Malam
yang seharusnya ia habiskan dengan suka cita dan rasa syukur, namun yang ada
dalam dirinya hanyalah kekosongan dan kesepian. Perlahan, air matanya kembali
membuncah dari pelupuk matanya, di kepalanya berputar-putar satu kata: Jika. Ia
menyesal akan dirinya, jika sebulan yang lalu ia menuruti apa permintaan
ibunya, tentu malam ini ia tak merasa sesepi yang tengah dirasakannya. Jika
saja ia segera pulang, pastilah beberapa minggu yang lalu ia masih sempat
menghabiskan waktu bersama ibunya. Jika saja ia langsung kembali, ia bisa
menemani ibunya hingga maut menjemput wanita itu.
Namun,
semua itu telah berlalu, yang telah terjadi dan hanya meninggalkan penyesalan
di dalam dirinya. Mau bagaimana lagi, ibunya telah meninggal seminggu setelah
ia menghubungi anaknya untuk memintanya pulang. Dan, sebelum kerabat ibunya
sempat mengabari Dedi, ponsel milik Dedi terjatuh dari ketinggian gedung dan
tak bisa lagi digunakan. Jadilah ia tak menerima kabar tentang kematian ibunya.
Sementara kerabatnya pun bingung harus mengabari Dedi dengan cara apa, mereka
hanya memiliki satu kontak Dedi, dan jika ingin mengirim seseorang untuk
memberitahu Dedi, mereka tak tahu Dedi ada di mana.
Dedi
pulang siang tadi, ia teramat terkejut dan hampir pingsan ketika mengetahui
kabar kematian ibunya. Ia langsung menyambangi makan ibunya, kemudian saat sore
tiba, ia datang ke rumah ini. Rumah yang kini ditumbuhi kenangan masa lalunya.
Kenangan itu tumbuh di mana-mana. Setiap jengkalnya memiliki kenangan
sendiri-sendiri. Kenangan itu bisa dirasakannya, ia bisa melihatnya,
mendengarnya. Namun tetap saja, meski semua itu terasa nyata, ia masih saja
merasakan kesepian. Ia sendirian.
Sayup-sayup,
telinganya menangkap suatu suara, suara yang kian lama semakin jelas. Suara itu
semakin jelas di telinganya, ia tersadar, bahwa itu adalah suara arak-arakan
warga kampung yang berkeliling sambil bershalawat dan membawa obor pada malam
pertama bulan Ramadan. Suara itu jelas, dan terdengar... ramai. Mendengar suara
itu, dengan perlahan kakinya melangkah ke depan pintu. Tiba di sana, matanya
disambut arak-arakan cahaya yang memancar dari obor-obor yang dibawa warga, cahaya
yang berpendar serupa gerombolan kunang-kunang yang besar. Suara warga
bershalawat menggema di sepanjang jalan kampung. Ia menyadari sesuatu,
mendengar dan melihat pemandangan di depannya, seketika mengingatnya dengan
satu kalimat ibunya dahulu, “Percayalah,
Nak. Segundah apa pun hatimu, sekacau apa pun pikiranmu, dan sesepi apa pun
dirimu, jika kau merasakannya pada bulan suci ini, pada bulan Ramadan. Maka kau
harus percaya, bulan ini bisa menghilangkan semua itu. Karena, bulan ini
membawa Rahmat untuk mengobati hatimu, memberi suasana yang menenangkan
pikiranmu, dan membawa keramaian untuk melenyapkan rasa sepimu. Percayalah.”
Dengan
mata yang berkaca-kaca, ia memandang rombongan di depannya itu, ia membenak, “Aku percaya, Mak. Aku tidak akan mengulanginya
lagi, aku akan mempercayai semua pesan dan nasihatmu. Tanpa satu pun
terkecuali.”
Lantas,
ia berjalan menuju rombongan itu, ia tak ingin mengabaikan pesan ibunya seperti
ia mengabaikan permintaan wanita itu dahulu.
Ia
berlari, menyeka matanya. Salah seorang temannya melambaikan tangannya,
memanggil namanya.
Ramadan 2018.